Oleh : Maharani Prima
(Internship Advokat Konstitusi)
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan Undang – Undang Omnibus Law resmi disahkan dan diundangkan di Paripurna DPR pada tanggal 02 November 2020, jika kita melihat kepada tujuan dan fungsi utama yang ingin dicapai oleh Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang selanjutnya disebut dengan “UUCK” adalah peningkatan ekosistem investasi, percepatan proyek strategis nasional, dan memaksimalkan kegiatan di segala sektor usaha melalui beberapa langkah, diantaranya: penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha, pengadaan tanah dan pemanfaatan lahan, penerapan perizinan usaha berbasis resiko, dan penyederhanaan persyaratan investasi, dari sini dapat dilihat poin – poin penting yang ingin dituju oleh UUCK, namun dikarenakan terlalu luas dan kompleksnya cakupan yang dibahas, dinilai kurangnya transparansi dalam pembahasan, dan waktu pengesahan UUCK yang dinilai terlalu cepat dan terburu – buru, maka dikhawatirkan akan adanya kegagalan didalam tercapainya poin pembentukan UUCK.
Kompleksitas isu beserta dengan klaster pembahasan yang diatur dalam UUCK sangatlah banyak dan luas, namun didalam artikel ini saya akan mencoba membahas dari segi perizinan nya yang memiliki kaitan dengan aspek lingkungan hidup. Di dalam Undang – Undang Cipta Kerja, jika dilihat kedalam jangka waktu perencanaan hingga pengundangan UUCK ini dinilai sangatlah singkat dan terkesan terburu – buru, mengapa saya katakan demikian? Jika diuraikan susunan dari Undang – Undang Cipta Kerja, maka dapat dilihat UUCK terdiri atas 15 (limabelas) bab, 186 (seratus delapan puluh enam) pasal, dan 1.187 (seribu seratus delapan puluh tujuh) halaman, lalu haruslah juga terdapat 460 (empat ratus enam puluh) PP dan 9 (sembilan) Perpres baru yang harus disusun (sesuai dengan rujukan dari tiap – tiap pasalnya), sedangkan PP dan Perpres sebagai peraturan dari pelaksanaan harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan. Sangatlah wajar ketika kekhawatiran failures of coordination (kegagalan di dalam koordinasi antar pasal) ditakuti oleh banyak pihak yang betul – betul memahami esensi dari pembentukan peraturan perundang – undangan, dan akan terjadi miss coordination antar pasal satu dan yang lain, jika kita coba bandingkan dengan salah satu peraturan perundang – undangan, disini akan saya bandingkan dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, atau yang selanjutnya disebut dengan “UUPPLH”, yang dimana UUPLH membawahi 18 (delapan belas) Materi PP, dan setelah 11 (sebelas) tahun setelah diundangkan, UUPLH baru melahirkan 4 (empat) PP, dari perbandingan sederhana ini sangatlah terlihat bahwa didalam suatu perundangan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat melahirkan sebuah peraturan pelaksanaan dibawahnya, maka saat UUCK terlalu cepat diundangkan, membuat kesan bahwa UUCK ini bersifat dipaksakan.
Selanjutnya, jika melihat ke dalam Naskah Akademik, yang selanjutnya disebut “NA”, dapat dilihat bahwa tidak adanya pembahasan yang menyinggung tentang long-term risk (risiko jangka panjang) beserta dengan kemungkinan dan kompleksitas yang kelak akan muncul dan timbul atas pencabutan sekian banyak pengaturan yang terkait dengan Lingkungan Hidup (LH) dalam UUCK, tidak ada juga interpretasi yang jelas mengenai pembahasan terkait penataan dari segi administratif (governance), stimulus dalam investasi (seperti apa yang dituju oleh UUCK), dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dikarenakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah satu poin yang crucial (sangat penting) yang harus diperhatikan dan harus juga terdapat beberapa pertimbangan mendasar atas pencabutan pengaturan terkait dengan lingkungan hidup dalam UUCK.
Hal menarik yang terdapat didalam UUCK adalah poin perizinan nya yang digadang – gadang dibuat menjadi lebih sederhana, melihat lebih lanjut kedalam pengaturan perizinan dan didalam UUCK, didalam pasal 6 poin a dikatan bahwa : “penerapan perizinan berusaha berbasis risiko”, lalu apakah yang dimaksud dengan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko? Di dalam pasal 7 ayat (1) UUCK dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha Berbasis Risiko” adalah pemberian Perizinan Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan usaha, lalu didalam pasal 7 ayat (2) dijelaskan bahwa penetapan tingkat risiko diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya, kemudian didalam pasal 7 ayat (3) dijelaskan bahwa penilaian tingkat bahaya dengan memperhitungkan beberapa faktor, diantaranya: a.Jenis Kegiatan Usaha; b.Kriteria Kegiatan Usaha; c.Lokasi Kegiatan Usaha; dan/atau d.Keterbatasan Sumber Daya, Usaha.
Pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah : Apakah sistem perhitungan risiko jika diterapkan di Indonesia akan membantu dalam percepatan perizinan investasi, atau justru akan membuat rumit di dalam pelaksanaan Online Single Submission (OSS) nya kelak? Risk-Based Approach (RBA) memerlukan dukungan basis data yang integratif, menyeluruh, dan akurat, sedangkan database di Indonesia dinilai lemah, mengapa? Karena RBA juga perlu didukung oleh Keterangan Rencana Peruntukan (KRP), kedua risiko volatilitas akan menjadi sangat besar ketika tidak memiliki data yang memadai dan tidak mengadakan analisis statistika secara tepat dan akurat sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development, yang selanjutnya disebut “OECD” yang telah menerapkan sistem perhitungan risiko (RBA), dapat dilihat dari segi sudut pandang atau perspektif yang jelas sangat berbeda, di negara OECD tidak ada sektor informal, UMKM di negara OECD adalah sektor formal, di negara OECD usaha yang berkaitan langsung dengan masyarakat diatur dengan ketat, contoh: kafe, restoran, dan sebagainya, sedangkan di Indonesia keberadaan sektor informal sangat besar dalam faktor perekonomian, dan juga belum adanya pengaturan perizinan yang terperinci terkait dengan sektor informal, jadi apa yang dianggap berisiko tinggi di negara OECD, ternyata tidak dianggap berisiko tinggi dan bahkan tidak diatur di Indonesia, karena semua faktor informal belum tentu identik semua memiliki risiko yang rendah, dan juga RBA dibuat dengan tidak menyebutkan siapa yang akan mengawasi penentu risiko dalam berbagai faktor terkait didalamnya, dan juga ada sebuah hal yang menarik untuk disinggung di dalam UUCK ini, yakni dalam sektor Lingkungan Hidup beberapa negara UE tengah menggalakan green-investment yang dimana suatu investasi menganut paham investasi ramah lingkungan, ada 35 perusahaan di Indonesia yang menganut paham green-investment, dan mereka mengaku kecewa atas UUCK yang tidak menerapkan dan memasuk poin untuk penerapan green-investment, terutama dalam aspek Lingkungan Hidup.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari seluruh penjelasan yang telah saya jabarkan sebelumnya adalah simplifikasi di dalam perizinan tidak sama dengan simplifikasi terhadap dampak lingkungan dan riset penerapan risiko di sektor publik pun masih sangat terbatas, perlu diingat juga bahwa belum pernah ada lembaga yang berkewenangan secara jelas mengatur risiko secara menyeluruh di Indonesia, dapat juga disimpulkan bahwa RBA dapat menimbulkan pelemahan substansi dampak lingkungan hidup, dan memang pada hakikatnya menerapkan suatu konsep yang belum dipahami secara utuh, menyeluruh, dan seksama akan menimbulkan potensi legal-abuse yang sangat besar.
()