Oleh : NOVI HURIYANI
Drama yang menceritakan mengenai hukum terutama kejaksaan hadir lagi mengisi deretan serial drama yang wajib ditonton mahasiswa hukum. Salah satu drama jaksa yang perlu masuk list para pecinta K-Drama adalah Bad Prosecutor. Drama ini menceritakan mengenai jaksa yang nyeleneh dan tak pernah putus semangat bernama Jin Jung yang diperankan oleh D.O. ia dipindahkan ke divisi pembuangan oleh atasannya karena tingkahnya yang nyeleneh atau suka-suka. Dia dan beberapa temannya, terus menyelidiki kematian seorang gadis bernama Park Ye Young yang terhubung dengan atasannya sendiri.
Sayangnya, kasus berubah buntu karena atasannya tersebut tewas terjatuh dari ketinggian. Jin Jung, seorang jaksa yang nyentrik dan kerap melabrak aturan karena cenderung membatasi penyelidikan, Jin Jung masih terus akan menyelidiki kasus pembunuhan Park Ye Young. Sebelumnya kasus tersebut sudah dilimpahkan pada jaksa lain, Oh Do Hwan. Do Hwan sudah yakin bahwa pembunuh Ye Young adalah Kim Hyo Jun.
Jin Jung merasa ada yang aneh dengan kematian Ye Young karena sidik jari yang ditemukan pada senjata pembunuhan adalah jari kanan, sementara Hyo Jun seorang kidal. Namun, Hyo Jun sendiri bersikeras bahwa dia adalah pelakunya. Jaksa ini mulai menyelidiki diam-diam dengan dibantu beberapa temannya. Mereka adalah Jaksa Shin A Ra, seniornya di kejaksaan, Lee Chul Ki yang merupakan penyidik, serta dua orang teman setia, Go Joong Do dan Baek Eun Ji. Walau dilakukan diam-diam, penyelidikan yang dilakukan Jin Jung dan geng tetap menimbulkan kegaduhan. Wakil Kepala Jaksa Wilayah, Lee Jang Won, paling vocal menentangnya.
Selain melakukan investigasi terhadap kasus Seocho-dong, Jaksa Jin Jung secara diam-diam juga melakukan investigasi atas kematian Wakil Kepala Kejaksaan Lee Jang Won akibat dibunuh. Setelah melakukan investigasi, Jin Jung pun berhasil menemukan pelaku lapangan pembunuhan Wakil Kepala Kejaksaan Lee, dia adalah Sekretaris CEO Firma Hukum Kangsan (Tae Hyung Wook). Selain Sekretaris itu, pelaku lain yang diseret Jaksa Jin Jung adalah Kim Tae Ho yang baru saja dilantik menjadi Kepala Kejaksaan Wilayah Seoul Pusat karena telah memanipulasi penyebab kematian Wakil Kepala Kejaksaan Lee. Sehingga Jin Jung pun menangkap dan memenjarakan keduanya.
Kasus pembunuhan lain yang muncul dalam drama ini adalah pembunuhan Park Jae Kyung (Jaksa pada Divisi Urusan Sipil). Jaksa Jin Jung mengetahui bahwa pelaku pembunuhan itu adalah Seo Hyun Kyu (CEO Firma Hukum Kangsan). Akan tetapi di episode terakhir diketahui bahwa Park Jae Kyung tidak benar-benar meninggal. Atas kondisi itu membuat Jin Jung fokus mengumpulkan alat bukti untuk memenjarakan Seo Hyun Kyu.
Hingga pada akhirnya Jaksa Jin Jung berhasil mengumpulkan alat bukti untuk memenjarakan Seo Hyun Kyu dan menyeretnya ke pengadilan menggunakan alat bukti arsip manipulasi perkara, patung dewi keadilan (themis) yang digunakan untuk membunuh Park Jae Kyung, dan kesaksian Park Jae Kyung. Seo Hyun Kyu pun dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum Jin Jung dan Shin Ah Ra.
Sebagai mahasiswa hukum, tentu drama Korea Selatan berjudul “Bad Prosecutor” sangat direkomendasikan untuk ditonton, selain memberikan hiburan juga menjadi sarana untuk mempelajari perbandingan hukum pidana (comparative criminal law) antara Indonesia dan Korea Selatan. Melalui perbandingan ini, kita akan mudah untuk mengetahui perbedaan sistem penegakan hukum pidana antara Indonesia dengan Korea Selatan terutama pada perbandingan kewenangan penyidikannya.
Berdasarkan serial Drama Bad Prosecutor ini, nampak sangat jelas bahwa Jaksa Jin Jung sangat mendominasi alur cerita dan berperan aktif mengungkap suatu kejahatan melalui tindakan penyidikan (investigation). Sedangkan scene penyidikan oleh polisi pada drama ini sangat minim sekali di tampilkan, yakni ketika Jin Jung mengintervensi polisi yang telah memanipulasi kasus pembunuhan Seocho-dong.
Jika mengamati drama ini, lalu faktor apa yang menyebabkan mendominasinya peran jaksa daripada polisi ketika melakukan penyidikan? tentu hal ini berbanding terbalik dengan penyidik di Indonesia. Namun, perlu diketahui bahwa Indonesia dan Korea Selatan sama-sama menganut sistem hukum inquisitorial civil law, sehingga tidak dapat dipungkiri apabila sistem penegakan hukum yang tergambar di beberapa cuplikan Bad Prosecutor memiliki beberapa kesamaan dengan penegakan hukum di Indonesia.
Di banyak adegan, kita juga akan menjumpai Jaksa di tahap penyidikan sering melakukan pemeriksaan (interogasi) terhadap tersangka secara langsung. Seperti yang dilakukan Jaksa Jin Jung memeriksa Seo Ji Han dan Sekretaris CEO Firma Hukum Kangsan. Melihat berbagai adegan penyidikan yang dilakukan Jaksa Jin Jung dan timnya, pasti akan muncul pertanyaaan, mengapa jaksa sangat terlibat aktif dalam proses penyidikan?
Dari segi wewenang penyidikan yang berlaku di Korea Selatan, Polisi memang tidak mempunyai wewenang investigasi secara independen, karena penyidikan yang dilakukan polisi berada di bawah arahan dan pengawasan Jaksa sesuai dengan Criminal Procedure Act (CPA) yang merupakan Hukum Acara Pidana Korea Selatan.
Berdasarkan Pasal 195 dan Pasal 196 Criminal Procedure Act (CPA), Jaksa bisa terlibat aktif sejak tahap awal penyidikan, baik menguasai perkara secara keseluruhan dengan cara melakukan investigasi sendiri atau sekedar mengawasi polisi yang menjadi penyidik. Oleh karenanya Kepolisian Korsel dapat disebut sebagai subsidiary organ Kejaksaan, dan Kejaksaan sebagai supervisor of investigation.
Kelebihan dari sistem ini yakni Jaksa bisa mendapatkan keterangan atau pengakuan langsung dari tersangka dan dicatat di berkas mereka sendiri. Sehingga tidak heran apabila Jaksa yang digambarkan dalam Bad Prosecutor lebih banyak terkonsentrasi pada tahapan penyidikan ketimbang memainkan peran ajudikatif di pengadilan.
Apabila dibandingkan dengan di Indonesia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Indonesia juga pemegang kendali atas suatu perkara yang telah melalui proses penyidikan oleh kepolisian sesuai dengan asas dominus litis (Pasal 140 KUHAP). Berdasarkan asas dominus litis, JPU adalah pihak yang berwenang untuk menentukan apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan atau tidak.
Meski juga terdapat anggapan bahwa penguasa perkara yang sebenarnya menurut KUHAP adalah Kepolisian, bukan Kejaksaan. Karena tahap pertama penegakan hukum di Indonesia di tingkat penyidikan dilakukan oleh Kepolisian yang kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Berbeda dengan yang berlaku di Korsel dan di kebanyakan negara lainnya, Jaksa di Indonesia tidak mengawasi penyidikan oleh polisi secara langsung (supervisor), Jaksa juga tidak melakukan penyidikan sejak awal bersama kepolisian.
Akan tetapi Jaksa bisa melakukan pemeriksaan hasil penyidikan melalui Berkas Perkara (BP) yang didalamnya memuat Berita Acara Penyidikan (BAP), sehingga berkas itulah yang nantinya akan menjadi dasar bagi Jaksa untuk memutuskan apakah akan melakukan penuntutan atau tidak. Meskipun tidak jarang dalam praktiknya apabila terdapat berkas yang tidak lengkap akan dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Polisi.
Dari sini dapat dipahami bahwa Jaksa di Indonesia tidak menerapkan asas dominus litis secara mutlak, melainkan hanya bisa menguasai perkara setelah mendapat pelimpahan perkara dari polisi. Sehingga proses pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan oleh penyidik dari polisi tanpa campur tangan dari JPU.
Mengapa JPU di Indonesia tidak ikut campur sejak dimulainya penyidikan?
Hal itu dikarenakan penerapan asas diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP, sehingga setiap institusi penegak hukum kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakat dalam sistem peradilan pidana terdapat penegasan pembagian tugas secara instansional.
Meski demikian, terdapat aturan pengecualian yang membuat Jaksa di Indonesia bisa melakukan penyidikan namun terbatas pada tindak pidana khusus saja, misalnya kewenangan JPU melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 serta kasus pelanggaran HAM berat sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Lantas, bagaimana perbandingan kedudukan antara Jaksa dan Polisi dalam penyidikan?
Kedudukan jaksa di Korsel secara hierarkis yakni melakukan pengawasan atas investigasi yang dilakukan polisi ataupun memimpin dan turut melakukan investigasi secara langsung (model hierarkis-investigasi). Perlu diketahui bahwa kedudukan hierarkis antara kepolisian dan kejaksaan tidak hanya ditemui di Korsel saja, kita dapat menemukan model hierarkis serupa di Perancis dan juga Jerman. Bedanya, Criminal Procedure Act (CPA) Korea Selatan tidak memberikan batasan keterlibatan Jaksa pada tahap penyidikan layaknya yang berlaku di Prancis dan Jerman. Sehingga Jaksa di Korsel bisa saja melakukan penyidikan secara leluasa terhadap suatu perkara secara menyeluruh sampai ia yakin bahwa tersangka benar-benar diyakini bersalah. Keleluasan jaksa melakukan penyidikan tersebutlah yang banyak kita jumpai ketika menonton drama Bad Prosecutor.
Keuntungan dari sistem yang dianut oleh Korsel tersebut tentunya akan membuat Jaksa lebih mudah dalam memahami detail perkara secara utuh karena sejak awal telah terlibat aktif dalam penyidikan. Sehingga nantinya Jaksa juga akan lebih mudah dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan di pengadilan.
Meski demikian, sistem yang berlaku di Korsel tersebut juga memiliki sisi kelemahan karena dianggap menghilangkan filtrasi jaksa untuk menilai hasil penyidikan. Berbeda dengan penyidikan polisi yang diawasi oleh kejaksaan, hasil penyidikan oleh kejaksaan ketika beralih ke pengadilan tidak memiliki mekanisme peninjauan (review). Sekalipun di Kejaksaan Korsel terdapat mekanisme peninjauan secara internal oleh atasan Jaksa melalui konsultasi dan persetujuan, akan tetapi hal itu pun tidak menjamin filtrasi jaksa bisa berjalan efektif.
Berbeda dengan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan di Korsel yang bersifat hierarkis-investigatif, di Indonesia hubungan keduanya lebih menekankan pada hubungan koordinatif-ajudikatif. Menurut model koordinatif, keduanya adalah institusi yang setara dan masing-masing institusi memiliki tugas yang berbeda. Sehingga pengambilan keputusan yang independen dianggap sebagai nilai penting meski terdapat konsekuensi tidak ada ruang bagi kejaksaan untuk mengawasi secara langsung terhadap proses penyidikan.
Apabila dilihat dari segi ajudikatif, Jaksa di Indonesia akan menuntut sesuai dengan alat bukti yang telah diajukan polisi dalam berkas perkara. Apabila jaksa menyimpulkan sudah cukup alat bukti, maka tersangka akan dilakukan penuntutan meski dalam diri Jaksa Penuntut Umum belum memiliki keyakinan bersalah.
Peran Jaksa yang menitikberatkan pada aspek ajudikatif di Indonesia memiliki sedikit persamaan yang diterapkan The Crown Prosecution Service (CPS) di Inggris dan Wales yang sistem peradilan pidananya adalah sistem adversarial, berbeda dengan Indonesia yang menganut inquisitorial. Peran CPS yang juga terbatas melakukan investigasi tersebut adalah sebagai filter atas penyidikan yang dilakukan polisi. Sehingga tidak mengherankan apabila CPS akan lebih banyak terkonsentrasi pada upaya ajudikasi daripada melakukan investigasi.
Inilah alasan mengapa dalam praktik penegakan hukum di Indonesia kita tidak pernah menjumpai Jaksa di Indonesia melakukan pengawasan atas penyidikan yang dilakukan kepolisian. Karena secara regulasi Jaksa menjalankan model ajudikasi sesuai asas dominus litis-nya, bukan melakukan investigasi.
Sebagaimana telah disampaikan di awal jika drama Bad Prosecutor bukan sekadar tontonan hiburan belaka, melainkan di setiap adegannya mengandung pengetahuan hukum. Sehingga drama ini sangat cocok ditonton para mahasiswa hukum terutama yang tertarik mempelajari perbandingan sistem peradilan pidana. Mengingat di Indonesia sangat sedikit atau mungkin tidak ada drama bertemakan hukum semacam Bad Prosecutor ini. ()