oleh : Fauzul Hadi Aria Langga
Internship Advokat Konstitusi
Tanah menjadi salah satu hal yang sangat fundamental dalam kehidupan. Karena tanah sendiri menjadi tempat pijakan keberlangsungan hidup anak manusia. Seiring berjalannya zaman dengan semakin banyaknya manusia yang ada, maka semakin banyak pula tanah yang digunakan. Hal ini karena semakin banyak kebutuhan yang berhubungan langsung dengan tanah, seperti tempat tinggal, perkebunan, dll.
Di Indonesia yang menjadi permasalahan kini terkait pertanahan adalah penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum yang hendak dilakukan oleh pemerintah guna membangun infrastruktur sesuai dengan yang direncanakan. Seringkali dalam pelaksanaan program pembangunan nasional terkendala pengadaan atau pembebasan lahan. Walaupun menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) negara memiliki hak menguasai tanah bukan berarti negara dapat dengan mudah memperoleh tanah untuk pembangunan.
Selama ini, Pemerintah menggunakan instrumen pengadaan tanah untuk memperoleh tanah yang dibutuhkan dalam pembangunan fasilitas kepentingan umum. Adapun instrumen pengadaan tanah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian yang ‘layak dan adil’ kepada pemilik tanah yang berhak. Adapun bentuk ganti kerugian dalam pengadaan tanah ditentukan dalam Pasal 36 UU Nomor 2 Tahun 2012 berupa: (a) uang, dan/ atau (2) tanah pengganti, dan/atau (3) permukiman kembali, dan/atau (4) gabungan.
Guna memenuhi tuntutan pembangunan nasional pemerintah selalu berupaya mencari jalan yang lebih kondusif dalam hal pengadaan tanah. Dewasa ini, Bank Tanah menjadi jalan tempuh yang ingin diberlakukan oleh pemerintah sebagai jalan tengah untuk pengadaan tanah. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang di dalamnya terdapat aturan mengenai Bank Tanah, tepatnya pada bagian keempat paragraf 1.
Bank Tanah merupakan sarana manajemen dalam meningkatkan pengelolaan produktivitas pemanfaatan tanah. Metode yang diusung di dalam Bank Tanah ialah kontrol pasar dan stabilisasi tanah pasar lokal. Bank tanah juga bertugas menjamin ketersediaan tanah untuk berbagai keperluan pembangunan nasional di kemudian hari, menghemat APBN/APBD, mengurangi konflik yang timbul dalam proses pembebasan lahan/tanah dan mengurangi dampak buruk liberalisasi tanah.
Badan Bank Tanah yang selanjutnya disebut Bank Tanah adalah badan khusus (sui geneis) yang merupakan badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah. Bank Tanah di dalam ketentuan pasal 125 UU Cipta Kerja menyatakan bahwa Bank Tanah merupakan sebuah badan khusus untuk mengelola tanah yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan berfungsi sebagai pelaksana perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah. Pembentukan Bank Tanah sendiri dengan tujuan dan maksud menjaga ketersediaan tanah demi mewujudkan ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria. Untuk reforma agraria sendiri, paling sedikit 30% tanah negara diperuntukakan dan dikelola oleh Bank Tanah.
Adanya konsep Bank Tanah dalam sistem pertanahan di Indonesia memiliki maksud dan tujuannya yang baik, juga ada beberapa hal yang dinilai bertentangan dengan sistem pertanahan di Indonesia. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya dalam UUPA pasal 2 menyebutkan bahwa “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Selanjutnya dijelaskan pada ayat (2) bahwa:
- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Keberadaan Bank Tanah sebagaimana yang telah diatur dalam UU Cipta Kerja tentu membawa konsekuensi terhadap hukum pertanahan nasional. Dalam ketentuan pasal 129 UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada Badan Bank Tanah untuk mendukung investasi, berwenang melakukan pengadaan tanah dan Bank Tanah memiliki atau memperoleh hak pengelolaan sebagaimana diatur dalam Pasal 137 UU Cipta Kerja. Ketentuan ini berpotensi memberikan kewenangan untuk mengambil tanah-tanah sepanjang digunakan untuk kegiatan investasi tanpa memerhatikan pihak yang dirugikan, salah satunya masyarakat. Hal ini bisa saja terjadi dengan dalih pembangunan nasional, tetapi meniadakan hak masyarakat sekitar atau yang terdampak lainnya.
Hadirnya Bank Tanah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sebagian kalangan, karena konsep ini mirip dengan zaman kolonial yaitu domain verklaring yang terjadi pada masa penjajahan Belanda di mana pemerintah dapat mengambil tanah-tanah rakyat. Di lain sisi, konsep Bank Tanah ini sangatlah membantu untuk pembangunan skala nasional, karena dengan adanya Bank Tanah semua kesediaan lahan terpenuhi dan dalam proses pembebasan lahan tidak lagi memakan waktu yang lama. Karena fakta lapangan selama ini yang menghambat pembagunan nasional adalah pembebasan lahannya. Akan tetapi kembali lagi ke konstruksi hukum yang ada, maka untuk Bank Tanah ini dinilai belum bisa diterapkan sepenuhnya, dengan beberapa alasan termasuk konsep pengelolaan Bank Tanah yang belum matang dan dinilai tidak sesuai dengan konsep pertanahan di Indonesia.
Adapun seharusnya yang akan ditindaklanjuti oleh pemerintah ialah memastikan lagi konsep yang akan dibentuk secara matang dan tidak ada lagi kecurigaan masyarakat yang timbul akibatnya. Selanjutnya memastikan juga asas-asas hukum tidak ada yang disimpangi. Serta memerhatikan hak-hak masyarakat, terutama terkait hak tanah adat (ulayat). Tak kalah pentingnya kepastian hukum yang harus jelas, dan tidak ada tumpang tindih aturan, hal seperti ini harus segera diselesaikan. Sekiranya Bank Tanah ini akan bernilai positif bagi berlangsungnya kepentingan umum, pemerintah harus segera melakukan sosialisasi konsep Bank Tanah yang dibentuk kepada seluruh masyarakat Indonesia.
()