Bentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Investigasi Perubahan Substansi Putusan Tersandung Regulasi

Oleh: Rafaella

Rabu (1/02/2023) seharusnya menjadi hari pertama Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang baru dibentuk guna menindaklanjuti dugaan pengubahan putusan terhadap Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Pembentukan MKMK ini sendiri merupakan respon terhadap tindakan Zico yang melaporkan MK ke Polda Metro Jaya  atas dugaan perubahan putusan antara yang tertulis dalam salinan dengan yang dibacakan dalam ruang sidang oleh hakim. Laporan tersebut dilayangkan Zico setelah dirinya menemukan perubahan substansi putusan yang sama dalam risalah.

Oleh karena dugaan tersebut, pada Senin (30/01/2023), MK membentuk MKMK melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dengan keanggotaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun, hingga Jumat (3/02/2023), MKMK yang dibentuk tersebut belum melaksanakan tugasnya akibat adanya kekosongan hukum acara. 

Kami di MKMK sudah merancang tahapan-tahapan yang akan kami kerjakan namun tidak bisa langsung dilaksanakan karena kendala regulasi,” terang I Dewa Gede Palguna, mantan hakim MK yang ditunjuk sebagai anggota MKMK untuk mengisi kursi akademisi dalam keanggotaan MKMK, kepada CNN Indonesia pada Jumat (3/02/2023).

 Sebelumnya, hukum acara yang berlaku bagi MKMK adalah Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang disusun berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diubah oleh UU No. 8 Tahun 2011. Namun, dengan perubahan ketiga UU MK pada UU No. 7 Tahun 2020, beberapa ketentuan MKMK berubah salah satunya penentuan anggota MKMK. Sebelumnya, pada UU No.8 Tahun 2011, keanggotaan MKMK diatur dalam Pasal 27A ayat (2) yang berisikan lima orang yakni satu hakim konstitusi, satu anggota Komisi Yudisial, satu unsur DPR, satu unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, dan satu orang hakim agung. Pada Putusan MK 49/PUU-IX/2011, satu unsur DPR, satu unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, dan satu orang hakim agung dalam Pasal 27A ayat (2) tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Oleh karena itu, dalam PMK No.2 Tahun 2014, keanggotaan MKMK dalam Pasal 5 terdiri atas satu orang hakim konstitusi, satu orang anggota KY, satu orang mantan hakim konstitusi, satu orang guru besar hukum, dan satu tokoh masyarakat. Pedoman tersebut adalah yang digunakan dalam pembentukan MKMK untuk mengusut dugaan perubahaan putusan saat ini. Namun, dengan perubahan ketiga terhadap UU MK, PMK 2/2014 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai hukum acara MKMK. Salah satunya adalah pemangkasan anggota MKMK yang dalam UU 7/2020 hanya terdiri atas satu orang hakim konstitusi, satu orang anggota KY, dan satu orang akademisi hukum.

Dengan perubahan pada UU 7/2020 tersebut, I Dewa Gede Palguna menyatakan bahwa saat ini masih diperlukan penyesuaian aturan teknis serta substansial jika dibutuhkan dalam Menyusun PMK baru sebagai hukum acara MKMK. Saat ini, menurut Palguna, diketahui sudah terdapatnya draf final terhadap PMK baru tersebut. ()