oleh: Muhammad Rafi Abdussalam
Internship Advokat Konstitusi
KUHP yang menjadi dasar penegakan hukum pidana di Indonesia merupakan warisan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan beberapa isinya dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah sudah mengusahakan untuk membuat rancangan baru KUHP di Indonesia. Proses rancangan KUHP tersebut telah memakan waktu 58 tahun sejak pertama kali diusungkan pada tahun 1964. Proses pembuatan rancangan KUHP dibuat menggunakan teknik rekodifikasi dengan mengubah atau menambah beberapa pasal.
Sebenarnya, pemerintah sudah sempat ingin mengesahkan RKUHP pada tahun 2019 lalu. Namun, pengesahan tersebut diurungkan berkaitan dengan polemik yang ditimbulkan oleh isi dari draft RKUHP yang diterbitkan pemerintah. Semenjak saat itu, pemerintah belum membuka draft RKUHP yang terbaru kepada masyarakat.
Dilansir dari laman situs KOMPAS.com dalam artikelnya berjudul “Sejumlah Alasan Pemerintah Belum Mau Buka Draf Terbaru RKUHP” (23/06/2022). Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa menyusun dan meneliti RKUHP bukanlah hal yang mudah. Apalagi RKUHP berisi 628 pasal yang beberapa di antaranya ada yang saling terkait.
Edward berdalih bahwa ia tidak bisa membuka draf RKUHP terbaru kepada masyarakat sebelum diserahkan ke DPR. Alasan belum diberikannya draf RKUHP kepada DPR adalah karena masih banyak hal yang harus dikaji terkait isi dari RHUP itu sendiri. Edward menyatakan bahwa ia tidak ingin jika nantinya RKUHP memiliki nasib yang sama seperti UU Cipta Kerja yang dinilai cacat formil.
“Kita enggak mau seperti waktu UU Cipta kerja itu terjadi lho. Bilang ayat sekian, padahal enggak ada ayatnya. Itu yang bikin lama di situ”, ujar Edward.
Menanggapi polemik yang muncul, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan meminta masyarakat untuk tidak berburuk sangka dan menuduh pemerintah serta DPR melakukan pembahasan RKUHP secara tertutup.
Urgensi pembukaan draft RKUHP kepada masyarakat sebenarnya berkaitan dengan penerapan asas keterbukaan pada Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011.
Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
- kejelasan tujuan;
- kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
- kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
- dapat dilaksanakan;
- kedayagunaan dan kehasilgunaan;
- kejelasan rumusan ; dan
- keterbukaan
Penerapan asas keterbukaan dalam pembentukan RKUHP menjadi sangat penting. Mengingat UU 12/2011 mengisyaratkan untuk terpenuhinya semua asas dalam pasal 5 tersebut. Hal ini juga merupakan perwujudan tatanan konstitusional dalam Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan penjelasan terkait penerapan asas keterbukaan dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Disebutkan, dalam membuat rancangan undang-undang harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara maksimal. Pelibatan masyarakat dalam pembentukan RKUHP bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan masyarakat untuk memberikan aspirasi. Pemerintah harus memastikan seluruh aspirasi masyarakat tertampung dalam rancangan KUHP tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menjamin bahwa Komisi III DPR akan memastikan seluruh aspirasi masyarakat tertampung. Aspirasi tersebut diklaim sudah tertuang dalam draf RKUHP yang baru.
Beliau juga menambahkan jika nantinya setelah RKUHP diundangkan penerapannya tidak sesuai harapan, masyarakat bisa mengajukan gugatan ke MK. ()