oleh : Rahmat Ahmad Fauzi
Internship Advokat Konstitusi
Apa yang pertama kali muncul di kepala kalian ketika mendengar kata utang? masalah? kebutuhan? atau malah teman? Yang jawabannya teman mungkin tahu sendiri kan kenapa kata “teman” bisa muncul pertama di kepala kalian hehehe. Terlepas dari itu semua kita tahu bahwa utang merupakan sesuatu yang sering kita dengar, jumpai, atau bahkan kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Tapi kamu tahu nggak sih definisi legal atau formal dari utang itu apa? Menurut Black’s Law Dictionary, kamus hukum yang paling banyak digunakan di US, utang didefinisikan sebagai :
“a sum of money due by contract. It is most frequently due by a certain and express agreement, which fixes the amount, independent of extrinsic circumstances. But it is not essential that the contract should be express, or that it should fix the precise amount to be paid.”
Dari definisi itu kita tahu bahwa utang muncul ketika ada suatu kontrak atau perjanjian antara kreditur dan debitur di mana kreditur meminjamkan sejumlah uang kepada debitur dengan syarat-syarat tertentu dan disetujui oleh kedua belah pihak. Jadi dasar dari adanya utang piutang adalah perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.
Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kemudian, agar suatu perjanjian sah secara hukum, maka perjanjian tersebut harus memenuhi unsur-unsur sahnya perjanjian yang mana diatur dalam pasal 1320 kuhperdata yang terdiri dari :
Empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
- suatu hal tertentu,
- suatu sebab yang halal.
Jadi meskipun suatu perjanjian tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibubuhi materai, tetapi semua syarat syahnya perjanjian terpenuhi, maka tetap perjanjian tersebut secara hukum sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuat perjanjian tersebut, sebagaimana bunyi pasal 1338 KUHPerdata a.k.a. asas pacta sunt servanda.
Dalam suatu perjanjian biasanya terdapat isi atau bagian yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini apabila perjanjian yang dibuat merupakan perjanjian utang piutang, maka hak dan kewajiban kreditur diantaranya yaitu, memberikan sejumlah uang kepada debitur, serta menerima pengembalian uang dari debitur beserta bunga dan biaya lain yang diatur dalam perjanjian. Di sisi lain, hak dan kewajiban dari debitur diantaranya menerima dan menggunakan uang yang diberikan oleh kreditur sesuai dengan peruntukannya, serta membayar utang pokok beserta bunganya kepada kreditur.
Tapi bagaimana jika debitur gagal bayar atau tidak mau membayar sama sekali? Apakah kreditor bisa menuntut debitur secara pidana atau tidak?
Sebelum menjawab pertanyaan utama, apakah seorang debitur atau yg berutang bisa dipidana karena tidak membayar hutang, kita harus mengingat kembali konsep mengenai perbedaan antara hukum privat dan hukum publik. Perbedaan yang paling mendasar antara hukum publik dan hukum privat terdapat pada ruang lingkupnya. Pada hukum publik, ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya mengatur dan menyangkut mengenai kepentingan umum, sehingga konsekuensi dari hal tersebut yaitu negara atau pemerintah terlibat penuh dalam peristiwa yang terkait dengan hukum publik, contohnya jaksa penuntut umum bertugas untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang melakukan pembunuhan. Sedangkan pada hukum privat, ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya mengatur dan menyangkut mengenai kepentingan pribadi atau hal-hal yang bersifat perdata, sehingga konsekuensi dari hal tersebut yaitu negara atau pemerintah tidak terlibat dalam peristiwa yang terkait dengan hukum privat, contohnya yaitu perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur.
Karena perjanjian utang piutang masuk dalam ranah hukum perdata atau hukum privat maka negara tidak boleh ikut campur dalam urusan tersebut. Di mana dasar hukumnya terdapat pada pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi :
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang”
Hal tersebut selaras dengan putusan MA Nomor Register : 39K/Pid/1984, tertanggal 13 September 1984 yang menyatakan:
“Hubungan hukum antara terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan.”
Meskipun sudah jelas disebutkan bahwa pengutang atau debitur tidak bisa dipidana karena gagal bayar utang kepada kreditur. Namun, faktanya masih banyak orang yang melaporkan hal tersebut kepada kepolisian dengan dasar pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan pasal 378 KUHP tentang penipuan. Padahal inti dari tindak pidana penipuan serta penggelapan sangat berbeda dengan Hukum Perjanjian, yang pada dasarnya merupakan suatu perbuatan hukum perdata. Sebagai informasi tambahan, agar suatu tindakan dapat diproses secara pidana maka unsur niat jahat (mens rea) serta perbuatan (actus reus) harus dapat terpenuhi terlebih dahulu.
Bagaimana jika kita hanya minta bantuan kepada polisi untuk bantu kita menagih hutang?
Oh ternyata itu juga tidak bisa brother, karena berdasarkan pada pasal 5 Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
- melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
- melakukan kegiatan politik praktis;
- mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
- menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang
- menjadi perantara/makelar perkara
- menelantarkan keluarga.
Dan Jika ternyata ada kepolisian yang melakukan hal tersebut maka kalian bisa melaporkan polisi tersebut ke Divisi Profesi dan Pengamanan (DIV PROPAM) POLRI
Lalu upaya hukum apa yang bisa kita tempuh agar kita tetap bisa mendapatkan uang kita kembali?
Ada dua cara yang bisa kita lakukan agar hak kita untuk mendapatkan uang kita kembali bisa terpenuhi. Pertama, yaitu melalui musyawarah atau negosiasi. Cara ini merupakan langkah pertama dan utama yang harus kreditur dan debitur lakukan terlebih dahulu, karena apabila permasalahan tersebut dibawa ke pengadilan, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh kedua belah pihak tentu tidak sedikit. Selain itu, dengan musyawarah bisa saja kedua belah pihak menemukan win-win solution atas permasalahan yang mereka hadapi. Namun, apabila cara musyawarah tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka pihak kreditur bisa menggugat debitur ke pengadilan negeri dengan dasar wanprestasi atau cidera janji, sebagaimana diatur dalam pasal Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
serta Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), berbunyi:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.” ()