oleh : Yukiatiqa Afifah
Internship Advokat Konstitusi
Berbicara mengenai LGBT (lesbian,gay,biseksual dan transgender) kita akan dihadapkan dengan situasi yang pro dan kontra. Pasalnya permasalahan ini sangat sensitif untuk dibahas dan sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan masyarakat yang kerap kali muncul dan terus berulang dengan pembenaran dan alasannya masing-masing. Homoseksual dan lesbian merupakan penyimpangan seksual oleh orang yang mempunyai kelainan seks pada umumnya. LGBT bukan merupakan sebuah penyakit jiwa namun hanya gangguan orientasi seksual yang dialami oleh beberapa orang. Permasalahan muncul ketika pelaku LGBT apakah pantas dijatuhkan hukum pidana atau hanya akan mengganggu hak privasi seseorang?
Jika kita berkaca pada ranah hukum positif Indonesia, dalam hukum pidana aturan mengenai homoseksual dan lesbian diatur dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan Bab XIV kejahatan kesusilaan pada pasal 292 yang menyebutkan bahwa “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” berdasarkan pasal diatas, bahwasanya perilaku homoseksual dan lesbian termasuk ke dalam perbuatan cabul, orang yang diancam dalam pasal ini adalah orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa dengan jenis kelamin yang sama. Dewasa dalam hal ini berarti telah cakap hukum atau telah telah berumur 21 tahun, atau belum mencapai umur tersebut tetapi sudah menikah. Adapun jenis kelamin yang sama berarti laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Jelas terlihat maksud dari isi pasal tersebut belum mengatur secara tegas tentang penjatuhan pidana bagi LGBT khususnya dengan isu biseksual dan transgender belum diatur sama sekali. Pidana bagi pelaku hanya bisa diterapkan jika homoseksual dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak. Namun apabila yang terjadi sebaliknya, anak-anak kepada orang dewasa atau seumur maka akan menimbulkan kekosongan hukum karena tidak jelas pengaturannya dan perlu diatur kembali dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
KUHP memberikan ancaman berupa hukum pidana hanya dikenakan terhadap orang dewasa saja yang melakukan hubungan sesama jenis kelamin kepada orang yang belum dewasa. Dalam pasal ini yang disebut pembuat adalah orang yang sudah dewasa sedangkan orang yang belum dewasa tidak bisa dikatakan sebagai pembuat perilaku tersebut. Dalam KUHP yang menjadi objeknya adalah orang dengan jenis kelamin yang sama yang belum dewasa. Jadi apabila objek tersebut adalah orang dari jenis kelamin yang sama dan sama-sama dewasa maka tidak akan terkena hukuman pidana.
Namun demikian, dalam hukum positif pula diperlukan sebuah bukti sebelum menjatuhkan hukuman bagi pelaku homoseksual dan lesbian. Dalam pasal 184 kitab undang-undang hukum acara pidana ayat 1 dan 2 berbunyi: alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk. Pembuktian pidana dalam kasus LGBT sangat sulit, karena harus melakukan perbuatan dahulu dan melanggar ruang privasi. Namun di sisi lain, penjatuhan pidana bagi pelaku LGBT patut dilakukan karena perilaku tersebut bertentangan dengan hukum agama dan tata sosial masyarakat. Negara harus hadir dalam memformalkan keyakinan hukum masyarakat untuk melindungi seluruh warga negaranya. Berdasarkan sila pertama pancasila yakni ketuhanan yang maha esa. Rujukannya semua agama, tidak ada satupun agama yang memperbolehkan pelaksanaan LGBT. Jika sampai LGBT dibiarkan di Indonesia akan bertentangan dengan pancasila. selain itu, hadirnya LGBT ini akan bertentangan dengan fitrah manusia juga mengancam eksistensi manusia. Kemudian jika menilik pada UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Hal tersebut membawa akibat bahwa negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria. Dengan demikian, legalitas kaum homoseksual memang tidak ada.
Dalam hukum pidana juga dikenal dengan asas legalitas, yaitu sesuatu dapat dihukum jika didahului oleh peraturan perundang-undangan. dalam konteks ini, orang yang LGBT tidak dapat dipidanakan karena belum ada aturan hukum yang mengatur perbuatan tersebut. Orientasi seksual seseorang tidak bisa dipidana karena ranah privat yang tidak bisa dibatasi maupun diintervensi oleh negara, yang mana hal tersebut merupakan kebebasan masing-masing orang. Orientasi seksual seseorang itu bagian dari hak asasi. Negara diperbolehkan membatasi hak seseorang apabila hak itu menimbulkan ancaman terhadap orang lain. Orientasi seksual yang berbeda tidak mengancam orang lain seperti halnya kasus narkotika. Jika dilihat dari aspek agama, hanya tuhan yang berhak mengadili bukan manusia. Seseorang bisa saja tidak setuju atas kelompok tertentu berdasarkan nilai-nilai agama yang diyakininya, tetapi tidak bisa memaksa negara untuk menghukumnya. Ditambah lagi tidak ada satupun dalam peraturan perundang-undangan yang melarang perbuatan LGBT. Pasal 292 KUHP dibuat khusus untuk memproteksi anak dari kejahatan pencabulan. Tidak adanya korban dalam LGBT karena dilakukan atas dasar suka sama suka. Dalam konteks pencabulan harus ada korbannya. Ada pelaku dan ada korban. Oleh karena itu, hukum pidana tidak boleh mengatur terlalu jauh sampai ke urusan pribadi sebab ditakutkan terjadi tindakan kesewenangan aparat penegak hukum. ()