Oleh: Rafaella
Kasus penganiayaan terhadap David Ozora kembali dengan plot twist terbaru. Pasalnya penasihat hukum AG, menyatakan telah dua kali menerima penolakan dari Polda Metro Jaya saat melaporkan Mario Dandy atas statutory rape atau hubungan seksual antara orang dewasa dan anak dibawah umur (minor) berdasarkan fakta sidang AG yang dibacakan dimana AG disebutkan telah melakukan hubungan seksual dengan Mario Dandy sebanyak lima kali. Adanya faktor usia AG yang masih di bawah umur dan usia Mario Dandy yang sudah menginjak 20 tahun, menurut Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) merupakan bukti adanya kerentanan AG dalam kasus ini dan mendorong Mahkamah Agung dalam Kasasi untuk mempertimbangkan adanya child grooming atau manipulasi anak oleh orang dewasa.
Dalam ranah hukum, child grooming belum memiliki pengertian yang seragam namun menurut International Centre for Missing and Exploited Children, child grooming merupakan manipulasi psikologis secara bertahap dalam jangka waktu yang lama terhadap anak dibawah 18 tahun dengan tujuan membangun hubungan emosional agar secara perlahan anak merasa nyaman untuk memiliki dan merahasiakan hubungan seksual baik secara langsung maupun difasilitasi secara online dengan orang dewasa tersebut. Di Indonesia, Center for Public Mental Health Universitas Gadjah Mada (CPMH UGM) menggambarkan child grooming sebagai proses seseorang dalam mempersiapkan anak atau remaja di bawah umur dengan melalui manipulasi emosional untuk menerima dan tidak mempermasalahkan pelecehan seksual dari seorang dewasa tersebut.
Proses manipulasi yang dilakukan pelaku child grooming memanfaatkan keadaan psikologis serta kemampuan rasional seseorang di bawah umur yang umumnya belum stabil. Menurut INHOPE Association Uni Eropa, child grooming umumnya dilakukan dalam 6 (enam) tahap sebagai berikut,
- Memilih target: biasanya pelaku child grooming akan menarget anak di bawah umur di lingkungan sekitarnya atau dari orang-orang terdekat. Dalam hal child grooming di dunia maya, pelaku seringkali berpura-pura menjadi seseorang yang seumuran dengan target.
- Memulai komunikasi: pelaku akan menunjukan perhatian dengan memberikan pujian serta hadiah kepada target anak untuk membangun komunikasi rutin dengan anak.
- Membangun rasa percaya: dengan komunikasi rutin, anak akan secara perlahan menaruh rasa percaya yang tinggi terhadap pelaku. Dalam tahap ini, target anak akan sulit untuk melihat bahwa perlakuan pelaku child grooming terhadapnya adalah bukan hal yang normal
- Pembiasaan terhadap perbuatan seksual: pelaku akan mulai mengekspos anak pada hal-hal yang berunsur seksual baik kontak fisik maupun konten dalam dunia maya untuk membiasakan target anak terhadap perlakuan seksual yang dilakukan pelaku
- Memperkuat kontrol: pelaku akan memaksa anak untuk merahasiakan hubungan mereka dengan ancaman atau dengan mempermalukan anak
Child grooming sebagai suatu pidana sendiri sudah dicetuskan sejak tahun 1921 pada The International Convention for the Suppression of the Traffic in Women and Children, namun hingga saat ini hanya segelintir negara yang mengatur tindakan child grooming sebagai suatu tindak pidana tersendiri. Salah satunya di Inggris, dalam Sexual Offences Act 2003, seorang dewasa dapat dituduh sebagai pelaku child grooming jika berkomunikasi secara rutin dan bertemu tanpa alasan yang jelas dengan anak dibawah umur 16 tahun walaupun tidak terjadinya hal-hal yang berunsur seksual dan dapat dihukum hingga 14 tahun penjara.
Di Indonesia, hubungan kekasih atau pacaran antara seseorang yang sudah dewasa dan anak di bawah umur seperti halnya Mario Dandy dan AG yang masing-masing berumur 20 dan 15 tahun bukan kali pertama terjadi dalam waktu satu tahun belakangan ini. September 2022 lalu, publik Indonesia sempat dihebohkan dengan pengakuan artis Kriss Hatta yang saat itu berumur 34 tahun yang memiliki seorang kekasih yang berumur 14 tahun. Namun, tidak adanya bukti bahwa telah terjadinya hubungan seksual membuat pengakuan tersebut tenggelam di antara berita menghebohkan lainnya. Hal tersebut salah satunya disebabkan tidak adanya aturan hukum di Indonesia yang mempidanakan hubungan kekasih non-seksual antar orang dewasa dan anak dibawah umur.
Indonesia, seperti berbagai negara lainnya, hanya memiliki aturan pidana atas perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa terhadap anak dibawah umur. Dari tingkat paling umum misalnya, dalam KUHP, pencabulan terhadap seorang yang belum dewasa dalam Pasal 290, perbuatan cabul terhadap seorang yang diketahui atau seharusnya diketahui pelaku sebagai seorang belum 15 tahun atau perbuatan cabul dengan bujukan terhadap seorang belum 15 tahun dapat dipidana penjara maksimal 7 tahun. Lebih lanjut, Pasal 293 KUHP memperluas bahwa jika seseorang memberi/menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan kedewasaannya atau dengan penyesatan sengaja menggerakan seorang yang belum dewasa untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia dapat diancam penjara paling lama lima tahun.
Penentuan umur dewasa dalam hubungan seksual atau age of consent sendiri belum menemui titik keseragaman dalam hukum Indonesia. Jika sebelumnya dalam KUHP, pencabulan tersebut menyasar pada seorang yang belum 15 tahun, dalam UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Anak, korban tindak pidana dapat dikategorikan sebagai ‘Anak’ jika belum berumur 18 tahun. Kembali pada pembicaraan pidana terhadap child grooming, UU Perlindungan Anak juga hanya mengatur perbuatan cabul terhadap anak. Pada Pasal 76E UU No.17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dan dapat dihukum penjara dari 5-15 tahun dan denda maksimal 5 Miliar Rupiah menurut Pasal 82.
Dari pasal tersebut dapat dilihat beberapa faktor yang termasuk dalam unsur child grooming seperti tipu muslihat, melakukan kebohongan, atau membujuk anak. Namun, unsur-unsur tersebut tidak diatur pemidanaannya tanpa terjadinya atau terbuktinya adanya pencabulan terhadap anak. Dalam hal kasus AG, dimana hubungan seksual dinyatakan telah terjadi, masih ada beban untuk membuktikan bahwa hal tersebut terjadi dengan ancaman atau faktor-faktor dalam pasal UU Perlindungan Anak tersebut. Kesulitan tersebut ditambah lagi dengan stereotype atau anggapan masyarakat yang melihat hubungan seksual yang terjadi lebih dari satu kali menunjukan bahwa anak menginginkan hubungan tersebut atau biasanya disebut “mau sama mau” walaupun age of consent atau dewasa adalah 18 tahun. ()