DAMPAK DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP OTONOMI DAERAH

oleh : Fauzul Hadi Aria Langga

Internship Advokat Konstistusi

Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah

Pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yang meliputi wilayah Provinsi dengan dipimpin oleh Gubernur, wilayah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Bupati/Wali Kota. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah ada asas yang dijalankan yaitu otonomi daerah. Prinsip otonomi ini sendiri merupakan konsep dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di negara Indonesia dengan ciri khas tersendiri sebagaimana telah termaktub dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi “ pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.

Pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya merupakan manifestasi dari sistem desentralisasi dalam pemerintahan di suatu negara. Desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia mengacu kepada pembentukan suatu area yang disebut daerah otonom yang merupakan tempat atau lingkup dimana kewenangan yang diserahkan dari pusat akan diatur, diurus dan dilaksanakan. Daerah otonom tersebut berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Urusan-urusan tersebut mula-mula sebagai urusan pemerintah pusat, kemudian setelah diserahkan kepada daerah menjadi urusan daerah yang sifatnya otonom.

Otonomi daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2005, yang kemudian diganti lagi dengan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya direvisi lagi dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, menekankan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat dan spirit otonomi daerah sesuai dengan UU No.23 tahun 2014 adalah untuk mendorong prakarsa lokal dalam membangun kemandirian daerah dalam wadah NKRI.

Urusan pemerintahan terbagi 3 yaitu ada urusan pemerintahan absolut, konkuren dan umum. Salah satu bagian yang menjadi urusan Pemerintahan Daerah adalah bidang perizinan di berbagai sektor, yang mana ini termasuk bagian urusan pemerintahan konkuren.  Urusan pemerintah konkuren sendiri merupakan tugas yang dibagi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.

Bidang perizinan pemerintahan daerah dikenal dengan mekanisme Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Dari mengurus bidang perizinan industrial hingga penanaman modal. PTSP sendiri merupakan kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian wewenang dari instansi yang memiliki kewenangan dengan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahapan terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Setidaknya ada 25 perizinan yang harus melalui PTSP ini, yaitu lingkungan hidup, pendidikan, perumahan, penataan ruang, pertanahan yang menjadi kewenangan daerah, kesehatan, pekerjaan umum, perindustrian, kehutanan, perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan, sosial, ketenagakerjaan dan transmigrasi, pertanian dan ketahanan pangan, komunikasi dan informasi, perpustakaan, olahraga dan kepemudaan, kebudayaan dan pariwisata, koperasi dan UKM, penanaman modal, perdagangan, pembangunan, energi dan sumber daya mineral, perikanan dan kelautan, peternakan, dan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri.

Akibat Hukum Dari Terbitnya UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terhadap Otonomi Daerah

Salah satu bagian yang menjadi urusan Pemerintahan Daerah adalah bidang perizinan di berbagai sektor dengan adanya mekanisme Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dari mengurus bidang perizinan industrial hingga penanaman modal. Perizinan industri sebagai kewenangan membutuhkan suatu dasar dalam pelaksanaannya. Kewenangan pemerintah daerah dalam perizinan industri terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah tepatnya pada Pasal 12, Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 Tentang Perindustrian yaitu pada Pasal 7, Pasal 14 dan dirincikan oleh turunan pasalnya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pengaturan mengenai kewenangan perindustrian daerah hanya sebatas pengaturan norma umum di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam bidang perindustrian berdasarkan kewenangan konkuren. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 yang mengatur khusus mengenai perindustrian menerangkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintah dalam bidang perindustrian. 

Kewenangan pemerintah daerah dalam perizinan industri kemudian diperjelas kembali dalam Peraturan pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 Tentang Izin Usaha industri yang  merupakan peraturan pelaksana dari Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014. PP ini memuat tentang Perizinan, Klasifikasi Usaha dan Izin Usaha, pembagian kewenangan, tata cara penerbitan izin dan izin lainnya yang berkaitan dengan izin industri. Dalam Pasal 2 Ayat (3) kegiatan perindustrian diklasifikasikan menjadi tiga yaitu industri kecil, industri menengah, industri besar. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam penerbitan Izin Usaha Industri dapat dilihat dalam Pasal 11 dan 12. Dalam Pasal 11 menjelaskan bahwa Gubernur berwenang memberikan Izin Usaha Industri (IUI) besar selain yang menjadi kewenangan Menteri. Sedangkan dalam Pasal 12 menjelaskan bahwa Bupati/Walikota memberikan IUI menengah dan IUI kecil yang lokasi industrinya berada di pada Kabupaten/Kota. Selain itu baik Gubernur maupun Bupati/Wali Kota dapat mendelegasikan kewenangan kepada kepala instansi pemerintahan di masing-masing tingkatan dalam penyelenggaraan pelayanan satu pintu.

Disahkannya Undang-undang cipta kerja telah mencabut beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang dimuat, di antaranya adalah Undang-Undang 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian dan Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tersebut telah membawa konsekuensi baru dalam urusan pemerintah daerah  konkuren khususnya mengenai kewenangan perizinan industri. Pembaharuan norma tersebut telah membawa pengaruh pada pelaksanaan otonomi daerah khususnya perizinan industri. Perubahan tersebut akan berakibat pada hilangnya kewenangan pemerintah daerah dalam perizinan dibidang industri dan beralih kepada konsep sentralisasi yang tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah.

Pada Pasal 101 Ayat (1) yang berbunyi “Setiap kegiatan usaha industri wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat” memiliki arti bahwa hanya pemerintah pusat yang berhak dan berwenang dalam menerbitkan izin industri. Ketentuan pasal tersebut telah menutup ruang otonomi daerah dalam perizinan industri di mana sebelumnya pemerintahan daerah Provinsi dapat mengeluarkan izin industri besar yang bukan kewenangan menteri. Dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang berwenang menerbitkan IUI menengah dan kecil kini semuanya beralih kepada pemerintah pusat. Adanya penyeragaman aturan mengenai perizinan menjadikan sistem otonomi daerah tergeserkan dan beralih ke sentralitas pusat. Hal ini memberi dampak kemunduran dalam semangat otonomi daerah yang dicanangkan.

Selain dicabutnya kewenangan pemberian izin industri, ternyata berdasarkan perubahan Pasal 117 yang mengatur mengenai pengawasan terhadap izin industri dan izin kawasan industri, pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewenangan tersebut. Padahal secara logika pemerintah daerah sebagai pihak lebih mengetahui kondisi langsung di daerahnya seharusnya memiliki kewenangan tersebut karena berkaitan dengan kecepatan dan efisien. Maka untuk menentukan apakah suatu pembagian urusan sudah dengan filosofi dan manfaat kita dapat menggunakan konsep ideal menurut Osborne dan Gaebler. Dalam pandangan osborne dan gaebler, dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintahan, desentralisasi atau otonomi dikatakan ideal apabila menunjukkan:

  1. Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) akan lebih menjadi fleksibel dalam 18 memenuhi berbagai perubahan yang terjadi cepat;
  2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien;
  3. Satuan-satuan desentralisasi menjadi lebih inovatif;
  4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

Berdasarkan teori diatas penentuan mengenai apakah suatu kewenangan konkuren diberikan kepada pemerintah daerah atau tidak harus ditentukan dengan pertimbangan aspek-aspek Fleksibel, Efektif dan efisien. Berdasarkan hal tersebut suatu kewenangan konkuren dapat diberikan kepada pemerintah daerah apabila pemerintah daerah dapat lebih baik dalam menjalankannya namun sebaliknya apabila pemerintah dirasa tidak dapat memenuhi aspek-aspek tersebut kewenangan konkuren sebaiknya tidak diberikan.

Apabila teori Osborne dan Gaebler dikaitkan dengan pengaturan mengenai otonomi daerah saat ini maka seharusnya pemerintah daerah memiliki kewenangan konkuren tersebut karena berkaitan dengan efektivitas, fleksibilitas, dan efisien. Kewenangan perizinan kegiatan industri akan lebih  Fleksibel, Efektif dan efisiensi apabila dimiliki pemerintah daerah, karena pemerintah daerah lebih mengetahui bagaimana pelaksanaan izin tersebut dalam implementasinya karena pabrik produksi terdapat di daerahnya, ditambah lagi apabila kewenangan tersebut berada ditangan pemerintah pusat hal tersebut hanya akan memperlama proses pengambilan keputusan karena membutuhkan waktu dan biaya yang lebih. 

Selain menjadi tidak Fleksibel, Efektif dan efisien, pencabutan kewenangan pemerintah daerah juga mempengaruhi pendapatan daerah, di mana salah satu sumber pendapatan daerah berasal dari sektor perizinan, memang berdasarkan perubahan Undang-Undang Pemerintahan daerah, pemerintah pusat dapat memberikan bantuan atau bahkan pinjaman akibat berkurangnya pendapatan asli daerah karena hapusnya beberapa kewenangan. Namun berdasarkan norma tersebut belum dapat dipastikan apakah pemberian bantuan anggaran atau pinjaman akan cukup menutupi besaran yang seharusnya diterima dari kegiatan perizinan ditambah lagi mekanisme pencairan dan sebagainya. Menurunnya pendapatan daerah akan mempengaruhi kualitas pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat, belum lagi mengenai pemenuhan sarana dan prasarana untuk masyarakat yang harus terus ditingkatkan guna memperlancar mobilitas perekonomian dan mewujudkan pemerataan pembangunan. ()