oleh : Apriska Widiangela
Internship Advokat Konstitusi
Pada bulan Juni lalu, beredar video viral yang menunjukan seorang pria yang melakukan aksi memeluk dan menciumi bocah perempuan di bawah umur di pelataran sebuah toko. Mengutip dari detik.com, menjelaskan bahwa dalam video tersebut tampak seorang pria yang usai bertransaksi dengan pemilik toko, terlihat dari pemilik toko memberikan sedotan kepadanya. Kemudian, datang seorang perempuan dewasa bersama anak kecil perempuan. Pada saat itu, perempuan dewasa masuk ke dalam toko, sedangkan anak kecil perempuan menunggu di pelataran toko bersama pria tadi. Sebelum melangsungkan aksinya, pria tersebut tampak mengawasi keadaan sekitar hingga akhirnya menarik bocah perempuan itu mendekat ke arahnya, hingga pada akhirnya pria tersebut melangsungkan aksi pelecehan bocah tersebut.
Video tersebut sempat diperbincangkan oleh masyarakat ramai, namun pernyataan Kapolsek setempat justru menimbulkan kontroversi. Pasalnya, atas kejadian yang menimpa anak perempuan di bawah umur tersebut, Kapolsek Sidayu, Iptu Khairul Alam menyatakan bahwa kejadian tersebut bukanlah pelecehan seksual. Mengutip detik.com (24/06/2022), ia berdalil demikian lantaran menurutnya pelecehan seksual itu buka baju, di samping itu tidak ada penolakan atau tanda ketakutan dari si anak seperti menangis ataupun marah melainkan diam saja. Pihak kepolisian pun tidak memproses lebih lanjut dengan dalih tidak ada laporan dari pihak keluarga korban.
Tindakan Pelecehan Seksual sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Di dalamnya diatur secara komprehensif mengenai konsep dan definisi mengenai Pelecehan Seksual. Pada pasal 6 huruf a menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya” dipidana karena pelecehan seksual fisik. Menanggapi kasus ini, Direktur Savy Amira Surabaya, Siti Mazdafiah turut angkat bicara. Bahwa menurutnya, seorang anak di bawah umur yang menjadi korban pelecehan seksual memang cenderung untuk diam atau freezing. Namun meskipun demikian, anak yang sudah merasa dilanggar otoritas tubuhnya akan mengalami dampak psikologis jangka panjang. Menurut hemat penulis, tindakan memeluk dan mencium Pria terhadap anak di bawah umur tersebut termasuk tindakan yang melanggar otoritas tubuh si anak, yang menyebabkan anak tersebut direndahkan martabatnya. Selain itu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga sudah menekankan melalui pasal 7 ayat (2) bahwa delik aduan tidak berlaku bagi Anak di bawah umur. Ini berarti, bahwa dalam hal menyangkut anak di bawah umur, maka seharusnya Aparat Penegak Hukum tidak perlu menunggu adanya laporan baru menindaklanjuti suatu perkara. Sehingga alasan Kepolisian memberhentikan tindak lanjut dikarenakan tidak ada aduan dari pihak korban, bukan merupakan hal yang tepat menurut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dengan uraian di atas, maka pernyataan Kapolsek tersebut menjadi catatan ‘rapor merah’ bagi pihak aparat penegak hukum dalam menangani kasus Kekerasan Seksual. Beberapa kasus juga menjadi catatan mengenai minimnya sensitivitas gender dan korban kekerasan seksual pada kepolisian. Bahkan seringkali, justru di kepolisian korban kekerasan seksual mengalami re-viktimisasi dan intimidasi oleh polisi di tahap pemeriksaan. Budaya patriarki masih melekat kuat bahkan hingga struktur aparat penegak hukum.
Merespon lemahnya penanganan dan sensitivitas gender di tingkat kepolisian ini, maka diaturlah tentang tindak-tanduk aparat penegak hukum menangani korban kekerasan seksual dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pada pasal 69 huruf e, menegaskan bagi hak korban kekerasan seksual salah satunya ialah perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan Korban. Selain itu, penguatan penanganan dari aparat penegak hukum juga diamanatkan melalui Undang-Undang ini tepatnya pasal 81, yang menyatakan bahwa Pemerintah baik pusat maupun daerah, wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum terkait Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Namun, substansi pasal dalam Undang-Undang tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Perlu didorong pula dari segi budaya yang hidup di masyarakat untuk lebih berkeadilan gender dengan menuntaskan budaya patriarki. Diperlukan nyawa untuk dapat melaksanakan apa yang diatur dalam undang-undang untuk dapat mencapai kehidupan bermasyarakat yang aman dari kekerasan seksual. Dengan demikian, substansi, struktur dan budaya hukum harus dapat diimbangkan untuk dapat menggerakan roda penegakan hukum itu sendiri, tidak terkecuali dalam kasus penanganan kekerasan seksual. Substansi hukum yang memberikan perlindungan terhadap korban, penghapusan budaya patriarki dalam masyarakat, hingga penguatan sistem struktur aparatur penegak hukum untuk penanganan kekerasan seksual harus dapat berjalan bersamaan. Pasca diundangkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, besar harapan penulis supaya dengan adanya undang-undang tersebut dapat memberikan perlindungan hukum serta mengubah paradigma masyarakat terkait kekerasan seksual. Sehingga, keadilan bagi korban kekerasan seksual dapat tercapai. ()