Desentralisasi Politik Melalui Gagasan Partai Politik Lokal

Oleh : Aditya Wahyu Saputro

(Internship Advokat Konstitusi)

Setiap lima tahunan melalui pemilihan umum (pemilu), rakyat akan dihadapkan pada gambar berbagai partai politik peserta pemilu secara nasional. Bergulirnya wacana desentralisasi dan otonomi politik pasca reformasi, telah mendorong sejumlah pihak untuk menggagas pembentukan partai politik lokal di seluruh Indonesia guna menciptakan partisipasi politik semakin ‘merakyat’ dan tidak terkesan menjadi isu sentralistik pimpinan partai di Jakarta. Adanya partai politik lokal telah lama dipraktikan di Aceh sebagai bagian dari desentralisasi politik Aceh melalui Kesepakatan Helsinki 2005.

Eksistensi partai politik sangat vital dalam menentukan corak rezim kekuasaan di suatu negara demokrasi. Sebab, perkembangan partai politik dapat merefleksikan tingkat demokratisasi kehidupan bernegara, selain fakta bahwa partai politik itulah yang melahirkan demokrasi (Sattscheinder, 1942). Selain itu, partai politik menjadi satu-satunya organisasi untuk membentuk dan memutuskan kemauan kolektif masyarakat (Michaels, 1984:23). Menurut Macridis, partai politik memiliki sejumlah fungsi, yaitu representasi, konversi dan agregasi, integrasi, persuasi, rekrutmen, pemilihan pemimpin, pertimbangan dan perumusan kebijakan, dan kontrol terhadap pemerintah (Amal, 1988: 27).

Pembentukan partai politik lokal memiliki urgensi di tengah desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah pasca reformasi. Otonomi telah memberikan wewenang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan daerah. Oleh karena wewenang yang sekarang berada di tingkat lokal (daerah), maka partisipasi politik juga harus dibangun dengan orientasi dan kepentingan setempat demi mencapai sistem kepartaian yang sensitif terhadap masalah-masalah lokal. Sensitivitas timbul dari keunggulan partai politik lokal yang lebih dekat dengan konstituennya (Hamid, 2008: 34). Hal tersebut didukung juga oleh cakupan kerja partai yang hanya di level daerah saja sehingga memudahkan pengendalian isu, advokasi kepentingan, dan rekrutmen di wilayah yang lebih kecil.

Menurut Lay, terdapat 3 tujuan pembentukan partai politik lokal. Pertama, hak minoritas, artinya partai politik lokal didirikan untuk memajukan dan melindungi hak-hak dasar dan identitas lokal kelompok minoritas tertentu. Kedua, hak otonomi, partai politik lokal diharapkan dapat membuka ruang yang lebih luas bagi desentralisasi kebijakan politik di tingkat lokal. Ketiga, partai politik lokal terkadang menjadi jalan untuk memperjuangkan aspirasi kemerdekaan di wilayah tertentu (Lay, 2002:4). Namun, pengalaman di Inggris dan Indonesia menunjukkan bahwa hanya tujuan pertama dan kedua yang ingin dicapai, sedangkan partai politik lokal digunakan untuk meredam tuntutan separatisme.

Ruang demokrasi dan partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dengan hadirnya partai politik lokal. Hal tersebut dibuktikan saat partai politik lokal menjadi salah satu solusi proses desentralisasi kekuasaan di tengah isu separatisme baik di Indonesia maupun di Inggris. Pada akhir dekade 90-an, Inggris menerapkan devolution of power sebagai bentuk desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat di London untuk diserahkan kepada pemerintah lokal Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Selanjutnya, tumbuh partai-partai lokal di ketiga wilayah tersebut karena luasnya wewenang yang diserahkan kepada pemerintah lokal, sehingga membuat partisipasi lokal meningkat melalui kerangka partai politik lokal (Karsayuda, 2010: 540-543).

Menilik politik lokal di Indonesia, aspirasi pembentukan partai politik lokal menjadi salah satu kesepakatan mendasar pada Kesepakatan Helsinki 2005 untuk mewujudkan kemandirian politik serta memberikan ruang partisipasi lebih di Aceh. Tuntutan separatisme untuk memperolehan self-governing dijawab secara kompromi dengan mengizinkan adanya partai politik lokal yang dapat menjadi peserta pemilu di tingkat lokal Aceh saja. Rupanya, aspirasi pembentukan partai politik lokal di Aceh juga tidak terlepas dari kekecewaan terhadap kinerja partai politik nasional dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan lokal masyarakat Aceh (AIK/DIK, 2006). Oleh karena itu, peran dan aspirasi tingkat lokal dapat dibuka lebih luas dengan pendirian partai politik lokal.

Desain partai politik lokal di Indonesia tidak akan jauh berbeda, cenderung mirip dengan praktik di Aceh. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, partai lokal Aceh diartikan sebagai partai yang dibentuk oleh warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh dan hanya dapat menjadi peserta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRD provinsi), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRD kab/kota), gubernur, bupati, dan wali kota. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa partai politik lokal tidak dapat ikut serta dalam pemilu untuk memilih anggota DPR dan/ atau mengajukan calon Presiden/Wakil Presiden. Selanjutnya, partai politik lokal berada di tingkat provinsi dan memiliki kepengurusan di tingkat kabupaten/kota tetapi tidak memiliki kepengurusan di tingkat nasional. Oleh karenanya, partai politik lokal secara kelembagaan terpisah dengan partai politik nasional.

Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara partai politik lokal dan partai politik nasional yang digagas terletak pada cakupan wilayah kepengurusan dan keikutsertaan dalam pemilu. Pertama, partai politik lokal tidak memiliki kepengurusan di luar provinsi, melainkan partai politik bersangkutan berdomisili. Sedangkan, partai politik nasional harus memiliki struktur kepengurusan di semua provinsi dan sebagian kabupaten/kota di provinsi bersangkutan. Kedua, hak partai politik lokal hanya terbatas untuk pemilu lokal seperti pemilihan anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota, pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati. Sebaliknya, partai politik nasional dapat bertarung dalam semua pemilu, baik tingkat lokal dan tentunya nasional seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR RI.

DAFTAR PUSTAKA

  • Michels, Robert. “Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi”. Jakarta: Rajawali Press.1984.
  • Karyasuda, M. Rifqinizamy. “Partai Politik Lokal di Negara Kesatuan: Upaya Mewujudkan Otonomi Daerah di Bidang Politik. Jurnal Hukum Vol. 17 No. 4 (Oktober 2010).
  • Hamid, Ahmad Farhan. “Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan”. Jakarta: Kemitraan. 2008. 

  ()