Oleh: Shafira Arizka Maulidyna
Instrumen Perppu, merupakan produk hukum yang menjadi constitutional power Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22 D Ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyatakan, bahwa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang”. Penerbitan Perppu oleh Presiden selalu dikaitkan pada suatu kondisi yang luar biasa, sehingga prosedur formil pembentukan Undang-Undang yang seharusnya diizinkan untuk diabaikan untuk memenuhi kebutuhan hukum pada kondisi-kondisi tersebut. Lalu muncul pertanyaan serius mengenai diskursus Perppu dalam praktik perundang-undangan di Indonesia, dan kapankah tepatnya suatu Perppu dapat diterbitkan.
Dalam konteks, konstitusional, Pasal 22D Ayat (1) telah memberikan batasan objektif melalui frasa “dalam hal ihwal” dan “kegentingan memaksa”, yang merujuk suatu kondisi akan kebutuhan hukum yang mendesak. Secara konsep seringkali dikaitkan dengan state emergency, sehingga Perppu dapat berlaku sebagai suatu pranata emergency law. Meskipun demikian, dalam konsep HTN darurat, Jimly Asshiddiqie menyampaikan bahwa emergency state tidak selalu merujuk kepada suatu keadaan bahaya atau “dangerous treat” melainkan hal lain yang mendesak seperti untuk memelihara keselamatan negara dari ancaman-ancaman yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut atau kekosongan hukum yang mengganggu suatu sistem hukum negara.
Hal tersebut juga dijelaskan oleh Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, bahwa “kegentingan memaksa” juga bermakna suatu kondisi yang ditafsirkan Presiden terdapatnya kebutuhan melakukan pengaturan di satu sisi dan di sisi lain adalah terbatasnya waktu untuk melakukan proses legislasi biasa. Lalu apa saja indikator atas “kegentingan memaksa”?
Dalam hal ini, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 menguraikan mengenai indikator atas “kegentingan memaksa”, yakni:
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
- Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan-keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan
Sekalipun MK, telah menguraikan beberapa indikator atas frasa “kegentingan memaksa”, nyatanya penerbitan beberapa Perppu masih sering terjadi perdebatan, khususnya beberapa penerbitan Perppu yang dianggap secara substansial bermasalah seperti penerbitan Perppu mengenai perubahan UU Ormas, Perppu mengenai Kebijakan keuangan negara dalam penanganan pandemic covid, hingga yang paling terbaru Perppu Cipta Kerja. Penerbitan Perppu Cipta Kerja sendiri merupakan buntut dari pembekuan UU Cipta Kerja oleh MK akibat UU Cipta Kerja terbukti “cacat formil”, atau tidak memenuhi proses pembentukan peraturan Perundang-undangan yang baik.
Poin utama dalam beberapa catatan MK pada putusan tentang UU Cipta Kerja adalah keharusan terhadap pembentuk legislasi yakni DPR bersama-sama Pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja melalui proses formil sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karena itu, penerbitan Perppu Cipta Kerja sangat wajar diberikan kritik sebagai suatu bentuk pembangkangan pemerintah terhadap Putusan MK. Nilai esensial yang terkandung dalam putusan MK sebagai putusan pertama yang mengabulkan permohonan uji formil di Indonesia, merupakan bentuk pengakuan terhadap kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip meaningful participation dan demokrasi.
Meskipun pembentukan Perppu diargumentasikan atas dasar keadaan yang bersifat darurat serta dibenarkan dalam perspektif instrumentalis, namun peran instrumen hukum menjadi sangat lemah dalam hal legitimasi apabila dikaitkan dengan konsep demokrasi deliberatif dan konsep rule of law. Sehingga, keputusan pemerintah untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja jelas menunjukkan Pemerintah yang tidak memahami esensi atas Putusan MK. Secara prinsip dapat dikatakan, bahwa kesempatan untuk memperbaiki RUU Cipta Kerja baik secara substansial maupun prosedural yang telah diberikan oleh MK, seharusnya dapat dipahami Pemerintah sebagai momentum untuk membentuk legislasi yang berkualitas dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Namun alih-alih memperbaiki dengan prosedur normal, pemerintah justru menciptakan preseden buruk terhadap proses pembentukan perundang-undangan.
Instrumen Perppu seharusnya menjadi instrumen “mahal”, dan digunakan hanya pada saat yang benar-benar genting, sehingga fungsi legislasi yang seharusnya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Namun, dengan praktik penerbitan Perppu yang sekarang, daripada disebut sebagai instrumen hukum darurat, Perppu lebih menyerupai mekanisme fast track legislation dengan mekanisme yang berbeda, atau dapat disebut sebagai fast track legislation ala Indonesia yang mementingkan kepentingan pemerintah dibanding kepentingan memaksa. ()