Oleh: Evan Tobias
(Content Creator Advokat Konstitusi)
Triwulan pertama di tahun 2021, media massa dan internet dihebohkan dengan rangkaian berita terkait aksi ataupun dugaan terorisme. Pada bulan Maret lalu, pengeboman dilakukan di Gereja Katedral Makassar ataupun di bulan April Densus 88 menangkap beberapa orang yang diduga terlibat dalam aksi tindak pidana terorisme, selain itu di awal Mei, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua ditetapkan sebagai teroris oleh pemerintah.
Di Indonesia, tindakan teror yang merugikan masyarakat telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2018 yang merubah UU No. 15 Tahun 2003 dan pelanggarannya diberikan sanksi pidana. Apabila ditilik dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, UU Terorisme tersebut memiliki cara ‘lahir’ yang cukup kontroversial karena adanya implementasinya yang menyimpang dari prinsip-prinsip hukum pidana pada umumnya.
Dalam hukum pidana, dikenal prinsip non-retroaktif, yang bermakna hukum tidak boleh berlaku surut terhadap suatu perbuatan. Indonesia menganut prinsip ini dan diimplementasikan ke dalam beberapa instrumen hukum, salah satunya melalui Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945. Meskipun sudah diakui sebagai Hak Asasi Manusia dalam konstitusi, prinsip ini dilangkahi oleh kehadiran UU Terorisme pada tahun 2002.
Sebelum membahas bagaimana prinsip non-retroaktif disimpangi oleh UU Terorisme di tahun 2002, kita perlu memahami bagaimana konteks pada waktu tersebut. Di tahun 2002, tepatnya 12 Oktober 2002, terjadi Bom di Bali, peristiwa tersebut memicu perhatian di Indonesia. Pemerintah meresponi tindakan bom tersebut dengan mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2002 yang saat ini ditetapkan sebagai UU No. 15 Tahun 2003 dan menjatuhkan putusan pidana mati terhadap terpidana bom tersebut.
Adapun Amrozi, Ali Imron, dan Imam Samudera, terpidana dari kasus bom bali, mengajukan uji materil ke MK dan menguji Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002 dengan Pasal 28I UUD NRI 1945. Dalam putusan No. 013/PUU-I/2003, MK menyatakan bahwa Pasal 46 Perpu bertentangan dengan Pasal 28I UUD NRI 1945, MK berpendapat bahwa prinsip non-retroaktif hanya dapat dikecualikan teruntuk kejahatan luar biasa, dimana terorisme tidak termasuk ke dalamnya. Meskipun telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, proses peradilan terhadap terdakwa terorisme tetap berjalan dan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali, mengingat hakim memandang bahwa Putusan MK bukanlah bukti yang baru.
Kasus bom bali dan UU terorisme menimbulkan diskusi terkait Hak Asasi Manusia. Meskipun MK memutuskan bahwa terdapat pasal yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, tapi tetap saja terdakwa tidak mendapatkan kesempatan untuk menggunakan putusan MK tersebut untuk melawan putusan pengadilan sebelumnya. Dalam hal ini, penulis berpandangan bahwa terorisme adalah kejahatan yang kejam dan melanggar hak asasi manusia. Namun, di sisi yang lain, terdapat dilema untuk memberikan keadilan dan juga mempertahankan kaidah ilmu hukum agar tetap berada di jalur yang semestinya. Oleh sebab itu, baik MK maupun pemerintah, menurut penulis, telah berusaha sebaik mungkin dalam menyeimbangkan dilema tersebut. Dimana pemerintah, memberikan keadilan dan kepastian hukum melalui dikeluarkannya Perpu dan pengadilan tetap memproses terdakwa, dan MK menjaga kaidah ilmu hukum agar tetap berada di jalurnya dengan menyatakan tidak sahnya Pasal 46 terhadap UUD NRI 1945.
Sumber:
Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8, No. 1, 2008
Putusan No. 013/PUU-I/2003,
Detik, Ini Peran 4 Terduga Teroris Terkait Pasutri Bomber Gereja Makassar, https://news.detik.com/berita/d-5513808/ini-peran-4-terduga-teroris-terkait-pasutri-bomber-gereja-makassar, diakses pada Mei 2021
Detik, Penangkapan Munarman dan Geger Temuan Mother of Satan, https://news.detik.com/berita/d-5554355/penangkapan-munarman-dan-geger-temuan-mother-of-satan, diakses pada Mei 2021.
CNN, Cap KKB Teroris dan Skenario Perang di Tanah Papua, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210430185758-20-637169/cap-kkb-teroris-dan-skenario-perang-di-tanah-papua, diakses pada Mei 2021 ()