Oleh: Azeem Marhendra Amedi
(Internship Advokat Konstitusi)
Presiden Joko Widodo dikabarkan telah membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat melalui Mekanisme Non Yudisial (UKP-PPHB). Dilansir dari Tirto, hal tersebut sudah didiskusikan sejak lama bersama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tujuan pembentukan UKP-PPHB tersebut ialah membahas serta merancang Rancangan Peraturan Presiden tentang Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui Mekanisme Non Yudisial.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, memang menjelaskan bahwa Pemerintah telah berdiskusi dengan mereka untuk membuka opsi penanganan non-yudisial. Hanya saja, Maria Catarina Sumarsih sebagai seorang aktivis HAM memandang bahwa dibukanya opsi tersebut hanya akan meloloskan pelaku dari tanggung jawab atas pelanggaran yang mereka lakukan. Mekanisme tersebut menurutnya hanya akan memindahkan tanggung jawab pelaku pada Presiden atau Pemerintah saja.
Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar. Menurutnya, dengan Perpres tersebut akan mendorong tidak diungkapkannya kebenaran. Ia juga menambahkan bahwa hal itu diakibatkan dari dihapuskannya mekanisme pengadilan dari penyelesaian pelanggaran HAM berat tersebut.
Bagaimana sejatinya penindakan pada pelanggar HAM berat dilakukan?
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menghendaki penyelesaian pelanggaran HAM berat dilakukan pada suatu pengadilan HAM yang dibentuk di lingkungan peradilan umum, sesuai pada Pasal 104 ayat (1). Ketentuan tersebut berarti memberikan kewajiban bagi Negara untuk melaksanakan penindakan pelanggaran HAM berat hanya dengan mekanisme yudisial, bukan dengan cara yang lain. Kecuali jika ditentukan lain, misalnya dibuka kemungkinan untuk menyediakan mekanisme tersebut, maka mekanisme non-yudisial bisa saja dimungkinkan.
Pengaturan serupa juga telah secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengadilan HAM telah mengatur bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat, baik di dalam maupun di luar batas teritorial wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski Pengadilan HAM bersifat ad hoc, namun jika mengacu pada penafsiran limitatif pada Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka hanya lembaga Pengadilan HAM saja yang berhak memutus perkara pelanggaran HAM berat. Sehingga tertutup kemungkinan untuk membuka mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan kasus tersebut. Akibat tidak ditentukan untuk membuka kemungkinan penindakan pelanggaran HAM berat dengan mekanisme non-yudisial, maka Rancangan Perpres tersebut sudah bertentangan dengan Pasal 104 UU HAM. Jika Perpres tersebut terealisasi, maka akan sangat memiliki kemungkinan besar untuk dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review.
Hal ini memberi peringatan bagi Pemerintah untuk tidak melangkahi atau mengingkari amanat UU HAM. Ketentuan peraturan pelaksana yang ada di bawah undang-undang haruslah sesuai dengan seluruh undang-undang yang telah berlaku, tidak ada satupun yang dapat bertentangan dengan apa yang telah diatur. Jika hendak mengadakan mekanisme non-litigasi, maka yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk undang-undang. Hal ini pernah dilakukan pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan membentuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR).
Permasalahannya, UU KKR diputus inkonstitusional dan tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006. Menurut MK, hanya dengan permohonan maaf dan rasa bersalah dari pelaku, upaya rekonsiliasi pelaku dan korban, tidak akan pernah menghapus tanggung jawab pelaku atas pelanggaran HAM berat. Kewajiban untuk menjamin dan melindungi HAM ada pada Pemerintah, sehingga praktik pemberian amnesti oleh Presiden pada pelaku pelanggaran HAM berat hanya akan mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin pada UUD 1945, terutama pada para korban. Pemberian amnesti pada pelanggar HAM berat tersebut juga tidak diperkenankan oleh komunitas internasional, menurut General Comment Komisi HAM PBB (UNHRC).
Sehingga dengan dasar tersebut, apabila Presiden tetap mencoba untuk merealisasikan Perpres PPHB untuk menyediakan mekanisme non-yudisial pada pelanggar HAM berat, maka Presiden telah melawan UU HAM, UU Pengadilan HAM, dan Putusan MK. Perpres PPHB bukanlah jalan yang dapat ditempuh untuk para pelaku agar lepas dari tanggung jawab yang harus mereka pikul. Mekanisme yudisial harus menjadi satu-satunya mekanisme untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat di masa lampau, demi menjaga kewajiban Negara dalam melaksanakan pemenuhan, penghormatan, serta perlindungan HAM bagi setiap warga negara.
Sumber:
Andrey Sudjatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta; Rajawali Press, 2016.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006.
“Draf Perpres Jokowi Bikin Jenderal Pelanggar HAM Lolos Dipidana”, Tirto.id, 24 Maret 2021, https://tirto.id/draf-perpres-jokowi-bikin-jenderal-pelanggar-ham-lolos-dipidana-gbpG. ()