Fenomena Gig Economy dalam Hukum Ketenagakerjaan

Oleh : Hening Daini

Belum lama ini beredar viral di dunia maya video makian terhadap salah seorang kurir ekspedisi. Ini bukan kali pertama kurir dihadapi dengan permasalahan dalam pekerjaannya. Sebelumnya bulan lalu kurir salah satu e-commerce melaksanakan aksi mogok kerja massal oleh karena nilai upah yang dinilai terlalu murah. Diikuti dengan kasus di Bogor dimana seorang kurir ditodong pistol oleh pelaku yang enggan membayar pesanannya. Lantas bagaimana nasib para kurir tersebut, apakah kasus-kasus di atas merupakan suatu bentuk pelanggaran atas hak kurir yang dilindungi oleh hukum?

Pesatnya perkembangan teknologi telah membawa kita pada era baru. Di era industri 4.0 kehadiran pelaku gig economy semakin berkembang. Apa yang dimaksud dengan gig economy?

Gig economy adalah sistem pasar tenaga kerja bebas dimana pihak perusahaan mengontrak pekerja independen untuk jangka waktu pendek. Lahirnya gig economy berkaitan dengan besarnya kebutuhan perusahaan akan on-demand worker alias buruh siap kerja. Para pelaku gig economy secara langsung membantu perusahaan dalam upaya efisiensi proses recruitment. Para pelakunya adalah mereka yang bekerja paruh waktu atau para pekerja berbasis proyek. Seperti misalnya penulis kreatif, pengemudi ojek daring dan termasuk di dalamnya adalah para kurir ekspedisi. Fenomena gig economy telah banyak melahirkan hubungan kemitraan di antara para pemberi kerja dan pekerja yang kemudian akan disebut dengan mitra.

Pada kebanyakan kasus para kurir ekspedisi bekerja dengan status sebagai mitra perusahaan. Status mitra kerja tidak sama dengan status pekerja. Hubungan yang terjadi di antara perusahaan dan kurir ialah sebatas hubungan kemitraan bukan hubungan kerja. Hubungan kerja terbentuk jika memenuhi tiga unsur yakni pekerjaan, upah, dan perintah. Ketiga unsur tersebut bersifat kumulatif, jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka hubungan kerja tidak terjadi. Hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja terjadi sesaat perjanjian kerja telah terbentuk. Dalam perjanjian kerja tersebutlah hal-hal penting seperti syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak akan tercantum. Semua hal yang bersangkutan dengan hubungan kerja telah dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan) yang kemudian mengalami beberapa perubahan dalam pasalnya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja).

Sementara itu, definisi kemitraan sendiri tidak ditemukan baik dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja. Namun pengertiannya disebutkan dalam Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dimana yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Sayangnya sistem kemitraan yang terjadi pada kurir tidak sama dengan pengertian kemitraan di atas. Hubungan kemitraan yang terjadi adalah semata hubungan kerja sama yang dapat lahir dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Setiap orang dapat melakukan perjanjian yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maka, baik kurir dan perusahaan berhak menentukan hak dan kewajiban masing-masing selama memenuhi syarat sah perjanjian.

Payung hukum berbeda yang mendasari kedua hubungan akan menimbulkan konsekuensi berbeda pula terhadap mitra dan pekerja. Hubungan kerja harus memenuhi ketentuan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan sementara hubungan kemitraan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Ketenagakerjaan melindungi pekerja untuk memperoleh haknya dalam memperoleh Upah Minimum Regional, hari libur, jam kerja delapan jam sehari, serta upah lembur. Tidak hanya itu, para pemberi kerja dalam Pasal 35 juga wajib memberikan perlindungan mencakup keselamatan dan kesehatan mental maupun fisik para pekerja. Hak dan kewajiban para kurir bergantung pada perjanjian kerjasama yang dibuat di antara keduanya. Itulah sebabnya kasus-kasus yang dihadapi para kurir kerap terjadi berulang kali oleh karena lemahnya hukum yang melindungi hak-haknya.

Hubungan kemitraan telah membuat perusahaan tidak terikat kewajiban untuk melindungi mitranya. Walaupun terlihat bahwa seorang kurir bekerja untuk perusahaan namun nyatanya tidak ada hubungan subordinasi di antara keduanya. Menurut salah satu dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, seorang mitra rentan akan kesewenang-wenangan untuk tidak diperlakukan layaknya pekerja/buruh. Sebab produk hukum yang mengatur tentang hubungan kemitraan masih sangat terbatas. Dalam menyambut era industri baru sudah saatnya pemerintah menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang ada terhadap fenomena-fenomena baru yang terjadi dalam masyarakat layaknya gig economy yang menciptakan hubungan kemitraan. Jika perlu produk hukum baru perlu dibentuk agar secara khusus dapat melindungi hak dan kewajiban baik bagi mitra dan juga pemberi kerja. Tentunya hal ini perlu diikuti dengan pengawasan oleh pemerintah agar tidak terjadi lagi baik pelanggaran maupun penyalahgunaan hubungan kemitraan. ()