BURUH DI MASA TRANSISI POLITIK: DIHEMPASKAN UNTUK DIPUNGUT, DIJANJIKAN UNTUK DILUPAKAN

Oleh: Rayhan Naufaldi Hidayat

“Mengapa aku begini? Selalu saja menjadi komoditas untuk ditindas, tanpa diberi sedikitpun oportunitas guna memperoleh upah yang pantas”, jeritnya dalam diam. Waktu demi waktu hari demi hari tiada henti, walaupun cucuran peluh tak pernah berarti. Terus saja bekerja dan bekerja hanya untuk sesuap nasi, meskipun harus mengorbankan hak asasi. Sukmaku berteriak, namun pada akhirnya inilah aku dan tutur kelam nasib malangku.

Suara hati kaum buruh menjadi refleksi dalam memperjuangkan hak-hak mereka di bawah cerobong industri. Posisi buruh memang semenjak zaman Siti Nurbaya selalu berada dalam kooptasi dan dominansi majikan. Pemberi upah sepakat dalam pemikiran bahwa keuntungan nomor satu, sementara upah dan hak-hak buruh menjadi formalitas keseribu. Ketimpangan yang terjadi sebenarnya merupakan ilham dalam menghadirkan negara sebagai kekuatan penyeimbang.

Kedudukan negara dalam rezim hukum perburuhan sejatinya menjadi pihak ketiga yang menyetarakan ketimpangan antar kepentingan majikan dan buruh. Filosofi demikian menjadi dasar dari politik hukum pengaturan perburuhan di Indonesia. Cita kolektif dari perumusan norma semata-mata untuk melindungi hak-hak buruh yang rentan akan eksploitasi dan penyimpangan. Intervensi negara melalui instrumen hukum difungsikan sebagai upaya pematuhan pemberi kerja agar senantiasa berorientasikan hak asasi dan kesejahteraan buruh.