Oleh : Hario Danang
Perkembangan corona virus disease (Covid-19) di Indonesia telah mengawali babak baru. Munculnya varian delta membuat kemungkinan terjadinya krisis multidimensional semakin besar. Hal ini ditenggarai oleh tidak mampunya sistem kesehatan Indonesia untuk mengakomodir perkembangan kasus Covid-19, sehingga membuat track record penanganan Covid-19 di Indonesia semakin memburuk. Hingga tulisan ini dibuat, setidaknya Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) mencatat Covid-19 telah menjangkit 2.780.803 orang dengan pertambahan kasus harian telah mencapai angka lebih dari 50.000 orang dalam dua hari terakhir.
Melihat hal tersebut, apabila mengingat salah satu aspek penting dalam persebaran Covid-19 yang kian masif adalah faktor mobilitas manusia yang tinggi. Hal ini didapat dari kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Bergman dkk di Australia, Jerman, dan Korea Selatan dimana penelitian tersebut menyimpulkan tingkat mobilitas dan perilaku manusia memiliki pengaruh terhadap transmisi Covid-19.
Dengan adanya hal tersebut, salah satu aspek yang dikejar pemerintah untuk menekan laju penyebaran Covid-19 adalah membatasi aspek mobilitas. Hal ini dapat terlihat sejak diberlakukannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui PP Nomor 21 Tahun 2020 yang menghendaki pembatasan kegiatan tertentu di suatu wilayah yang terindikasi memiliki jumlah infeksi dan persebaran virus corona yang cukup tinggi dengan kriteria a) jumlah kasus dan angka kematian meningkat dan menyebar secara signifikan, dan b) terdapat kaitan epidemiologis kejadian serupa di wilayah ataupun negara lain.
Desain pengaturan dalam PSBB dilakukan dengan cara persetujuan Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan dari gubernur/bupati/walikota dan ketua pelaksana gugus tugas Covid-19 yang disertai data-data seperti berikut ;
a. Peningkatan kasus menurut waktu (disertai kurva epidemiologi)
b. penyebaran kasus menurut waktu (disertai peta penyebaran menurut waktu)
c. kejadian transmisi lokal (disertai hasil lidik terjadinya penularan generasi ke-2 dan ke-3) d. data kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.
Nyatanya pun sejak dilakukan PSBB sejak pertengahan 2020, kasus Covid-19 di Indonesia malah justru tidak berangsur-angsur menurun. Saking lamanya, Pemerintah Daerah sendiri malah justru membuat kebijakan pembatasan dengan branding baru yang malah membingungkan masyarakat mengenai kebijakan pembatasan, seperti adanya istilah PSBB Proporsional, PSBB Transisi, PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), PPKM Mikro, Penebalan PPKM Mikro hingga PPKM Darurat
Kendati terdapat dalih bahwa ada strategi baru yang diusung dari masing-masing kebijakan. Namun, kita tidak dapat memungkiri hal tersebut berpengaruh pada terbatasnya kegiatan masyarakat yang secara langsung berimplikasi pada pendapatan masyarakat. Hal ini sangat berkaitan dengan adanya kesejahteraan masyarakat yang terhantam pandemi Covid-19. Apalagi dengan pengalaman buruk korupsi bansos yang justru diselewengkan oleh Juliari Batubara selaku Menteri Sosial Republik Indonesia.
Hal ini menyebabkan tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan kesejahteraannya semakin tinggi kepada Pemerintah. Hal ini dapat dibenarkan mengingat jati diri negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan yang dituntut untuk dapat memenuhi segala macam kebutuhan rakyat dalam segala bidang kehidupan. Adanya tuntutan ini jelas harus diejawantahkan secara murni dan konsekuen lewat pemberlakuan desain kebijakan yang berpihak pada rakyat. Namun dalam kegiatan pembatasan masyarakat yang telah disebutkan, ketidakpuasan terhadap upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh Pemerintah sangat dikritisi.
Padahal, Pemerintah memiliki satu skema yang belum pernah dicoba untuk menangani Covid-19 lewat skema karantina wilayah sebagaimana diatur UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Karantina Kesehatan). Karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan.atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Apabila merujuk pada Pasal 55 UU Karantina Kesehatan, selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tanggung jawab tersebut dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan Pihak terkait. Hal ini jelas membuka fakta keengganan dalam mengambil skema karantina wilaya didasarkan pada adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Padahal, adanya penjaminan sangat berkaitan dengan pemenuhan kesejahteraan rakyat yang terganggu selama masa pandemi. Sehingga, Pemerintah harusnya mengambil opsi ini ketika kedaruratan Covid-19 semakin tak terkendali. Hal ini agar Pemerintah tidak seakan cuci tangan dan mempersilahkan rakyat untuk saling menyalahkan satu sama lain. ()