HAK MATERNITAS: HAK KONSTITUSIONAL BURUH PEREMPUAN YANG ANTARA ADA DAN TIADA

Oleh: Anggarrdha

(Content Creator Advokat Konstitusi)

Hak maternitas, menurut Konvensi ILO (International Labour Organization) 183 tentang Perlindungan Maternitas, adalah hak seluruh pekerja perempuan – baik dengan status kerja tetap atau tidak; dan menikah ataupun tidak menikah – terkait perlindungan kesehatan perempuan hamil dan menyusui, seperti: cuti melahirkan; cuti sakit atau komplikasi risiko dari kehamilan dan kelahiran; hak istirahat untuk menyusui; tidak mendapatkan pemutusan hubungan kerja saat cuti.

Di Indonesia hak-hak maternitas pekerja perempuan ini juga telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kesemuanya diatur di dalam pasal-pasal sebagai berikut:

  1. Pasal 81 (ayat 1)

Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

  1. Pasal 82

(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

  1. Pasal 83

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

  1. Pasal 84

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana di maksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

  1. Pasal 93 (ayat 1 dan 2)

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:

  1. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
  2. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
  3. Pasal 153 (1) huruf e
  4. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

Namun pada kenyataannya meski sudah ada aturan yang begitu rigid mengenai hak-hak perempuan secara umum maupun hak maternitas secara khususnya, di dalam praktek masih sering terjadi pelanggaran dimana pihak pengusaha menyulitkan pekerja perempuan untuk memeroleh hak-hak maternitas tersebut, malah-malah ada yang tidak memberikannya sama sekali. Cuti haid, pun, dianggap bukan hal penting dan urgen sehingga membutuhkan cuti, padahal ada perempuan yang ketika haid tidak bisa bergerak sepanjang hari karena kesakitan.

Beberapa kasus pelanggaran hak maternitas ini seperti halnya kasus yang pernah menggemparkan masyarakat yaitu meninggalnya buruh perempuan di Cikupa Tangerang karena melahirkan di Pabrik dan tidak memeroleh fasilitas bersalin. Atau di tahun 2012, terjadi kasus kematian bayi dari buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan di daerah Serang, Banten.

Buruh perempuan tersebut diduga kelelahan bekerja karena harus berdiri secara terus menerus sepanjang jam kerja. Penelitian Perempuan Mahardhika tentang Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas Buruh Garmen di KBN Cakung pada tahun 2017 menemukan fakta sebanyak 50% buruh garmen perempuan merasa takut saat hamil, sehingga banyak yang menyembunyikan kehamilannya, karena kemungkinan kehilangan perpanjangan kontrak, tidak mendapatkan upah cuti, kehilangan hak atas upah haid setiap bulannya, atau justru ketakutan akan mendapat pemutusan hubungan kerja.

Padahal sebagaimana pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 juga telah menjamin pemenuhan hak-hak setiap warganegara termasuk perempuan dan hak maternitasnya dalam pasal 27 (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”., dan pasal 28D (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Sehingga hak-hak maternitas juga merupakan hak konstitusional warganegara perempuan.

Kemudian menyoroti pemberlakuan UU Cipta Kerja sebagai UU No. 11 Tahun 2020, yang menjadi Undang-undang terbaru dalam lingkungan hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Sejak pembahasannya diketahui publik dengan begitu banyak poin poin RUUnya yang bermasalah UU Cipta Kerja memang memicu perdebatan yang begitu sengit di dalam masyarakat, termasuk dalam hal pemenuhan hak-hak maternitas perempuan.

Dapat dilihat dari kesemua draft RUU yang sering berubah-ubah, tidak ada satupun draft RUU Cipta Kerja yang memasukkan hak-hak Maternitas Perempuan, ketentuan ketentuan mengenai hak cuti haid dan hamil, melahirkan maupun menyusui sama sekali tidak disinggung dalam UU Cipta Kerja yang sempat mendapatkan protes besar-besaran dari berbagai berbagai serikat buruh perempuan maupun aktivis pemerhati perempuan. Akan tetapi sebagaimana disampaikan oleh KETUA Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas bahwa tidak diaturnya hak-hak cuti bagi perempuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak kemudian menghapus hak-hak tersebut, sebab ketentuan yang ada dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur hak perempuan buruh masih berlaku.

Meski sudah mendapat penjelasan seperti itu, UU Cipta Kerja tetap menimbulkan protes berat masyarakat, karena dalam pasal 93 draf RUU Cipta Kerja yang berjumlah 1028 halaman dan telah dipublikasikan melalui laman resmi DPR RI telah menghapuskan kewajiban perusahaan untuk membayarkan upah pekerja perempuan yang sedang mengambil cuti haid.

Untungnya dalam draf selanjutnya yang berjumlah 905 halaman, 1035 halaman, 812, sampai draf terbaru yang disahkan menjadi Undang-undang No. 11 Tahun 2020, berjumlah 1187 halaman dan telah dipublikasikan secara resmi melalui website Sekretariat Negara, ketentuan pasal 93 tersebut telah di hapus dan artinya ketentuan pasal 93 UU Ketenagakerjaan masih berlaku.

Lalu apakah hal itu mengartikan kesejahteraan buruh perempuan akan terjamin? Belum tentu.

Karena seperti apa yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya bahkan ketika UU Cipta Kerja belum dibahas sama sekali dan perkara buruh diatur oleh UU ketenagakerjaan, hak-hak maternitas buruh perempuan juga sudah sering dilanggar. tinggal sebenerapa besar perhatian masyarakat untuk lebih memahami dan menyadari bahwa hal-hal yang berkaitan dengan maternitas merupakan hal yang penting, yang harus dihormati, dipenuhi, dan tidak boleh diabaikan.

Jika pemahaman dan kesadaran itu muncul, maka kita bisa berharap di suatu masa nanti perempuan buruh di Indonesia tidak akan lagi mendapatkan diskriminasi, maupun dilanggar atau dikesampingkan hak-haknya. ()