Oleh : Rania Fitri
Wacana akan diadakannya kembali Tax Amnesty kembali menguat. Sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, rencana Tax Amnesty ini dimasukan dalam revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Terakhir pemerintah mengadakan Tax Amnesty pada tahun 2016 dengan penerimaan dari uang tebusan sebesar 114 triliun. Peserta Tax Amnesty tersebut terdiri dari wajib pajak dalam dan luar negeri yang merupakan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perorangan dan badan, dan non-UMKM. Pelaksanaan Tax Amnesty tersebut dinilai masih belum memenuhi target oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Tax Amnesty dinilai dapat jadi jalan meningkatkan penerimaan pajak, karena dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam membayar pajak.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kebijakan ini, kita dapat melihatnya dalam ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Bentuk pengaturan kebijakan dengan undang-undang ini sesuai dengan pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dijelaskan dalam undang-undang ini, latar belakang adanya kebijakan ini adalah banyaknya harta warga negara yang ditempatkan di luar wilayah NKRI dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak. Seharusnya harta tersebut dapat dimanfaatkan untuk menambah likuiditas dalam negeri yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bagi mereka yang melaporkan hartanya melalui Surat Pernyataan Harta, pajak yang dibebankan atas harta tersebut diberikan pengampunan. Karena pengampunan tersebut, wajib pajak tersebut harus membayar uang tebusan sebesar kurang dari 10% yang diatur undang-undang. Uang tebusan karena pengampunan pajak ini diperlakukan sebagai penerimaan pajak penghasilan dalam APBN. Sehingga walaupun seakan-akan menghapus penerimaan pajak, kebijakan ini tetap menghasilkan penerimaan berupa uang tebusan tersebut. Dari sini kemungkinan akan meningkatnya kepatuhan akan pajak memang dapat tergambarkan. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kebijakan ini menciptakan keadilan bagi para wajib pajak lainya? Bagaimana kebijakan ini tidak hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat saja terlebih akan dilaksanakan untuk kedua kalinya?
Subjek pengampunan pajak ini adalah setiap wajib pajak yang mengungkapkan harta yang dimiliki melalui surat pernyataan. Undang-undang mengecualikan ketentuan ini bagi wajib pajak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam tindak pidana bidang perpajakan, yang dalam hal ini berkasnya sudah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. Lantas bagaimana dengan tersangka yang berkasnya belum lengkap? Apakah masyarakat dapat memandangnya adil ketika pengampunan pajak dapat diterapkan bagi tersangka tersebut? Dan bagaimana kebijakan ini menjawab persoalan penimbunan harta di luar negeri yang diampuni, yang justru merupakan hasil perbuatan melawan hukum?
Adanya kebijakan Tax Amnesty ini seperti memberikan kita dua gambaran tipe wajib pajak khususnya pajak penghasilan. Pertama, adalah mereka yang menghimpun harta di luar negeri dengan nilai pajak yang besar yang dapat lari dari kewajiban bayar pajak dan kedua, wajib pajak di dalam negeri yang dibebankan pajak dengan cara yang ketat seperti pemotongan pajak secara otomatis sehingga selalu menunaikan kewajibanya. Setidaknya kebijakan Tax Amnesty ini harus dapat menjawab pula persamaan kewajiban di antara dua tipe wajib pajak tersebut.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dinyatakan bahwa tujuan negara dalam ekonomi adalah memajukan kesejahteraan umum. Pajak menjadi salah satu sumber dalam penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang digunakan sebagai “biaya operasional” negara dalam menjalankan tugasnya, yang salah satunya membangun kesejahteraan masyarakat. Atas dasar itu negara memungut pajak kepada warga negara yang menjadi wajib pajak secara teratur. Karena sifatnya memaksa, maka pemungutan pajak tersebut harus dilakukan dengan adil. Kebijakan mengenai perpajakan tidak bisa menguntungkan segelintir warga negara saja.
Kebijakan mengenai perpajakan juga harus berdasar pada pengaturan ekonomi di Indonesia yang berdasarkan pada asas kekeluargaan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Dalam pasal 33 ayat (4) UUD 1945, disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian. Dalam menentukan sasaran kebijakan perpajakan , perlu dipertimbangkan pelaksanaan asas demokrasi ekonomi yang juga mengarah pada adanya prinsip kesamaan kedudukan. Kesamaan kedudukan juga dijamin dalam pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kebijakan untuk mengadakan kembali Tax Amnesty sekiranya perlu dipertimbangkan kembali baik dari aspek ekonomi maupun pemenuhan hak dasar warga negara. ()