Oleh: Fayasy Failaq
(Content Creator Advokat Konstitusi)
Kelahiran tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara pada hari kedua bulan Mei selalu dijadikan parade memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) oleh seluruh kalangan di Indonesia. Momentum parade itu setidaknya dirayakan paling minimal dengan kegiatan pada lingkup sarana pendidikan, atau setidaknya dengan upacara tahunan. Termasuk oleh mahasiswa dan kaum intelek, parade ini bahkan diwarnai dengan momentum kritik serta gagasan untuk membangun kualitas pendidikan nasional.
Secara struktural kritik untuk membangun Pendidikan tersebut dapat dilontarkan kepada Mendikbud sebagai wilayah eksekutif yang menaunginya. Kritik terhadap Mendikbud secara khusus pada Kabinet Indonesia Maju menjadi rasional ketika memperhatikan pola pendidikan yang tergambarkan melalui beberapa kebijakan problematik yang telah dikeluarkan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem sebelumnya memang melakukan beberapa langkah berani sebagai gerakan reformasi pendidikan nasional, namun hal itu tidak terlepas dari problematika kebijakannya. Setidaknya berdasarkan catatan penulis, persoalan kebijakan tersebut berupa kecerobohan yakni: Hilangnya Hasyim Asy’ari dalam Kamus Pendidikan Indonesia, hilangnya ‘frasa Agama’ dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, dan Hilangnya Bahasa Indonesia dan Pancasila dalam Standar Nasional Pendidikan.
Dalam soal ketiga, hilangnya pelajaran Bahasa Indonesia dan Pancasila itu tertera melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang tidak mencantumkan kewajiban kurikulum Pancasila dan Bahasa Indonesia di dalamnya. Sebagai produk peraturan perundang-undangan turunan, PP a quo sekilas tidak mengakomodir kewajiban adanya pengajaran Bahasa Indonesia dan Pancasila pada wilayah Perguruan Tinggi khususnya sebagaimana amanat UU No 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Tanpa mengabaikan persoalan pendidikan lainnya yang juga “layak” untuk dikritik. Tulisan ini akan melimitasi pembahasan untuk menyorot secara khusus pada persoalan ketiga. Hal ini tentu berkaitan dengan posisi Pancasila sebagai filosofische grondslag, serta Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara yang tertera secara eksplisit dalam norma konstitusi sehingga kehilangan letaknya dalam SNP menjadi hal yang paling penting untuk dipertanyakan.
Menyorot Maksud Kehilangan
Ungkapan ”hilang” tentu mengarahkan kepada sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tiada. Sehingga, pemaknaan hilangnya Bahasa Indonesia dan Pancasila ini bisa dimaknai pada dua model. Pertama, kedua mata pelajaran tersebut sebelumnya memang terdapat secara ekspresif verbis dalam PP terkait Standar Nasional Pendidikan dan kemudian hilang. Kedua, kedua mata pelajaran tersebut hilang sama sekali dalam segenap peraturan perundang-undangan terkait pendidikan.
Terkait dengan ini, setelah menelusuri peraturan terkait yakni PP No. 19 tahun 2005 jo PP No. 32 tahun 2013 jo PP No. 13 tahun 2015 terkait Standar Nasional Pendidikan beserta perubahan, UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Penulis menemukan bahwasanya penyebutan terkait kewajiban Bahasa Indonesia dalam kurikulum berada dalam UU Pendidikan Tinggi serta PP No. 19 tahun 2005, sementara Pancasila hanya dalam UU Pendidikan Tinggi saja.
Dengan demikian kehadiran PP No. 57 tahun 2021 yang menggantikan PP No. 19 tahun 2005 beserta perubahannya memang benar-benar menghilangkan penyebutan Bahasa Indonesia serta Pancasila dalam kurikulum wajib khususnya bagi Pendidikan Tinggi. Memang dengan tidak disebutkannya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam SNP tidak lantas menghilangkan sama sekali pengajaran Pancasila serta Bahasa Indonesia, namun tetaplah hal ini merupakan sebuah kekeliruan.
Kekeliruan tersebut berupa, Pertama Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 sebagai aturan turunan dari UU Sisidiknas dan UU Pendidikan Tinggi memberikan kewajiban kurikulum yang berbeda serta tidak mengakomodir kewajiban pembelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagaimana perundang-undangan diatasnya. Dalam hal ini PP a quo bertentangan dengan asas perundang-undangan umum lex superior deragate legi inferior.
Kedua, Bahasa Indonesia adalah Bahasa Negara sebagaimana tertera dalam Pasal 36 UUD 1945. Apabila memahaminya secara sistematis dan hirarkis maka penyebutan tersebut menggambarkan letak (bisa dimaknai dalam hal pembelajaran) Bahasa Indonesia harus lebih diutamakan serta lebih tinggi dari bahasa lainnya, kecuali Bahasa daerah dalam pasal 32 ayat (2) yang wajib dipelihara sebagai kebudayaan. Penyebutan kewajiban Pendidikan Bahasa secara umum dalam PP No 57 tahun 2021 telah menyamakan kedudukan pembelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa lainnya yang sebenarnya memiliki kedudukan yang berbeda.
Ketiga, Pancasila sebagai way of life dan dasar filosofis negara sudah seharusnya menjelma ke dalam seluruh aspek berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam kewajiban kurikulum dalam Standar Pendidikan Nasional Indonesia. Sebagaimana konsep Standar Nasional Indonesia dalam Pasal 1 ayat (2) PP 57 tahun 2021 dimaknai sebagai kriteria minimal tentang sistem Pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka merupakan kekeliruan jika Pancasila tidak masuk dalam wilayah kurikulum yang paling minimal (menurut penulis dapat dimaknai paling pokok).
Jalan Keluar
Peraturan Pemerintah memang secara konseptual dikeluarkan oleh Presiden selaku pemimpin eksekutif dalam hal menjalankan UU. Kritik terhadap peraturan yang problematik ini juga seharusnya dilontarkan tidak hanya kepada Mendikbud saja, tetapi kepada seluruh unsur pemerintahan dalam kabinet yang dikepalai Presiden.
Saat ini sudah dilakukan langkah lanjutan atas kekeliruan ini oleh Mendikbud melalui surat permohonan revisi PP yang diajukan kepada Presiden. Langkah ini sudah tepat mengingat urgensi wajib hadirnya pembelajaran Bahasa Indonesia dan Pancasila dalam SNP serta kritik yang sudah dilontarkan oleh para pihak. Pada sisi lain ada wacana reshuffle kabinet yang sempat mengancam Menteri Nadiem dikarenakan beberapa kinerjanya yang kontroversial.
Reshuffle tersebut tentu merupakan prerogatif dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, namun mengingat kepada perlunya desain Pendidikan yang berkelanjutan dan rancangan kerja lima tahunan dalam kementrian, menurut penulis reshuffle tidak dibutuhkan untuk saat ini. Tentu hal ini bersyarat dengan kritik dan gagasan membangun yang harus tetap disuarakan kepada menteri terkait.
Selamat Hari Pendidikan Nasional. ()