Oleh: Egi Purnomo Aji
(Internship Advokat Konstitusi)
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ”demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan”, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mengapa harus demokrasi? Karena demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh negara. Selain itu, juga sistem pemerintahan yang mengizinkan warga negaranya turut serta berpartisipasi, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan/pembentukan hukum.
Hal di atas semakin dipertegas oleh Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Oleh karena itu secara hierarki (kedudukan), rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi melalui sistem perwakilan yakni melalui pemilihan umum (Pemilu), hal ini dimaksudkan bahwa Pemilu adalah pengejawantahan pasal tersebut serta wujud nyata partisipasi rakyat dalam proses demokrasi, meskipun demokrasi tidak sama dengan Pemilu, namun Pemilu merupakan salah satu objek demokrasi yang sangat vital dan juga harus diselenggarakan langsung, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilu di Indonesia dilakukan untuk memilih anggota legislatif, kepala daerah, walikota, bupati, presiden, dan wakil presiden. Kegiatan pemilu tidak lepas dari unsur kampanye. Pasal 1 angka 35 UU No. 7/2017 tentang Pemilu menyatakan: Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu. Kampanye yang positif tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras, suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu serta menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Kendati demikian, dengan perkembangan zaman objek demokrasi dewasa ini, mengalami dilema sehingga bergeser kearah yang tidak sehat. Hal ini melahirkan dua metode kampanye “Attacking campaign” yakni kampanye negative (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign).
Negative Campaign
Negative campaign adalah kampanye yang berisikan pesan-pesan negatif terhadap lawan (kompetitor). Isi dari kampanye negatif berdasarkan fakta yang jujur dan relevan. Kampanye negatif biasanya terkait dengan kemampuan dan ketidakmampuan, pengalaman dan kurang pengalaman para kandidat di dalam pemerintahan, penanganan masalah ekonomi, track record, pengalaman memimpin, masalah pribadi kandidat, skandal masa lalu yang memang terjadi dan lainnya.
Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer sekaligus pakar politik Muhammad Qodari, negative campaign merupakan suatu keniscayaan dalam berpolitik. Pada dasarnya dalam kampanye setiap kandidat berusaha melakukan hal-hal yang baik terkait dirinya dan melakukan hal-hal lain yang terkait dengan saingan atau lawan politiknya. Sedangkan menurut Mahfud MD pakar Hukum Tata Negara dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menegaskan bahwa negative campaign adalah kampanye yang mengemukakan sisi negatif atau sisi kelemahan faktual tentang lawan politik. Berdasarkan hal itu, negative campaign tidak dilarang dan tidak dihukum karena memang berdasar fakta. Senada dengan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso yang menegaskan bahwa dalam hukum pemilu, negative campaign diizinkan.
Black Campaign
Selanjutnya adalah kampanye hitam, istilah ini sudah familiar didengar dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Namun, sebenarnya tidak ada satupun definisi baku yang menjelaskan terkait hal ini. Istilah kampanye hitam berasal dari terjemahan bahasa Inggris black campaign yang berarti kampanye dengan menggunakan cara kotor dan licik. Istilah kampanye hitam sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai model kampanye dengan menjelek-jelekan lawan politik. Secara umum kampanye hitam atau yang biasa disebut dengan black campaign adalah perbuatan kampanye dengan cara menghina, memfitnah, mengadu domba, dan menyebarkan berita hoax yang dilakukan oleh seorang/ sekelompok orang/ partai politik/ pendukung terhadap lawan politik mereka.
Menurut Hafied Cagraha pakar Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin, dalam bukunya Komunikasi Politik mendefinisikan black campaign sebagai usaha untuk mengisi jabatan tertentu, terutama untuk jabatan publik dengan cara-cara yang tidak sehat serta cenderung menyudutkan para calon yang diusung untuk menduduki suatu jabatan. Sedangkan menurut Firmanzah Guru Besar Universitas Indonesia menjelaskan bahwa, hakikatnya black campaign dilakukan oleh kandidat atau calon bahkan pihak lain secara efisien karena kekurangan sumber daya yang kuat untuk menyerang salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada permainan emosi para pemilih agar pada akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya.
Sehingga, berdasarkan uraian di atas, negative campaign dan black campaign merupakan dua metode kampanye yang berbeda. Hal ini semakin ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center Zaenal A Budiyono, yang mengatakan bahwa negative campaign dan black campaign memang memiliki perbedaan. Negative campaign diperbolehkan di dalam demokrasi, sementara black campaign dilarang. “Kedua istilah tersebut sangat berbeda, negative campaign merupakan sesuatu yang sah dalam demokrasi sebab mengungkap kekurangan calon, hal ini dimaksudkan agar narasi di publik tidak hanya dijejali (diisi) oleh pujian berlebihan, yang berpotensi menghilangkan daya kritis masyarakat”.
Dengan demikian, negative campaign dan black campaign merupakan dua metode kampanye yang berbeda. Di samping itu, negative campaign selaras dengan pendidikan politik, untuk memilih pemimpin yang track record-nya paling baik dari yang baik. Untuk itu, negative campaign sejatinya tetap diimplementasikan dalam sistem demokrasi, di mana sebagai wujud manifestasi pendidikan politik di kalangan masyarakat dengan dilancarkan berdasarkan fakta dan data yang valid/ benar-benar ada dan dapat dipertanggungjawabkan. ()