Maharani Prima
(Internship Advokat Konstitusi)
Berbicara mengenai investasi, khususnya di Indonesia, sebuah regulasi berupa peraturan perundang–undangan merupakan sebuah unsur yang krusial dari segi perlindungan secara hukum baik untuk pihak pemodal atau investor, maupun untuk pihak emiten. Disamping itu implikasi dari sebuah regulasi yang tepat dapat dikonstruksikan sebagai bentuk pelayanan yang baik oleh aparat yang terkait, dan diharapkan mampu membenahi penegakan hukum yang kurang baik dalam suatu negara. Di Indonesia sendiri, terkait dengan pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi investor dan emiten telah diatur didalam Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pasar Modal (UUPM).
Mengenai bentuk usahanya telah diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UUPM, yang disebutkan bahwa Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum, atau usaha perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan, berkenaan dengan perizinan usahanya, telah diatur dalam Pasal 25 UUPM dan dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 26 ayat 1, 2, dan 3 UUPM, yang mengatakan dengan tegas bahwa sistem perizinan usaha yang berlaku adalah sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Bahkan dalam Pasal 21 UUPM dijelaskan bahwa pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, fasilitas pelayanan keimigrasian, dan fasilitas perizinan impor.
Mengenai badan usaha, kegiatan penanaman modal juga turut diatur dalam UUPM. Dikatakan dalam Pasal 12 UUPM bahwa semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. Dikarenakan perkembangan berbagai jenis usaha dan keberagaman kebutuhan masyarakat dalam berinvestasi, maka diperlukan adanya suatu produk hukum baru untuk membantu regulasi dalam bidang investasi di Indonesia.
Pada tanggal 2 November 2020, Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan Undang – Undang Ciptaker resmi disahkan dan diundangkan di Paripurna DPR. Jika kita menelaah kepada tujuan dan fungsi utama yang ingin dicapai oleh UU CK, maka tujuannya adalah peningkatan ekosistem investasi, percepatan proyek strategis nasional, dan memaksimalkan kegiatan di segala sektor usaha. Hal tersebut diaplikasikan melalui beberapa langkah, seperti penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha, pengadaan tanah dan pemanfaatan lahan, penerapan perizinan usaha berbasis risiko, dan penyederhanaan persyaratan investasi.
Berbagai ketentuan dari regulasi yang lama pun disesuaikan dengan beberapa kebijakan yang baru, dengan salah satu harapannya agar dapat mewujudkan peningkatan ekosistem dalam segi investasi, yaitu kebijakan mengenai perizinan usaha yang menggunakan sistem Risk Based Approach (RBA). Penerapan perizinan usahanya berbasis risiko, yaitu perizinan mengenai penyederhanaan atau simplifikasi persyaratan dasar perizinan berusaha, pengadaan tanah, dan pemanfaatan lahan yang meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, dan persetujuan bangunan gedung serta sertifikat laik fungsi. Pelaku usaha perlu melaporkan rencana lokasi menggunakan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) berbentuk digital dan kemudian diolah oleh pemerintah dan wajib mengintegrasikan RDTR ke dalam sistem perizinan berusaha secara elektronik, hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat 6 UU CK.
Selanjutnya, pengaturan mengenai pengadaan tanah, untuk kepentingan umum dan prioritas pemerintah akan dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk instansi pemerintah dan pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan untuk swasta. Dalam Pasal 36 ayat (1) UU CK bahkan dijelaskan bahwa, “Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak”. Kemudian, pemerintah akan membentuk bank tanah untuk memenuhi kebutuhan dan mengelola tanah yang ada di dalam negeri. Bank tanah nantinya boleh digunakan untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, hingga reforma agraria. Selain hal tersebut, pemerintah juga mengatur soal ketentuan investasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, Proyek Strategi Nasional (PSN), hingga lembaga pengelola investasi juga diatur didalam UU CK.
Pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah apakah sistem perhitungan risiko dalam UU CK jika diterapkan di Indonesia akan membantu dalam percepatan perizinan investasi, atau justru akan membuat rumit dalam pelaksanaan Online Single Submission (OSS)-nya kelak? Menurut saya, database di Indonesia dinilai lemah, mengapa? Karena perizinan ini juga perlu didukung oleh Keterangan Rencana Peruntukan (KRP), dan dalam mengaplikasikan perizinannya diperlukan KRP yang memiliki proyeksi atas segala kemungkinan di masa mendatang.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development, yang selanjutnya disebut “OECD” seperti Australia, Belgia, dan Kanada yang telah menerapkan sistem perhitungan risiko, dapat dilihat dari segi sudut pandang atau perspektif yang jelas sangat berbeda. Di negara OECD, tidak ada sektor informal, UMKM di negara OECD adalah sektor formal di negara OECD usaha yang berkaitan langsung dengan masyarakat diatur dengan ketat, seperti sektor usaha mandiri kafe, restoran, dan sebagainya. Sedangkan di Indonesia keberadaan sektor informal sangat besar dalam faktor perekonomian, dan juga belum adanya pengaturan perizinan yang terperinci terkait dengan sektor informalnya.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari seluruh penjelasan yang telah saya jabarkan sebelumnya adalah simplifikasi dalam perizinan berusaha dan penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha dan kebijakan baru lainnya dinilai tidak cocok diterapkan di Indonesia karena RBA juga perlu didukung oleh Keterangan Rencana Peruntukan (KRP). Di dalam mengaplikasikan RBA, membutuhkan KRP yang memiliki proyeksi atas risiko di masa mendatang. Kedua risiko volatilitas akan menjadi sangat besar ketika tidak memiliki data yang memadai dan tidak mengadakan analisis statistika secara tepat dan akurat sebelumnya, seperti prakiraan cuaca, potensi badai, potensi krisis ekonomi, kecepatan angin, dan sebagainya. Ketiga, dengan memperhatikan ekoregion dari Indonesia, dimungkinkan dapat terjadinya bencana alam sewaktu – waktu, seperti tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, dan sebagainya. Dikhawatirkan tidak akan berjalan efektif apabila dipaksakan, karena kondisi ketersediaan data yang terbatas di Indonesia akan berpengaruh dan membantu dalam percepatan perizinan investasi. Perlu diingat juga, bahwa belum pernah ada lembaga yang berkewenangan secara jelas mengatur mengenai perizinan yang disimplikasi dengan basis risiko secara menyeluruh di Indonesia. Saya juga berharap kedepannya, Indonesia dapat menerapkan sebuah regulasi yang memang sesuai dengan sektor formal dan informal terkait dengan lajur kondisi investasi di Indonesia. ()