Oleh : Joshua
Setiap manusia diciptakan berbeda dengan keunikan yang dimiliki masing-masing. Faktor-faktor perbedaan tersebutlah yang membuat manusia satu dengan yang lainnya menjadi memiliki ciri khas dengan keanekaragaman sifat, tingkah laku, dan termasuk juga bentuk fisik. Namun dibalik sejumlah perbedaan-perbedaan itu, manusia tetap harus mendapatkan jaminan kesejahteraan dan kehidupan yang layak, termasuk kaum difabel.
Kaum difabel merupakan kelompok masyarakat yang diasumsikan memiliki kesamaan dengan anggota masyarakat lainnya, hanya saja mereka memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan sesuatu. Sebagai contoh, semua orang pada umumnya memiliki kemampuan untuk berjalan, namun kaum difabel dengan disfungsi pada alat geraknya memiliki cara lain untuk melakukan mobilitasnya sehari-hari. Hal ini mengindikasikan adanya suatu kesamaan tujuan, namun memiliki perbedaan dalam hal cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Indonesia sebagai suatu entitas yang mengusung slogan sebagai welfare state atau negara kesejahteraan yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan segenap masyarakatnya, memiliki sejarah yang cukup panjang dalam hal upaya pemenuhan hak-hak masyarakat penyandang disabilitas. Namun dalam tulisan ini, titik awalnya akan dimulai sejak adanya ratifikasi terhadap Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas) yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
Hal ini dilakukan mengingat penggunaan istilah disabilitas di Indonesia, baru dimuat dalam hukum nasional melalui ratifikasi undang-undang tersebut setelah sebelumnya selalu menggunakan istilah “Tuna”, “Penderita Cacat”, dan “Penyandang Cacat” yang berimplikasi adanya anggapan bahwa kaum disabilitas tidak memiliki suatu kemampuan tertentu, terlahir dengan ketidaksempurnaan, ataupun orang yang menderita.
Menurut rilis dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2018, terdapat 8.5% penduduk Indonesia di atas 10 tahun yang digolongkan sebagai disabilitas. Jika kita komparasikan dengan data yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2018 yang menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan penduduk Indonesia berada di angka 265 juta jiwa, artinya terdapat 22.525.000 jiwa penduduk difabel. Angka ini merupakan angka yang cukup besar dan tetap menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraannya.
Pasal 28C, 28E, serta Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan suatu jaminan hak kepada setiap warga negara untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan, tentunya hal itu juga dimiliki oleh penyandang disabilitas. Jika kita melihat data yang juga dirilis oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, maka akan didapatkan angka 3.33% jumlah penyandang disabilitas yang berada di usia sekolah, 5-17 tahun.
Namun dengan bersumber dari sebuah skripsi karya Ariyanti Latifah dengan judul “Analisis Tenaga Pendidik di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Bantul”, bahwa terdapat beberapa masalah dalam penyelenggaraan SLB, seperti jam mengajar guru melebihi batas yang telah ditentukan, jumlah murid dalam satu kelas yang melebihi batas maksimal (pengaturannya ada dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 051/U/2002 Tentang Penerimaan Siswa Pada Taman Kanak-Kanak dan Sekolah), hingga terdapat penyatuan dua jenjang pendidikan dalam satu kelas yang sama.Tidak hanya pendidikan dasar, kekurangan ini juga terjadi di perguruan tinggi sehingga mengakibatkan hanya sekitar 5% dari jumlah penyandang disabilitas Indonesia yang lulus dari bangku perguruan tinggi. Indikator-indikator tersebut menandakan adanya kelalaian dari negara dan satuan penyelenggara pendidikan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada seluruh warga negara.
Lalu dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik yang menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Penyelenggaraan Pelayanan Publik telah mengamanatkan adanya persamaan hak dan perlakuan, serta adanya fasilitas dan pelayanan khusus bagi kelompok rentan. Selain itu Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 juga menyebutkan bahwa penyelenggara berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tentunya kelompok masyarakat disabilitas sudah termasuk di dalamnya.
“Das sollen, das sein” seolah telah menjadi ungkapan standar bagi pelaksanaan amanat undang-undang yang seolah menjadi pembenar dalam hal terjadi perbedaan antara norma dan fakta empiris, termasuk dalam hal pemenuhan hak kaum disabilitas. Dalam ranah pelayanan publik, hasil survei Ombudsman Republik Indonesia 2019 mengungkapkan bahwa salah satu indikator yang paling banyak belum dipenuhi dalam pelayanan publik yaitu ketersediaan layanan khusus bagi pengguna berkebutuhan khusus.
Indikator pendidikan dan pelayanan publik hanya menjadi sedikit indikasi kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak kaum disabilitas. Jika kita pikirkan secara abstrak, kedua tujuan itu tak lepas dari tujuan negara memajukan kesejahteraan umum. Pertanyaan sesungguhnya ialah seberapa mampu negara ini untuk memajukan (atau setidaknya sekedar memenuhi) kesejahteraan umum tersebut?
Tentu harapannya, negara mampu untuk mengakomodasi segala ketertinggalan dalam sektor pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas. Dimulai dari menyediakan kuota khusus untuk beasiswa calon-calon guru SLB, kewajiban penyediaan angkutan umum layak yang dapat dapat diakses oleh penyandang disabilitas, hingga kewajiban perusahaan untuk memberikan kesempatan bagi para penyandang disabilitas. Hal ini untuk menjamin kemudahan penyandang disabilitas dalam pemenuhan otak, perut, dan dompetnya selayaknya manusia pada umumnya. ()