Oleh: Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita
Negara Indonesia sedang darurat COVID-19. Hampir seminggu terakhir masyarakat merasakan ketegangan hingga kesedihan mendalam atas kehilangan orang-orang terdekat. Beberapa rumah sakit penuh sesak dengan pasien COVID-19 dan keluarga yang panik mencari oksigen untuk merawat orang yang dicintai. Adegan yang hampir mirip dengan kondisi yang terjadi di India dua bulan lalu.
Menurut Irma Hidayana (Inisiator Platform Lapor Covid-19) dalam Diskusi “Gagalnya Indonesia Menyelamatkan Rakyat” yang diadakan oleh LP3ES, Senin 5 Juli 2021, sudah terlalu banyak angka kesakitan dan kematian yang semestinya bisa dicegah. Lebih memprihatinkannya lagi ketika banyak pasien yang meninggal di perjalanan maupun di rumah. Banyak warga positif COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat yang tidak mendapat layanan fasilitas kesehatan yang sudah penuh. Kondisi ini benar-benar menyedihkan.
Indonesia akhirnya mengumumkan PPKM Darurat Jawa dan Bali pada tanggal 3 Juli 2021. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali ini hanya mencakup 12 dari 34 Provinsi atau sekitar 55 % dari populasi di Indonesia. Hal ini berkelainan dengan India, karena pasca keadaan darurat, Pemerintah India memberlakukan pembatasan pergerakan pada hampir semua wilayah dengan sangat ketat. Apa yang dilakukan India sebenarnya mengikuti panduan dari WHO yakni, pembatasan pergerakan harus dilakukan ketika positivity rate diatas 5%. Seluruh 34 Provinsi di Indonesia, memiliki angka positif diatas 10%, hal ini menunjukkan bahwa apabila positivity rate di atas 5%, wabah COVID-19 di luar kendali. Hal ini lebih miris lagi ketika tracing yang dilakukan di Indonesia belum maksimal.
Ahli Epidemiologi, Irwan Muryanto menyatakan bahwa kebijakan ini seharusnya dilakukan lebih awal, tidak hanya di Jawa dan Bali, tetapi di semua wilayah. Seorang Epidemiologi lain, Pandu Riono mengatakan bahwa pembatasan ini “tidak cukup kuat”, dan seharusnya dilakukan sebelum libur Idul Fitri awal Mei lalu, ketika jutaan orang Indonesia melanggar larangan mudik. Ironisnya, pemerintah sempat menyangkal di awal bahwa dilanggarnya larangan mudik merupakan penyebab dari kondisi darurat COVID-19 yang terjadi di Indonesia saat ini. Akhirnya juru bicara Satgas COVID-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito mengakui bahwa lonjakan kasus COVID-19 dipicu oleh peningkatan aktivitas sejak Ramadhan dan Hari Raya Idulfitri.
Apabila membandingkan Indonesia dengan India, kemampuan Indonesia untuk merawat pasien COVID-19 yang sakit parah, secara signifikan lebih rendah daripada India. Indonesia, dengan 270 juta orang, menurut data dari Asosiasi Rumah Sakit Indonesia hanya memiliki 8.485 tempat tidur perawatan intensif. Jumlah ini kurang dari setengah tempat tidur perawatan intensif (per kapita) di India. Erlina Burhan, seorang ahli paru di salah satu rumah sakit utama di Jakarta, mengatakan, fasilitas itu sudah kelebihan kapasitas. Staf memasukkan 11 pasien ke bangsal isolasi darurat yang dirancang untuk tujuh orang.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan grafik kasus COVID-19 di Indonesia menunjukkan peningkatan sangat tinggi. Salah satunya, tak sedikit masyarakat yang sudah bosan dengan disiplin protokol kesehatan. Faktor lain adalah ditemukannya varian virus yang baru yakni Virus varian Alpha atau disebut B117 yang ditemukan pertama kali di Inggris. Varian Beta atau disebut virus asal Afrika Selatan dan varian Delta atau disebut B1617.2 yang pertama kali ditemukan di India.
Kegaduhan yang dialami India, mungkin telah menjadi bom waktu yang meledak di Indonesia sekarang. Sampai tulisan ini ditulis, Indonesia tetap menduduki posisi ketiga negara yang mengalami pertambahan jumlah kasus harian COVID-19 di dunia. Penambahan kasus positif baru terus terjadi sampai angka 34.379 pasien sehingga membuat total kasus menembus 2.379.397 orang. Angka kematian harian juga bertambah sebanyak 1.040 pasien, hingga membuat total angka kematian mencapai 62.908 orang. Meski demikian angka pasien sembuh juga terus bertambah hingga 14.835 yang membuat total pasien sembuh sebanyak 1.973.388 orang.
Menurut Dicky Budiman seorang epidemiologi dari Griffith University kepada VOI, dalam beberapa kasus, COVID-19 di Indonesia bahkan akan lebih mengkhawatirkan daripada India. Hal ini karena dalam uji positivity rate, Indonesia tidak sebagus India. Sehingga fenomena COVID-19 di Indonesia diidentikkan dengan fenomena gunung es.
Tanggung Jawab Pemerintah
“Salus Populi Suprema Lex Esto” atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi merupakan asas yang seharusnya dijadikan pedoman tertinggi dalam setiap pemberlakuan kebijakan dalam masa pandemi COVID-19 yang dapat dikatakan sebagai situasi darurat.
Pemerintah akhirnya telah memberlakukan kebijakan PPKM Darurat Jawa Bali, untuk mengatasi penyebaran COVID-19. Kebijakan ini memang tidak bisa disamakan dengan lockdown, namun penyekatan wilayah di beberapa tempat untuk mengurangi mobilisasi masyarakat yang tidak memiliki kepentingan urgent telah ditempuh diberbagai daerah. Penolakan pasti terjadi, apalagi masyarakat telah banyak dijejali janji-janji manis akan segera berhasilnya COVID-19 di Indonesia. Kenyataan yang kita terima sekarang membuat kita menarik nafas sekali lagi.
Negara dalam hal ini pemerintah, harus berupaya untuk mewujudkan tujuan negara, yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Dalam konteks pandemi, negara memiliki kewajiban untuk melakukan suatu tindakan berkaitan dengan rencana penanganan pandemi. Kewajiban negara juga untuk mengurangi dampak penyebaran dan mengurangi tingkat kematian, sehingga mengharuskan adanya target tertentu guna memenuhi standar kesehatan masyarakat. Menurut Maastricht Principles, penanganan COVID-19 harus memenuhi kewajiban negara, yakni apa yang dilakukan haruslah terencana dengan baik untuk memenuhi kewajiban mengenai hasil berupa terpenuhinya hak atas kesehatan masyarakat.
Untuk mencapai hak atas standar kesehatan tertinggi harus dipenuhi dari hal-hal seperti: Ketersediaan yakni fungsi kesehatan publik dan faskes dengan kuantitas yang cukup. Aksesibilitas yakni setiap orang dapat mengakses faskes, barang dan jasa tanpa diskriminasi. Penerimaan yakni segala faskes barang dan pelayanan harus diterima oleh etika medis dan sesuai secara budaya. Kualitas yakni baik secara ilmu dan medis sesuai serta dalam kualitas yang baik.
Berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang disampaikan oleh Muhammad Isnur (Ketua Advokasi YLBHI), ada berbagai kekacauan langkah hukum dalam penanganan COVID-19. Hal tersebut antara lain: Pertama, Informasi Positif COVID-19 yang tidak dibuka dan real time. Kedua, kesalahan pengambilan kebijakan seperti di awal, misalnya menjawab darurat kesehatan dengan darurat sipil. Ketiga, lamanya kebijakan penentuan kekarantinaan wilayah. Empat, saling lempar tanggung jawab antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lima, perubahan APBN bukan hanya antisipasi COVID-19 dan pembentukan TIM yang lebih dominion menjaga ekonomi.
Meski demikian kekacauan diatas akan tambah memburuk apabila kita sebagai masyarakat tidak memiliki sense of crisis terhadap kondisi negeri ini. Kita tentu tidak bisa menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada Pemerintah. Hal ini mengingat perilaku penerimaan (compliance) terhadap berbagai kebijakan penanganan COVID-19 merupakan faktor yang paling menentukan dalam keberhasilan penanganan COVID-19.
Perilaku penerimaan yang sudah menjadi budaya seperti selalu mengikuti protokol kesehatan dengan ketat, memakai masker yang benar, tidak berkumpul dan bepergian untuk sesuatu yang tidak urgent adalah hal-hal sederhana untuk ikut menyelamatkan bangsa. Hal inilah yang membuat mau tidak mau, upaya mengatasi COVID-19 harus dilakukan dengan penuh kesadaran kolektif oleh segenap bangsa Indonesia agar kondisi parah di India tidak benar-benar seutuhnya menimpa kita. ()