INVESTASI 3 GENERASI DI IKN

Oleh: Ayu Naningsih

Proyek Ibukota Nusantara (IKN) saat ini masih dalam progres, namun ada hal yang mengejutkan dari pemerintah yaitu pernyataan wacana perizinan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 160 tahun bagi investor yang disampaikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto. Ia menyampaikan ada rencana untuk memberikan kemudahan perizinan HGB bagi investor dengan jangka waktu 80 tahun yang dibagi dalam 3 tahap, yakni 30 tahun, perpanjangan 20 tahun dan pembaharuan 30 tahun. Jangka waku 80 tahun tersebut masih dapat diperpanjang jika masih diperlukan. Pernyataan ini diungkapkan dalam Rilis Indikator bertajuk Sikap Publik Terhadap Program Pertanahan dan Perpajakan beberapa waktu yang lalu. Wacana pemberian HGB 160 tahun ini tentu dipertanyakan oleh berbagai pihak karena dinilai melanggar ketentuan jangka waktu pemberian HGB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Regulasi Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan hak miliknya pribadi dalam jangka waktu tertentu. Apabila mengacu pada ketentuan UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), disebutkan bahwa HGB merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yan bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat diberikan kepada warga negara Indonesia maupun kepada Badan Hukum yang berkedudukan di Indonesia. Pasal 37 UUPA menjelaskan hak guna bangunan dapat diberikan atas tanah yang dikuasai oleh negara karena penetapan pemerintah dan tanah milik pribadi karena perjanjian antara para pihak. 

Aturan lain yang mengatur tentang HGB, yaitu ketentuan PP No 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah (PP No. 18/2021). Peraturan ini memberikan aturan yang berbeda dengan ketentuan UUPA terkait jangka waktu pemberian HGB atas tanah yang dikuasai negara. PP No. 18/2021 ini memberikan jangka waktu pemberian HGB maksimal selama 80 tahun dengan rincian jangka waktu paling lama 3O (tiga puluh) tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Sehingga dengan tiga urutan yaitu pemberian, perpanjangan dan pembaharuan. 

Pertanyaan muncul atas perbedaan pemberian jangka waktu antara UUPA dan PP No. 18/2021, karena dalam UUPA tidak mengenal adanya pembaharuan atas HGB. 

Perbedaan antara UUPA dan PP No. 18/2021 terjadi karena PP No. 18/2021 merupakan peraturan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). 

Lantas, aturan mana yang harus digunakan dalam penentuan jangka waktu pemberian HGB?

Meskipun terdapat aturan yang mengatur tentang adanya pemberian, perpanjangan dan pembaharuan jangka waktu HGU dalam PP No 18/2021, tentu perlu diperhatikan bahwa peraturan tersebut merupakan produk turunan dari UU Cipta Kerja yang beberapa waktu yang lalu dinilai cacat formil sehingga telah diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XIX/2021 yang dibacakan pada 25 November 2021. 

Konteks wacana pemberian perizinan HGB dalam jangka waktu 160 tahun jelas tidak sesuai dengan amanat dari ketentuan baik UUPA maupun PP No 18/2021. Pelaksanaan wacana ini perlu memperhatikan efek jangka panjang di kemudian hari mengingat batas waktu yang lebih dari 1,5 (satu setengah) abad tentu akan menimbulkan permasalahan terkait potensi kerugian keuangan negara, karena membutuhkan waktu yang lama agar terbebas dari penguasaan HGB oleh investor. Mengingat umur rata-rata warga negara Indonesia yang bisa mencapai 70 tahun, dapat dipastikan apabila pemerintah mengambil langkah pemberian izin HGB selama 160 tahun, maka akan memerlukan 3 generasi dan setidaknya 16 kepemimpinan presiden dengan perhitangan satu presiden dua periode jabatan agar Indonesia dapat terbebas dari penggunaan HGB oleh investor. ()