Oleh Azeem Marhendra Amedi
(Internship Advokat Konstitusi)
Gagasan mengenai pengaduan konstitusional atau “constitutional complaint” untuk diadopsi di Indonesia hingga detik ini tak kunjung direalisasikan, meski sudah menjadi bagian dari topik diskursus berbagai kalangan ahli dan pemerhati hukum. Mereka memandang perlu ada mekanisme tersebut di Indonesia, kemudian ditransplantasikan ke dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) karena beraneka ragam alasan.
Harjono, mantan Hakim Konstitusi, menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa (2008), bahwa di Indonesia perlu adanya constitutional complaint karena kewenangan MK untuk melakukan constitutional review yang diuji baru undang-undang (uu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Padahal dalam beberapa kasus, uu masih sangat sulit untuk ditentukan apakah ketentuan di dalamnya sudah konstitusional dan baru dapat ditentukan dalam pelaksanaannya, yakni melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dari pernyataan Harjono tersebut, jika memberikan kewenangan pada MK untuk menyelesaikan perkara constitutional complaint, maka produk hukum yang diuji akan lebih banyak dan memastikan pelaksanaan uu yang masih abstrak itu untuk tetap mematuhi UUD 1945, termasuk hak konstitusional yang ada di dalamnya.
Hak konstitusional menjadi “highlight” dalam pemberian kewenangan constitutional complaint. Menurut I Dewa Gede Palguna, target dari adanya kewenangan constitutional review terhadap MK dalam menyusun perubahan UUD 1945 adalah terwujudnya checks and balances. Hal ini untuk mencapai tujuan bagaimanapun caranya membatasi kekuasaan yang sedang berkuasa, sedangkan perlindungan hak konstitusional belum menjadi prioritas utama.
Constitutional review melalui perkembangannya dari tahun ke tahun juga semakin menunjukkan bahwa ada keuntungan berupa terlindunginya hak-hak warga negara yang merasa dirugikan oleh hak tersebut. Walaupun begitu, kewenangan pengaduan konstitusional yang justru mampu memberikan pemulihan dari kerugian terhadap hak konstitusional yang disebabkan oleh produk hukum yang dikeluarkan oleh penguasa negara. Robert Alexy menjelaskan bahwa pengaduan konstitusional bermanfaat sebagai obat penyembuh bagi warga negara dari kerugian hak konstitusional yang diderita tersebut. Sedangkan bagi MK, kewenangan tersebut adalah sebagai upaya penegakan hukum konstitusi yang objektif, memberikan interpretasi, dan mengawal perkembangannya.
Alasan lain mengapa pentingnya MK Indonesia untuk memiliki kewenangan ini adalah karena sifat penyelesaian perkara pengaduan konstitusional bersifat concrete cases. Berbeda dengan constitutional review sebagaimana yang kita miliki saat ini, yaitu masih bersifat abstract cases. Sehingga, dengan melakukan penyelesaian berdasarkan kasus konkret, kerugian konstitusional yang diderita pemohon kemungkinan besar telah jelas dan kemungkinan kecil terganjal permasalahan kedudukan hukum (legal standing).
Bahkan jika ditilik lebih jauh, prosedur dengan menggunakan legal standing sebagai tolok ukur sah atau tidaknya seseorang menjadi pemohon di depan Majelis MK adalah bagian dari mekanisme pengujian kasus konkret. Bagaimana tidak, konsep legal standing MK terinspirasi dari doktrin standing Mahkamah Agung Amerika Serikat (US Supreme Court), yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara konkret pengaduan konstitusional yang satu paket dengan kewenangan review. Oleh karena itu, secara prosedural sebenarnya MK Indonesia cukup bisa untuk memiliki kewenangan menyelesaikan pengaduan konstitusional jika nantinya hendak diberikan.
Kewenangan untuk menyelesaikan pengaduan konstitusional ini tentu akan memperluas produk hukum yang dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Sebab jika mengacu pada model-model pengaduan konstitusional di negara-negara lain, produk hukum di luar uu berupa keputusan dan tindakan eksekutif hingga putusan pengadilan dapat diajukan untuk perkara pengaduan konstitusional. Luasnya produk hukum yang dapat diuji dapat menjadikan mekanisme pengaduan konstitusional tidak hanya mengawasi konstitusionalitas uu. Namun, juga setiap kebijakan dan keputusan yang diambil cabang-cabang kekuasaan negara. Hanya saja, semua itu harus melalui mekanisme peradilan biasa atau Tata Usaha Negara terlebih dahulu.
Beberapa negara yang menjadi inspirasi Indonesia untuk mengadaptasikan model peradilan konstitusi, seperti Jerman, Republik Ceko, dan Korea Selatan, telah mengadopsi kewenangan tersebut untuk menangani pengaduan konstitusional sejak lama. Hak warga negara untuk melakukan pengaduan konstitusional pun turut dijamin, seperti pada Pasal 93 Ayat (1) angka 4a dan 4b Konstitusi Jerman (Basic Law for the Federal Republic of Germany/Grundgesetz). Semua diorientasikan dalam memaksimalkan perlindungan hak konstitusional warga negara.
Kewenangan pengaduan konstitusional dianggap penting untuk diberikan pada MK Indonesia, tidak hanya dengan mengubah orientasi dari usaha pembatasan kekuasaan, melainkan menjadi bertambahnya usaha melindungi hak konstitusional. Pertanyaannya saat ini adalah kapan Indonesia bergerak untuk mengubah UUD agar diberikannya kewenangan tersebut pada MK? Patut kita simak beberapa tahun ke depan, sebab kebutuhan akan hal itu tak akan dapat dipungkiri lagi.
DAFTAR PUSTAKA
- Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
- I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika.
- Robert Alexy, 2002, A Theory of Constitutional Rights, Oxford: Oxford University Press.
()