Oleh: Diyah Ayu Riyanti
Pada saat ini, telah ramai diperbincangkan bahwa Pekerja PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) melakukan unjuk rasa dan mogok kerja. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut terkait dengan Penerapan Prosedur Keselamatan, Kesehatan Kerja atau K3. Amirullah, selaku ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT GNI di morowali utara mengatakan bahwa sejak PT GNI beroperasi sampai sekarang, pekerja di beberapa posisi tidak dibekali alat pelindung diri (APD) yang memadai. Ia mencontohkan pekerja di tungku smelter pabrik hanya mengenakan kaos oblong dan masker medis, padahal pekerjaan itu resikonya besar sebab bersinggungan dengan suhu tinggi yang membahayakan keselamatan dan bijih logam yang diolah mengandung zat berbahaya. Belum lagi alat-alat berat yang digunakan punya potensi risiko besar, semestinya pekerja di tungku smelter memakai baju tahan panas.
Lantas bagaimana aturan hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia?
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan penerapannya digunakan sebagai upaya mencegah suatu kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran, penyakit, dll atau dapat disebut dapat disebut Accident Prevention.
Tujuan dari K3, antara lain:
- Melindungi para pekerja dan orang lain di tempat kerja.
- Menjamin agar setiap sumber produksi dapat dipakai secara aman dan efisien.
- Menjamin proses produksi berjalan lancar.
Keselamatan (safety) dalam K3 dapat diartikan sebagai:
- Mengendalikan kerugian dari kecelakaan (control of accident loss)
- Kemampuan untuk mengidentifikasi dan menghilangkan (mengendalikan) risiko yang tidak bisa diterima (the ability to identify and eliminate unacceptable risks)
Sedangkan kesehatan (health) dapat diartikan sebagai derajat/tingkat keadaan fisik dan psikologi individu (the u
degree of physiological and psychological well being of the individual).
Dasar Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Setiap Pekerja memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) berdasarkan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Dalam rangka mewujudkan produktivitas kerja yang optimal maka diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Upaya tersebut dilakukan dengan memberi jaminan kesehatan dan keselamatan para pekerja melalui cara pencegahan kecelakaan serta penyakit para pekerja, pengendalian bahaya ditempat kerja, sosialisasi terkait kesehatan, dan lain-lain. Lebih lanjut lagi, pada Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
Apabila suatu perusahaan melanggar atau tidak menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dapat dikenakan pidana dan sanksi administratif berdasarkan Pasal 190 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Sanksi administratif dapat berupa teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sebagian atau seluruh alat produksi, dan pencabutan izin. Adapun sanksi pidana termasuk dalam tindakan pelanggaran dengan hukuman kurungan selama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi‐tingginya Rp. 100.000,‐ (seratus ribu rupiah).
K3 juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Adapun cakupan dari UU ini adalah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja yaitu tempat kerja merupakan setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya (Pasal 1 angka 1 UU 1/1970).
Setiap Perusahaan wajib menerapkan Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Kewajiban perusahaan dalam menerapkan SMK3 berlaku bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang atau mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Tingkat potensi bahaya tinggi yang dimaksud adalah perusahaan yang memiliki potensi bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan jiwa manusia, terganggunya proses produksi dan pencemaran lingkungan kerja.
Dikutip dari bbc.com Kasus PT GNI, Kementerian Ketenagakerjaan turunkan tim investigasi dari unsur pengawas ketenagakerjaan, mediator dan pengantar kerja ke lokasi PT GNI. Namun, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional, Djoko Heriyono menilai tidak perlu adanya tim investigasi sebab selain prosesnya bakal berlarut-larut, penyebab peristiwa ini sudah terang benderang yaitu adanya pelanggaran aturan ketenagakerjaan oleh PT GNI. Persoalan pelanggaran aturan ketenagakerjaan tersebut juga sudah diketahui Dinas ketengakerjaan setempat dan kepala daerah.
Guna menyelesaikan Kasus PT GNI tersebut, menurut penulis sudah tepat apabila pemerintah melakukan investigasi lebih lanjut terhadap hal itu. Dikarenakan untuk menilai suatu perusahaan itu melanggar atau tidak harus ada bukti yang kuat. Keterangan dari kedua belah serta bukti yang ada di lapangan dapat digunakan untuk menentukan suatu perusahaan tersebut melanggar peraturan atau tidak. ()