Keberadaan Sanksi Kebiri di Indonesia

Oleh: Hario Danang Pambudhi

(Content creator Advokat Konstitusi)

Di pengawal tahun 2021, Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Hadirnya PP ini merupakan pengaturan lebih lanjut dari oleh UU No. 17 Tahun 2016 tentang Pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Adanya pengaturan teknis mengenai tata cara pengenaan kebiri membawa diskursus pro dan kontra tersendiri yang telah ada sejak diperkenalkannya sanksi tindakan kebiri dalam sistem pidana Indonesia melalui penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Kala itu, KPAI menganggap telah terjadi kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak sehingga diperlukan adanya Perppu untuk menyelesaikan keadaan genting tersebut.

Keadaan tingginya kedaruratan anak yang dijadikan legitimasi untuk membentuk Perppu kemudian ditanggapi secara kontradiktif dengan beberapa kelompok, terutama dikarenakan pengenaan kebiri akan sangat bersinggungan dengan hak asasi manusia karena masih dianggap sebagai hukuman yang keji, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia.

Secara definisi, kebiri merupakan tindakan untuk membuat tidak berjalannya fungsi reproduksi baik itu bagi manusia maupun hewan baik itu dengan cara mengamputasi organ seks eksternal maupun memasukan zat kimia yang mampu memperlemah hormone testosteron. Dalam perkembangannya, bila merujuk pada pendapat Jean D. Wilson dan Claus Roehrborn, tindakan kebiri dalam perkembangannya juga digunakan sebagai hukuman yang kemungkinan dapat melakukan kejahatan.

Pengenaan kebiri sebagai sanksi dianggap tidak memerhatikan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia yang berlaku. Hal ini dikarenakan sanksi kebiri merupakan sanksi pidana yang dapat dikonstruksikan sebagai hukuman yang keji, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia. Hal ini tentu bertentangan dengan pasal 7 ICCPR yang berbunyi “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”.

Dalam hal ini, pernyataan kebiri sebagai hukuman yang keji, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia dapat didasari dari dampak-dampak negatif yang timbul dari pengenaan kebiri, misalnya pada kebiri kimia dapat menimbulkan dampak negatif berupa penuaan dini pada tubuh. Cairan anti androgen diketahui akan mengurangi kepadatan tulang sehingga risiko tulang keropos atau osteoporosis meningkat. Selain itu, anti androgen juga mengurangi massa otot, yang memperbesar kesempatan tubuh menumpuk lemak dan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Bahkan John Stinneford mengatakan bahwa subjek dari kebiri kimiawi akan mengalami proses yang disebutnya “melumpuhkan organ” dan dapat disebut sebagai suatu penyiksaan.

Dengan dampak yang akan ditimbulkan pada pelaku, Komnas HAM sendiri menyarankan pemerintah untuk menimbang kembali pemberlakuan kebijakan ini. Selain itu, Komnas HAM juga melihat bahwa negara harus berfokus pada upaya pemulihan melalui rehabilitasi, baik medis, psikologis, maupun sosial yang memperhatikan rambu-rambu hak asasi manusia.

Adanya sanksi kebiri dalam sistem pidana Indonesia malah menunjukkan konstruksi pengenaan pidana di Indonesia sebagai upaya balas dendam semata. Hal ini tentu bertentangan dengan arah pembaharuan hukum pidana yang berusaha untuk memulihkan baik dari pihak korban maupun pelaku. Selain itu, jika mengingat kembali Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Maka hal ini merupakan rambu-rambu bagi pemerintah agar memerhatikan aspek hak asasi manusia dalam pengenaan pidana. Kendati pembatasan hak asasi manusia dapat diberlakukan berdasarkan pasal 28J UUD 1945, namun pembatasan hak asasi manusia haruslah bersifat proporsional agar malah tidak melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang bersifat universal

  ()