Oleh: Salsabila Rahma Az Zahro
(Internship Advokat Konstitusi)
Setiap tahunnya kejahatan kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada semester I 2020 telah terjadi 3087 kasus kekerasan terhadap anak. Angka kekerasan yang cukup tinggi tersebut terbagi dalam beberapa bentuk tindakan yang terdiri dari 852 kekerasan fisik, 768 psikis, serta 1848 kasus kekerasan seksual yang menduduki posisi puncak dari tindakan kekerasan tersebut. Fenomena kekerasan terhadap anak masih marak terjadi, maka dari itu pemerintah memfasilitasi sebuah badan independen, yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun upaya tersebut nampak belum cukup dikarenakan tindakan kekerasan pada anak masih saja terus dilakukan oleh orang dewasa. Penegakan hukum yang saling berkaitan dengan kondisi masyarakat dalam negara Indonesia merupakan hal yang bersifat universal, dimana setiap negara yang mengalami kejadian tersebut berusaha untuk terus mengurangi tindakan yang merugikan orang lain dengan tercapainya penegakan hukum di dalam masyarakat.
Bentuk respon terhadap banyaknya kasus kekerasan terhadap anak membuat pemerintah membentuk peraturan baru melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian, Perppu ini disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan UU No.17 Tahun 2016 menjelaskan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yaitu hukum pidana mati, seumur hidup dan maksimal 20 tahun penjara serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Lalu, pelaku juga dikenai hukuman berupa kebiri kimia.
Tetapi, hukuman berupa kebiri kimia banyak menuai pro dan kontra di masyarakat. Masyarakat yang pro terhadap hukuman ini mendukung dan menyetujui hal ini sebagai langkah pencegahan dan pemberian efek jera bagi pelaku. Sedangkan, masyarakat yang menolak hukuman kebiri kimia ini karena melanggar pemenuhan hak dasar manusia yaitu hak untuk tidak disiksa. Perlakuan kebiri kimia juga merupakan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia sebagaimana telah diatur dalam hukum tertinggi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD NRI) 1945.
Hukuman kebiri kimia dinyatakan melanggar hak seseorang, sehingga hukuman ini ditolak oleh sebagian kalangan masyarakat, pakar hukum, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Menurut Pakar hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (UII), Mudzakir menilai pelaksanaan kebiri kimia tidak tepat diterapkan sebagai pidana tambahan, karena penerima pidana kebiri tidak dapat mengendalikan nafsu selama menjalani masa hukumannya. Hal ini juga ditentang oleh IDI, karena menurut mereka, pelaksanaan hukuman kebiri ini akan melanggar sumpah, etika, dan disiplin kedokteran yang berlaku.
Hukuman ini melanggar beberapa ketentuan seperti Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 menyatakan tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia pun turut menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”. Berdasarkan Pasal 1 ketentuan umum angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksud dengan penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani.
Maka berdasarkan atas amanat yang diberikan UU No. 39 Tahun 1999 yang disebutkan di atas, tentunya tidak sejalan dengan ketentuan yang mengatur hukuman dalam UU No. 17 Tahun 2016 karena bagaimanapun, praktik kebiri kimia mengakibatkan pelaku mengalami rasa sakit dan penderitaan yang hebat. Adanya hukuman ini membuat sifat pelaku menjadi agresif dan tidak bisa menjamin akan terulang lagi tindak kejahatannya karena memori seksualnya masih terdapat dalam diri pelaku, walaupun hormon testosteronnya menurun. Menurut penelitian Nikolaus Helm (1981) atas 36 pelaku kejahatan seksual yang dikebiri secara sukarela di Jerman Barat, dia mengatakan bahwa frekuensi senggama, masturbasi, dan pikiran seksual sangat berkurang setelah pengebirian. Namun, 31 persen pelaku masih merasakan dorongan seks dan mampu melakukan hubungan seksual. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan sisi itu sebelum menerapkan hukuman, dan juga fokus untuk penanganan pemulihan para korban kekerasan.
Hukuman kebiri ini merupakan hukuman yang tidak sesuai dengan konstitusi dan komitmen indonesia dalam bidang hak asasi manusia yang terdapat dalam ketentuan pasal 28G ayat (2) konstitusi indonesia menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. Kemudian, hal ini juga berhubungan dengan Pasal 28I Ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyebutkan “perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”. Dengan demikian hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang dilindungi konstitusi dan pemajuan, perlindungan serta pemenuhan menjadi komitmen konstitusi.
Sumber :
Messy Rachel Mariana. Penerapan Hukuman Tindakan Kebiri Kimia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum Magnum Opus Volume 3, Nomor 1 Februari 2020.
KEMENPPPA. 2020. Angka Kekerasan Terhadap Anak Tinggi Di Masa Pandemi, Kemen PPPA Sosialisasikan Protokol Perlindungan Anak. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2738/angka-kekerasan-terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi-kemen-pppa-sosialisasikan-protokol-perlindungan-anak#:~:text=%E2%80%9CBerdasarkan%20data%20SIMFONI%20PPA%2C%20pada,seksual%2C%20angka%20ini%20tergolong%20tinggi. Diakses pada 3 Maret 2021.
Aditya Widya Putri. 2021. Hukuman Kebiri Belum Efektif Bikin Jera Pelaku Kejahatan Seksual.https://tirto.id/hukuman-kebiri-belum-efektif-bikin-jera-pelaku-kejahatan-seksual-f8SM. Diakses pada 4 Maret 2021.
Ratna Artha Windari.Penegakan Hukum terhadap Perlindungan Anak di Indonesia (Kajian Normatif atas Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat). Jurusan PPKN FIS Undiksha.
()