#KODEKERAS JOKOWI: REFORMASI APARAT

Jumat (14/10), Presiden Joko Widodo memanggil pejabat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), seluruh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), dan seluruh Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) di Indonesia. Menariknya dalam hajat kali ini, anggota korps Bhayangkara tidak datang dengan berbagai atribut yang biasa dikenakan, seperti tutup kepala, tongkat, bahkan ajudan. Tak juga seperti acara formal lainnya, mereka juga hanya mengenakan Pakaian Dinas Lapangan (PDL) dan membawa buku catatan yang dilengkapi dengan pulpen. Bahkan diketahui, mereka dilarang membawa ponsel. Sejumlah pihak menganggap ini sebagai sesuatu yang luar biasa, penanda bahwa kondisi aparat “baju cokelat” tidak sedang baik-baik saja.
Sebenarnya, terkait seragam dan atribut Polri sudah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 6 Tahun 2018. Aturan yang cukup baku tersebut menjadi pakem dalam menunjang kegiatan pelaksanaan tugas anggota Polri. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kemarin tidak demikian? Terlepas bahwa Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono telah mengatakan hal ini dilakukan karena tidak terdapat space untuk menyimpan tingkat dalam jumlah banyak serta untuk mempercepat mobilisasi ke istana, rasanya hal itu amat sukar untuk dipercaya. Jadi kira-kira mengapa ya?

Politik dan Komunikasi Simbolis
Baju coklat dan celana bahan, penutup kepala, serta tongkat seolah-olah memang menjadi style anggota Polri. Tidak dapat kita pungkiri bahwa ketika orang dengan penampilan tersebut lewat di hadapan kita, kita akan mengira bahwa ia merupakan bagian dari aparat tersebut. Seragam tersebut seolah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sang aparat.
Dalam sebuah jurnal berjudul The Social Power of a Uniform, Leonard Bickman, seperti yang dikutip dari PinterPolitik TV, pernah menjelaskan bahwa seragam menjadi sebuah cara untuk menunjukan identifikasi status pemakainya, keanggotaan dari sebuah kelompok, serta legitimasi. Hal itu dapat bermuara pada faktor hirarki, impresi koersi, punishment, dan reward terhadap pemakai dari atribut tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa ketika Presiden melarang penggunaan berbagai atribut tersebut saat datang ke istana, Presiden ingin menghilangkan “legitimasi” atas pembenaran arogansi aparat serta memberikan punishment atas arogansi yang “rasa-rasanya” meninggi dalam beberapa peristiwa terakhir.
Jika kembali boleh mengutip dari apa yang dipaparkan oleh Klasio melalui sebuah buku berjudul “Komunikasi Simbolik-Penggunaan Simbol dalam Komunikasi” yang dirujuk oleh Ichwan Arifin dalam sebuah artikel daring berjudul “Politik Simbol, Politik Banal?”, Klasio menunjukan bahwa terdapat dua komponen penting dalam mempelajari komunikasi simbolik, yaitu: (1) Tanda, yang bersifat fisik dan dapat dipersepsi oleh indera; serta (2) Makna, yaitu hasil dari penandaan. Sebuah tanda/simbol baru dapat menggerakan manusia jika terdapat makna yang dipahami. Jikalau boleh membangun asumsi dengan menghubungkan peristiwa kemarin, mungkin Presiden ingin menunjukan bahwa mereka bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa tanpa atribut-atribut itu. Mereka hanyalah manusia biasa, sehingga wajib mengedepankan rasa kemanusiaan serta akal budi dalam menangani “manusia-manusia” lainnya.

Reformasi Polri
Konteks peristiwa pemanggilan pejabat Polri oleh Presiden itu sebenarnya hanya satu dari sekian peristiwa yang harus dijadikan acuan dalam mereformasi institusi Polri. Citra Polri yang humanis harus dikedepankan, reformasi Polri harus dilakukan. Hal ini semata-mata demi kembali kepada fitrah dari institusi Kepolisian: perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat sebagaimana Pasal 13 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. ()