oleh : Apriska Widiangela
Internship Advokat Konstitusi
Netizen gempar usai kebijakan Kominfo yang hendak memblokir sejumlah platform digital yang diduga tidak terdaftar ke dalam Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat sebagaimana yang diatur dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020). Beberapa platform yang diblokir melansir Kompas.com di antaranya adalah PayPal, Yahoo, Epic Games, Steam, Dota, Dota 2, Counter Struke, CSGO Origin (1/8).
Pasalnya, Permenkominfo tersebut diterbitkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan pengaturan dalam penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat. Dilansir dari suara.com, Semuel turut angkat bicara atas isu yang beredar dalam Konferensi Pers di Kantor Kominfo, ia menyatakan “Salah satunya untuk meredam itu (konten kontroversi yang menghebohkan publik) adalah melakukan pemblokiran” ujarnya.
Kendati demikian, peraturan ini justru yang menimbulkan keresahan warga lantaran beberapa kalangan menggunakan PayPal sebagai sarana transaksi usahanya yang mana berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat. YLBHI sebagai Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan HAM turut menaruh perhatian bahwa kebijakan Kominfo tersebut tanpa didasari pertimbangan Hak Asasi Manusia. “Mau sampai kapan Kominfo membuat kebijakan tanpa landasan hak konstitusional dan Hak Asasi Manusia (HAM)?. Melansir pada poskota.co.id, hal tersebut disampaikan oleh Muhammad Isnur Ketua YLBHI Tahun 2022-2026 sebagaimana dikutip pada keterangan tertulisnya pada Minggu, (31/7).
Melihat kerusuhan yang terjadi di masyarakat akibat dari kebijakan Kominfo tersebut, LBH Jakarta mewadahi keluhan warga yang terdampak dari kebijakan tersebut. LBH Jakarta menilai bahwa kebijakan Kominfo telah mencampuri kebebasan ranah digital masyarakat.
Jauh sebelum huru-hara pemblokiran platform ini terjadi, sejatinya Permenkominfo 5/2020 telah dikecam oleh beberapa organisasi.
SAFENet telah mengkritisi peraturan ini sejak November 2021 lalu pada diskusinya yang bertajuk “Setahun Permenkominfo 5/2020 dan Potensi Pelanggaran Hak-Hak Digital” turut membahas bagaimana peraturan ini membahayakan bagi kebebasan berekspresi dan hak digital. Diskusi ini bersifat publik dan dihadiri oleh Herlambang P. Wiratraman selaku Dosen FH UGM, Rachel Arinii Judhistari selaku Lead Public Policy Specialist – Asia Wikimedia Foundation dan Anindya Restuviani selaku Program Director Lintas Feminis Jakarta, ketiganya sebagai pembicara dalam agenda tersebut. Diskusi tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa peraturan ini melanggar hak atas privasi dan hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi masyarakat. Peraturan ini berdampak paling rentan pada perempuan dan kelompok minoritas.
Sejalan dengan SAFENet, Human Rights Watch juga angkat suara mengecam Permenkominfo 5/2020 tersebut dalam surat 17 Mei 2021 kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia. Mengutip hrw.org , Linda Lakhdhir, penasihat hukum wilayah Asia di Human Rights Watch menyatakan “Peraturan ini adalah alat sensor yang memberikan beban tidak realistis pada banyak layanan dan platform digital yang digunakan di Indonesia,”. Linda Lakhdir menganggap bahwa hadirnya Permenkominfo 5/2020 merupakan bencana hak asasi manusia, karena akibat yang ditimbulkan.
Sejalan dengan Human Rights Watch, SAFENet turut mengkritisi peraturan ini sejak November 2021 lalu pada diskusinya yang bertajuk “Setahun Permenkominfo 5/2020 dan Potensi Pelanggaran Hak-Hak Digital” turut membahas bagaimana peraturan ini membahayakan bagi kebebasan berekspresi dan hak digital. Diskusi ini bersifat publik dan dihadiri oleh Herlambang P. Wiratraman selaku Dosen FH UGM, Rachel Arinii Judhistari selaku Lead Public Policy Specialist – Asia Wikimedia Foundation dan Anindya Restuviani selaku Program Director Lintas Feminis Jakarta, ketiganya sebagai pembicara dalam agenda tersebut. Diskusi tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa peraturan ini melanggar hak atas privasi dan hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi masyarakat. Peraturan ini berdampak paling rentan pada perempuan dan kelompok minoritas.
SAFENet bahkan membedah Permekominfo 5/2020 dalam Kertas Posisi dengan Judul “Analisis Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Eletronik Lingkup Privat” pada intinya mencakup bahwa dalam Permenkominfo ditemuinya frasa yang kabur sehingga bersifat karet. Permenkominfo tersebut juga melakukan pemaksaan PSE untuk tunduk pada sistem hukum yang mana justru melemahkan perlindungan segala bentuk platform. Permenkominfo 5/2020 dinilai sebagai bentuk nyata kesewenang-wenangan pemerintah untuk menjustifikasi pelanggaran hak warga negaranya.
Dengan demikian, diharapkan pemerintah dapat ambil sikap dalam hal ini dengan kembali mendudukan Hak Asasi Manusia sebagai landasan dalam setiap peraturan. Harapan untuk segera digarapnya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi juga mengingat masih terjadi kecarut-marutan regulasi terkait hal ini. Selain itu, partisipasi masyarakat juga sebaiknya dipandang sebagai hal krusial dalam setiap pengambilan kebijakan. ()