Konflik Pertambangan Emas Kepulauan Sangihe : Bagaimana Nasib Perempuan?

oleh: Apriska Widiangela

(Internship Advokat Konstitusi)

Kasus Sangihe

PT Tambang Mas Sangihe yang merupakan anak usaha Perusahaan Baru Gold Corp sedang gencar dituding warga perihal pertambangan emas yang dilangsungkan di pulau Sangihe. PT Tambang Mas Sangihe yang ingin melancarkan pertambangan emas di Sangihe pun berbekal izin lingkungan yang keluar pada 25 September 2020 melalui Surat Keputusan Kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara 503/DPMPTSPD/IL/182/IX/2020. Kemudian, pada 29 Januari 2021 diterbitkannya Surat Keputusan 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe.  Pertambangan ini hampir menggerus setengah dari Pulau sangihe yaitu 42.000 ha dari total luas Pulau Sangihe adalah 73.698 ha. Sehingga pertambangan tersebut menuai kecaman warga Sangihe yang terdampak akibatnya.

Pembahasan Konflik

Pertambangan ini dinilai melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bahwa seharusnya, pulau-pulau kecil tidak diperuntukan untuk kepentingan pertambangan. Namun, PT Tambang Mas Sangihe masih tetap menggencarkan pertambangan emas di pulau kecil tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat. Padahal, hal tersebut telah dilarang dalam Undang-Undang ini.

Pelanggaran HAM dan Dampaknya Terhadap Perempuan

Tentu hal ini menimbulkan penolakan dari warga, karena pertambangan emas tersebut dinilai dapat melanggar Hak Asasi Masyarakat sekitar, antara lain adalah 1) hak atas tempat tinggal; 2) hak atas lingkungan hidup; 3) Potensi bencana alam; 4) hak atas pekerjaan yang layak; dan  5) hak atas informasi.. Pertambangan emas tersebut merenggut tanah yang mana menjadi sumber penghidupan seperti tempat tinggal, sumber pangan dan obat-obatan dan terdapat kehidupan yang meliputi budaya, adat istiadat, kebiasaan, nilai sejarah, nilai agama dan lain sebagainya. Dampak tersebut kian dirasakan berkali-kali lipat oleh perempuan karena konstruksi gendernya yang bergantung dengan alam. Kedudukan perempuan lekat dengan alam lingkungan menjadi rentan mengalami kekerasan berbasis gender.Sehingga, perempuan Sangihe mau tidak mau harus melakukan perlawanan berupa gugatan terhadap PT Tambang Mas Sangihe di Pengadilan Tata Usaha Negara Manado, Sulawesi Selatan.

Perlindungan Perempuan 

Menjadi Perempuan Pembela Lingkungan Hidup tentu merupakan satu tantangan tersendiri bagi perempuan, mengingat kekerasan struktural yang dialaminya masih belum mampu dituntaskan negara. Hingga sekarang, instrumen hukum mengenai perlindungan perempuan korban pertambangan maupun perempuan pembela lingkungan hidup masih belum cukup memadai. Instrumen hukum lingkungan dan pertambangan masih didominasi patriarki sehingga tidak membuka ruang partisipasi dan bersuara bagi perempuan dikarenakan pendekatan kepala keluarga. Padahal, perempuan merupakan pihak yang merasakan dampak berlapis dibandingkan laki-laki. Tidak hanya sampai di situ, perlindungan bagi perempuan pembela lingkungan hidup pun masih terbilang nir payung hukum. Beberapa instrumen terkait Perlindungan Hak Perempuan dan Lingkungan Hidup seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih belum cukup mampu memberikan jaminan perlindungan lantaran belum secara spesifik mengatur terkait pembela HAM dan memiliki sensitivitas gender yang baik.

Tanggung Jawab Negara

Adanya kekerasan berbasis gender dan minimnya perlindungan bagi perempuan pembela lingkungan hidup yang direfleksikan melalui konflik pertambangan Kepulauan Sangihe tersebut, negara seharusnya dapat hadir untuk menuntaskan permasalahannya. Negara melalui kebijakannya harus dapat menjamin perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia warga negaranya. Dalam rangka mengentaskan polemik kekerasan berbasis gender tersebut, negara dapat mulai menggalakkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang responsif gender. Oleh karenanya, kekerasan berbasis gender dapat teratasi. ()