Mario Agritama
(Internship Advokat Konstitusi)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi dan perdana menghentikan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim pada Rabu (31/3) lalu. KPK menyimpulkan bahwa dalam perkara a quo perbuatan penyelenggara negara yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya Itjih Nursalim (IN) tidak terpenuhi. Hal ini berangkat dari putusan kasasi MA atas kasus Syafruddin yang menyatakan bahwa perkara a quo bukan merupakan suatu tindak pidana dan melepaskannya dari segala tuntutan hukum.
Perjalanan Kasus
Sebelumnya perkara SN dan IN merupakan hasil dari pengembangan kasus yang menjerat mantan ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). Dalam kasusnya, SAT menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 24 September 2018, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memutuskan bahwa SAT dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 13 tahun dan pidana denda sebesar Rp 700 juta. Atas putusan PN tingkat pertama a quo, SAT mengajukan banding pada 2 Januari 2019 dan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar. Terakhir, SAT pun diketahui mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
13 Mei 2019, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan dengan tersangka Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Nursalim (IN) karena diduga bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan SAT selaku ketua BPPN. Setelah mengajukan kasasi, MA pun mengabulkan kasasi SAT dan menyatakan SAT terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan a quo bukan merupakan suatu tindak pidana. Selanjutnya, KPK pun mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali kepada MA namun MA menolak permohonan PK KPK dikarenakan tidak memenuhi unsur secara formil.
Polemik SP3 KPK
SP3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik kepada penuntut umum bahwa perkara yang sedang ditangani dihentikan penyidikannya. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3. Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan agar setiap perkara yang ditangani oleh KPK dapat selesai hingga di Pengadilan, tidak berhenti di tengah jalan.
Selain itu, hal tersebut juga diharapkan dapat mencegah negosiasi terselubung antara oknum KPK dengan pihak-pihak yang terkait dalam hal ini tersangka kasus korupsi. Bahkan apabila melihat naskah akademik RUU KPK, pun menguatkan beberapa argumentasi bahwa kewenangan SP3 tidak semestinya diberikan kepada KPK. Salah satunya, agar KPK lebih berhati-hati dalam melakukan setiap tahapan penindakan tipikor dan demi menjaga independensi lembaga tersebut dari intervensi pihak luar (Naskah Akademik RUU KPK).
Ketidakwenangan KPK dalam menghentikan penyidikan ini juga diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-I/2003 dan Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006. Dimana pada putusan a quo pada pokoknya tidak menerima permohonan judicial review terhadap materi Pasal 40 UU KPK, yang diajukan oleh Hengky Baramuli, mantan anggota DPR RI. Menurut Hamdan Zoelva, salah satu Hakim Konstitusi, ketentuan Pasal 40 UU KPK untuk mencegah KPK melakukan penyalahgunaan wewenangnya yang sangat besar.
Berkaitan dengan kewenangan SP3 yang dimiliki oleh KPK pasca berlakunya UU No. 19 Tahun 2019, sedari awal begitu banyak pakar hukum yang berpendapat bahwa kewenangan tersebut berpotensi melemahkan ikhtiar pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyatakan bahwa pemberian kewenangan menghentikan penyidikan bagi KPK cukup bermasalah karena tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 dapat dijadikan bancakan korupsi. Terbukti, pada kasus BLBI yang ditaksir telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun dihentikan begitu saja. Padahal apabila melihat taksiran kerugian keuangan negara yang dihasilkan, maka sudah sepatutnya KPK harus bekerja keras terhadap pengungkapan kasus a quo.
Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
Sejatinya dalam negara hukum Indonesia, Putusan Mahkamah Agung atas Kasasi SAT dengan nomor perkara 1555 K/Pid.Sus/2019 yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa Syafruddin Arsyaf Temenggung bukan merupakan tindak pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) patut untuk dihormati. Begitu juga terhadap upaya yang telah dilakukan KPK untuk melakukan Peninjauan Kembali yang akhirnya ditolak oleh MA. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah setelah berakhirnya upaya hukum tersebut di MA lantas KPK harus melepaskan perkara a quo begitu saja? Tentu tidak.
Mengingat jumlah kerugian keuangan negara yang dihasilkan pada kasus a quo begitu besar, maka sudah sepatutnya KPK harus terus mengejar agar kerugian keuangan tersebut dapat dikembalikan ke kas negara. Dalam Putusan Kasasi MA diatas, setidaknya terdapat dissenting opinion antara hakim yang menangani perkara SAT, yakni masing-masing hakim tersebut menyatakan bahwa terdapat unsur pidana, perdata, dan tata usaha negara. Artinya, apabila perkara tersebut diputus bukan merupakan tindak pidana, maka dapat dipastikan perkara tersebut dapat masuk dalam ranah TUN ataupun perdata.
Peluang tersebut jelas ada apabila melihat ketentuan di dalam UU Tipikor. Bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa masih dimungkinkan dilakukannya gugatan secara perdata melalui Jaksa Pengacara Negara.
Dalam konteks ini penulis berpandangan bahwa KPK sebaiknya dapat terus mengawal perkara ini bersama Kejaksaan untuk melakukan gugatan secara perdata. Secara normatif, hal ini sangat dimungkinkan apabila melihat kewenangan yang dimiliki oleh KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 juncto UU No. 19 Tahun 2019. Bahwa KPK dapat melakukan koordinasi dan supervisi terhadap berbagai lembaga yang berwenang dalam rangka upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terakhir walaupun secara hukum KPK sudah tidak memiliki peluang untuk menjerat pelaku kasus BLBI menggunakan instrumen hukum pidana, namun apabila melihat peluang yang masih ada melalui gugatan perdata, maka sudah sepatutnya KPK tetap mengawal perkara a quo demi mengembalikan kerugian keuangan negara yang dihasilkan. Dengan begitu, walaupun kepercayaan publik terhadap KPK pasca berlakunya UU No. 19 Tahun 2019 sempat mengalami penurunan, namun sejatinya harapan itu tetap masih ada apabila secara kelembagaan KPK tetap berpegang teguh untuk mengusut tuntas berbagai kasus korupsi dan berupaya mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dikorupsi. ()