Kritik Yuridis Nama IKN Nusantara

 

Oleh: Fayasy Failaq

(Content Creator Advokat Konstitusi)

Baru-baru ini Presiden Jokowi menyatukan seluruh tanah dan air di wilayah Nusantara untuk ditaburkan secara seremonial di Ibu Kota Negara (IKN) baru. Sebelumnya, pada 17 Januari 2022, ibu kota negara baru tersebut diberi nama Nusantara. Penamaan itu tentunya harus berangkat dari kajian yang matang, terlebih untuk ibu kota yang berfungsi sebagai representasi bangsa baik internal maupun eksternal yang sepatutnya memiliki makna filosofis serta tidak ahistoris.

Secara singkat, penggunaan nama Nusantara menggambarkan semangat kebangsaan Indonesia yang sudah terbentuk dari zaman Majapahit melalui nama tersebut. Namun, terdapat beberapa ketidakcocokan penggunaan nama ini untuk IKN. Salah satunya yang disampaikan oleh Sejarawan JJ Rizal yang menyebut penggunaan Nusantara menggambarkan jawasentris di Indonesia yang tidak lepas dari dulu, juga bertolak belakang dengan daerah Kalimantan Timur yang direncanakan untuk meratakan pembangunan di luar pulau jawa.

Melalui literatur hukum, terdapat ketidakcocokkan lain yang penulis temukan ketika mencoba menyandingkan kata “Nusantara”  dengan pendekatan pasal UUD serta tafsir original intent (makna asli) pasal tersebut. Hal ini penulis temukan ketika membedah makna gramatikal pasal tersebut serta menggalinya langsung dari Naskah Komprehensif perubahan UUD 1945 khususnya pada buku kedua.

Pasal terkait Nusantara

Ketika dicermati, satu-satunya penyebutan kata Nusantara secara eksplisit dalam batang tubuh UUD terdapat pada pasal 25. Penempatannya berada dalam bab IXA wilayah negara yang secara sistematis mengartikan bahwa makna nusantara berkaitan dengan kewilayahan negara yang sangat luas. Secara lengkap pasal a quo berbunyi:

“Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.”

Perlu diketahui, pasal tersebut baru lahir dalam amandemen kedua UUD 1945. Setidaknya terdapat dua variabel utama yang jelas dalam pasal tersebut, yakni “negara kepulauan” dan “berciri nusantara”. Kedua variabel utama tersebut lahir dengan makna masing-masing serta memiliki  keterkaitan rasional ketika disusun oleh peng-amandemen UUD 1945.

Melihat sistematika pasal yang demikian, nama nusantara harus diartikan sebagai konsep kewilayahan yang umum dan menyeluruh, tidak terbatas kepada nama suatu daerah tertentu. Begitupun ketika melihat kepada makna asli pasal tersebut yang terekam pembahasannya dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD, bahwasanya pasal tersebut lahir dimaksudkan untuk mengatur terkait konsepsi wilayah negara.

Sebelumnya, konsep wilayah negara ini sudah dibahas oleh para founding father dalam forum BPUPKI. Seperti Muh. Yamin yang merincikan kedalam daerah yang delapan yakni Sumatera, Malaya, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, dan Papua yang terinspirasi dari konsep wilayah zaman Majapahit. Namun, konsepsi kewilayahan negara belum diadopsi dalam batang tubuh UUD.

Dalam pembahasan amandemen konstitusi, ditemukan makna jelas dari nusantara melalui pernyataan M. Askin dari Fraksi Reformasi ketika merangkai pasal 25. Bahwa menurutnya makna “kepulauan” adalah pulau-pulau kecil, sementara “Nusantara” adalah pulau-pulau besar di seberang pulau jawa yang menjadi bagian dari Republik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara kepulauan berciri nusantara adalah satu kesatuan konsepsi yang tidak bisa dipisah untuk menggambarkan wilayah indonesia.

Diperkuat oleh ungkapan Hasjim Djalal pada forum yang sama dengan memberikan contoh dengan membandingkan Indonesia dengan Fiji. Menurutnya, Fiji dan Indonesia adalah merupakan negara kepulauan dan memiliki nusantara (pulau-pulau besar), akan tetapi yang membedakan adalah Fiji memiliki pulau-pulau kecil lain yang berjarak beratus mil di Pasifik. Berbeda dengan Indonesia yang mana tidak ada satu pulau pun yang berada di luar nusantaranya. 

Kedua percontohan tersebut koheren dengan asal muasal penggunaan kata Nusantara pertama kali oleh Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa yang memaksudkan kata tersebut kepada pulau-pulau di seberang pulau Jawa. Sehingga sampai disini terbukti ketidakcocokkan penggunaan nusantara sebagai nama IKN. Secara ringkas ada dua alasan: pertama, ketidaksinkronan dengan makna aslinya di konstitusi terkait konsepsi wilayah negara, kedua, penyempitan makna nusantara apabila digunakan menjadi nama ibu kota.

Menariknya, pada UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara sebagai turunan dari pasal 25 tidak memberikan pengertian yang jelas terkait kata nusantara. UU tersebut hanya menaruh nusantara sebagai salah satu asas yang dalam penjelasannya bermakna “Negara harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh Wilayah Negara Indonesia.” Lebih parah lagi dalam naskah akademik UU IKN, tidak ada penjelasan terkait makna nusantara dan mengapa nusantara dijadikan nama IKN.

Beberapa preseden

Penajam Paser Utara memang dirancang sebagai daerah dengan tata kota dan tata pemerintahan baru. Namun demikian, bukan berarti segala sesuatu dari Penajam Paser Utara harus didesain baru, termasuk pergantian nama. Apabila memperhatikan pemindahan ibu kota sebelumnya yang pernah terjadi di Indonesia, yakni pemindahan ibu kota ke Yogyakarta pada Januari 1946 dan ke Bukittinggi pada Desember 1948. Terdapat perbedaan secara konseptual antara kedua daerah tersebut yakni sebab kedaruratan dan pemindahan yang temporer.

Selain itu, pemindahan ibu kota tersebut juga tidak dilakukan dengan pergantian nama daerah. Hal tersebut menjadi logis karena memang pemindahan ibu kota tersebut bersifat darurat. Pada sisi lain dapat dipahami oleh karena kedaruratan itu, maka hal-hal yang bersifat atributif seperti nama baru tidak sempat terpikirkan -karena penamaannya yang perlu dipikir secara mendalam tentunya..

Memang terdapat praktik pada negara lain yang merubah nama kota seperti Sejong (semula bernama Yeongi) sebagai ibu kota baru Korea Selatan pengganti Seoul, akan tetapi berbeda praktiknya dengan IKN Indonesia. Perubahan nama dari Yeongi menjadi Sejong sederhana, filosofis, dan tidak menyempitkan makna dibalik nama tersebut. Nama itu terinspirasi dari Raja Agung Sejong, pencipta aksara hangeul yang secara tidak langsung meningkatkan semangat baca dan menulis masyarakat korea, juga sebagai upaya penghormatan dan mengingatkan kepada masyarakat korea agar tidak melupakan sejarah besar sang tokoh.

Perlu diingat, ibukota bukan merupakan konsepsi yang rigid. Perubahan atau perpindahannya adalah suatu kewajaran yang dapat terjadi kapan saja. Bahkan dalam tata hukum Indonesia, sumber norma pengaturan ibukota terletak pada undang-undang yang memungkinkan diubah oleh sekedar political will pemerintah dan DPR. Pada sisi lain penamaan ibu kota perlu dikonsepsikan dengan matang dan tidak secara serampangan.

Pemberian nama ibu kota menjadi Nusantara semula memang memiliki harapan yang besar akan kemegahan bangsa yang sudah beratus tahun lamanya ini, namun konteks serta sinkronisasi dengan makna asli nama Nusantara perlu dipahami oleh pembuat kebijakan. Apabila tetap menginginkan nama yang filosofis yang menggambarkan semangat persatuan bangsa, kata “Palapa” dari sumpah palapa lebih tepat dan filosofis daripada “Nusantara”.  Terakhir, apabila tidak memiliki opsi nama lain, maka tidak perlu ada nama baru. Penajam Paser Utara sudah cukup dan baik untuk nama IKN tercinta. ()