oleh: Muhammad Rafi Abdussalam
Internship Advokat Konstitusi
Dilansir dari data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, subsektor kuliner menyumbang Rp455,44 triliun atau sekitar 41 persen dari total PDB ekonomi kreatif sebesar 1.134,9 triliun pada tahun 2020. Data tersebut menunjukan bahwa bisnis usaha kuliner cukup digandrungi banyak orang. Kondisi pesatnya perkembangan pelaku usaha kuliner berbanding lurus dengan ketatnya persaingan pasar. Hal ini menjadi pemicu bagi beberapa oknum pelaku usaha kuliner untuk berbuat curang demi mendapatkan keuntungan.
Salah satu bentuk kecurangan yang sering ditemui dalam usaha kuliner adalah praktik Praktik kecurangan ini dijalankan dengan cara melambungkan harga produk tanpa disertai informasi harga produk yang jelas. Ketidaktahuan konsumen mengenai informasi harga tersebut menyebabkan penetapan harga menjadi kurang adil. Pelaku usaha harusnya menetapkan dan mencantumkan harga secara wajar agar tidak merugikan konsumen. Keterbatasan informasi konsumen inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk praktik-praktik yang menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, pencantuman harga pada daftar menu praktik usaha sangatlah penting.
Sebenarnya, kejelasan pencantuman harga pada daftar menu suatu praktik usaha berkaitan dengan pemenuhan hak konsumen itu sendiri. Sebagaimana diatur pada Pasal 4 Pasal 1 dan 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan hak konsumen adalah:
- hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Berkaitan dengan Pasal 4 Ayat 1 dan 2 tersebut, praktik “Ketok Harga” melanggar hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam mengkonsumsi produk. Oleh karena tidak adanya perjanjian harga diawal, praktik “Ketok Harga” jelas merenggut hak konsumen untuk memilih dan mendapatkan produk sesuai dengan nilai tukar yang dijanjikan. Selain itu, para pelaku usaha kuliner juga diwajibkan untuk berlaku jujur dalam melayani konsumen. Hal ini merupakan amanat dari Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha.
Di satu sisi, pada prakteknya juga terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi tidak tercantumnya harga pada daftar menu suatu usaha kuliner yaitu:
- Bahan-bahan yang dijual berbeda setiap harinya;
- Harga pasaran barang mentah yang tidak stabil;
- Lebih menguntungkan dan;
- Masyarakat sudah mengetahui harga dengan sendirinya.
Akan tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran bagi oknum pelaku usaha kuliner dalam melakukan praktik kecurangan “Ketok Harga”. Pelaku usaha dilarang untuk menawarkan suatu produk dengan tarif yang tidak sesuai. Hal ini diamanatkan langsung dalam Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa”.
Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen dengan tegas melarang pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, dan membuat pernyataan yang tidak benar mengenai harga atau tarif suatu produk. Amanat dalam pasal ini juga berkaitan dengan larangan perilaku oknum pelaku kecurangan “Ketok Harga” yang memberikan harga kepada konsumen dengan nilai yang tidak masuk akal. Dalam praktiknya, perilaku “Ketok Harga” jelas membuat pernyataan yang menyesatkan mengenai tarif suatu produk oleh karena informasi harga yang tidak pasti.
Oknum pelaku usaha kuliner yang terbukti melakukan praktik kecurangan “Ketok Harga” dapat dikenai sanksi pidana. Terkait dengan pemidanaan, oknum pelaku praktik kecurangan “Ketok Harga” dianggap telah melanggar Pasal 8 dan Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 1999. Ketentuan Pasal 62 Ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Pada kesimpulannya, UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen melarang keras praktik kecurangan “Ketok Harga” dalam usaha kuliner. Hal ini dikarenakan praktik kecurangan “Ketok Harga” dianggap sangat merugikan bagi konsumen. Oknum pelaku usaha kuliner yang terbukti melakukan praktik kecurangan “Ketok Harga” dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). ()