Oleh : Wahlulia Amri

Komisi Yudisial (KY) resmi menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan putusan pemilu. Sehingga, KY akan mulai melacak kasus tersebut. “Sore ini KY menerima rombongan koalisi untuk pemilu bersih dimana teman-teman koalisi menyampaikan laporan masyarakat atas kasus putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sedang kita hadapi bersama persoalan gugatan perdata,” kata Ketua KY Fajar Mukti pada hari Senin, 06/03/2023.

Mukti mengatakan KY akan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Namun, dia mengatakan KY tidak memiliki kewenangan untuk meninjau kembali keputusan tersebut. “KY tidak memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan putusan tersebut, maka KY akan terus mengawasi dan menangani jalannya persidangan, baik yang protes maupun kasasi, kami akan terus memantau kasus tersebut, karena kami yakin ini kasus yang cukup besar,” ujarnya. 

Sementara itu, Kepala Bidang Pengawasan dan Penyidikan Hakim KY, Joko Sasmitho mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai telah menggemparkan masyarakat. Dia mengatakan, dengan adanya laporan resmi, pihaknya bisa segera menangani dugaan pelanggaran kode etik tersebut. “Bahkan setelah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat benar-benar mengerikan, kami sebagai pengawas utama hakim investigasi, teman-teman bertanya kepada kami apakah hakim pernah diperiksa, KY justru menjawab langsung yang berarti tidak ada laporan dari pelapor, biasanya kami sudah menemukan ya, melalui tim investigasi, kami dengan cepat meluncurkan penyelidikan menyeluruh atas dugaan adanya KEPPH (Kode Etik dan Perilaku Hakim), tetapi alhamdulillah ada laporan resmi tentang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ” dia berkata.

Joko mengatakan, laporan tersebut akan melihat kondisi terlebih dahulu. Ia mengatakan, jika persyaratan dinyatakan lengkap, maka pihaknya akan memulai proses pemanggilan para terlapor.”Kalau ada pelapor resmi, tentu nanti mekanismenya akan kami cantumkan. Kalau memenuhi syarat, kami daftarkan. Setelah pendaftaran, kami akan review, juri dan stakeholder”, tandasnya. Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Jaga Kebersihan Pemilu melaporkan para hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial (KY). Laporan itu terkait dengan keputusan KPU yang meminta penundaan masa Pilkada 2024.

“Kami telah menyampaikan laporan kepada KY atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan penundaan pilkada karena sengketa melanggar hukum perdata. , yang menurut kami Saleh Alghiffari, anggota Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pemilu, di kantor KY di Jakarta Pusat, mengatakan pandangan tersebut melanggar kode etik dan kode etik. dan Mahkamah Agung (3 Juni 2023). Menurutnya, keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menunda pilkada melanggar kode etik hakim. Dia mengatakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabaikan konstitusi.

“Jika seseorang adalah hakim, maka juri mengacu pada pelaksanaan fungsinya berdasarkan pengetahuan yang mendalam, dimana dinilai bahwa dalam hal ini juri telah mengabaikan undang-undang konstitusi, mengabaikan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945. UU Tata Negara yang mewajibkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali luber jurdil,” ujarnya. Dia melanjutkan: “Petisi tentang masalah ini seharusnya dipertimbangkan oleh majelis hakim ini dalam keputusan sementara tentang yurisdiksi absolut, seharusnya tidak dikejar.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meminta KPU menunda tahapan pemilu telah menerima gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menghukum KPU karena menunda pemilihan. Gugatan perdata terhadap KPU diketahui Kamis (2/3/2023) diajukan oleh Partai Prima pada 8 Desember 2022 dengan nomor registrasi 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi kepengurusan partai politik sebagaimana tercantum dalam Ikhtisar Hasil Verifikasi Administrasi Calon Partai Politik. Pasalnya, akibat verifikasi KPU, Partai Prima dinyatakan gugur Tidak Memenuhi Standar (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi sebenarnya. Mengingat setelah diteliti dan dikaji oleh Pihak Prima, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan sebagai TMS juga telah dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU dan hanya ditemukan permasalahan minor. Partai Prima juga menyebut KPU gagal menjalankan akuntabilitas dalam melakukan verifikasi yang mengakibatkan keanggotaannya dinyatakan sebagai TMS di 22 provinsi. 

Akibat kesalahan dan ketidaktepatan KPU, Partai Prima mengaku mengalami kerugian immaterial yang menimpa anggotanya di seluruh Indonesia. Untuk itu, Partai Prima juga meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum KPU karena tidak melaksanakan tahapan sisa Pemilu 2024 “Menghukum terdakwa karena tidak menempuh sisa tahapan Pemilu tahun 2024 sejak putusan ini dikeluarkan dan karena telah menempuh tahapan Pemilu sejak awal kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari,” dinyatakan dalam putusan tersebut. ()