Oleh : Rizky Novian Hartono
(Internship Advokat Konstitusi)
Jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat adat telah secara faktual ada dan menempati berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan setelah lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, keberadaan masyarakat adat serta adat istiadat yang dipunyainya masih dapat dilihat dan ditemukan. Diskursus mengenai masyarakat adat beserta eksistensinya selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan, utamanya jika eksistensi yang diiringi dengan hak- hak yang dimiliki oleh masyarakat adat dihadapkan dengan kepentingan negara. Pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat adat sebagai tumpuan bagi kelangsungan hidupnya nyatanya belum dapat dilindungi secara optimal oleh pemerintah. Perbedaan kepentingan terhadap pengelolaan sumber daya alam antara masyarakat adat dengan pemerintah menjadi latar belakang banyaknya masyarakat adat menjadi terpinggirkan.
Orientasi masyarakat adat terhadap sumber daya alam, seperti hutan, sangatlah kompleks. Hutan dijadikan sebagai tempat tinggal, memenuhi kebutuhan hidup, hingga tempat untuk dapat terhubung dengan leluhur mereka. Sedangkan, pendekatan yang dilakukan oleh negara terhadap hutan ialah sebagai salah satu sumber pemasukan bagi negara dengan cara memberikan berbagai izin kepada korporasi untuk mengelola potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Meskipun begitu, pengelolaan yang telah didahului dengan adanya izin dari pemerintah terhadap korporasi berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengancam keanekaragaman hayati. Para peneliti menyatakan bahwa ketika keanekaragaman hayati terancam maka, akan mengancam keberlanjutan hubungan antara masyarakat adat dengan tanah air mereka yang sudah didiami sejak lama dan bersifat lintas generasi untuk mengumpulkan obat-obatan, berburu, memancing, dan kegiatan pertanian (Jeff dan Cheryl, 2012: 151).
Husen mengungkapkan bahwa hukum mempunyai dinamika yang dapat diketahui melalui penelusuran dan kebijakan yang terjadi pada masa lampau, guna membenahi masa kini dan memprediksikan yang akan terjadi kedepan (Husein, 2011: 80). Dari ungkapan tersebut, sejatinya perjuangan terhadap pengakuan masyarakat adat yang memiliki corak tersendiri dalam hukumnya yakni hukum adat sebagai sebuah hukum yang tidak tertulis telah berlangsung sejak zaman penjajahan di Hindia Belanda. Melalui perjuangan yang dilakukan Cornelis Van Vollenhoven yang sangat lantang menentang kebijakan yang menyamaratakan pemberlakuan hukum bagi masyarakat Hindia Belanda dengan masyarakat golongan Eropa melalui Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (burgerlijk van wetboek). Hingga pada akhirnya, Van Vollenhoven mengusulkan bahwa terhadap masyarakat asli Hindia Belanda diberlakukan hukum adat sebagai living law yang telah ada sebelum Belanda tiba bahkan sejak dulu kala. Maka tidak heran jika pada akhirnya Van Vollenhoven dijuluki sebagai Bapak Hukum Adat.
Setelah Indonesia merdeka perjuangan untuk mengakui eksistensi masyarakat adat telah terakomodir melalui konstitusi. Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi dasar bahwa masyarakat adat memiliki hak konstitusional untuk diakui dan dihormati hak- hak tradisionalnya. Lebih dari itu, pengaturan terhadap masyarakat adat juga diturunkan pada berbagai undang- undang sektoral layaknya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang), hingga Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah).
Namun, dalam pengimplementasiannya, perlindungan terhadap hak- hak masyarakat adat tidak dapat diberikan begitu saja oleh negara. Hal ini dapat dilihat dari bangunan pasal 18B ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Untuk dapat diakuinya suatu masyarakat adat, maka terdapat syarat- syarat kumulatif yang harus dipenuhi berdasarkan amanat pasal 18 ayat (2) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia yakni sepanjang masyarakat adat masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, serta diatur dalam undang- undang.
Jika menengok pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan, pengukuhan terhadap keberadaan suatu masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Jelas hal ini akan berdampak terhadap ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat sebab jika tidak terdapat peraturan daerah yang mengukuhkan keberadaannya maka dengan sendirinya masyarakat adat tidak akan mendapatkan hak- hak tradisionalnya. Meskipun secara de facto masyarakat adat eksis namun secara de jure tidak diakui sebab tidak adanya peraturan daerah yang mengatur suatu masyarakat adat tertentu. Padahal proses perumusan suatu aturan melalui peraturan daerah membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Pentingnya pengakuan konstitusionalitas masyarakat adat menurut Prof. Melantik tidak lain untuk menjamin perlindungan hak masyarakat adat terhadap hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang diperoleh secara turun temurun atau warisan dari leluhur, dan memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat adat dari tindakan diskriminasi dan kekerasan, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam melaksanakan haknya (2019:37).
Hak lain dari masyarakat adat yang diatur dalam undang- undang ialah mengenai hak ulayat melalui UUPA. Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat adat secara turun temurun. Namun, Pasal 3 undang- undang a quo kembali mempertegas bahwa hak ulayat masyarakat adat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Frasa persyaratan “sepanjang masih ada” kembali menjelaskan bahwa terlebih dahulu keberadaan masyarakat adat tersebut harus diakui dan diberikan pengakuan keberadaannya oleh hukum negara dan tentu tidak bertentangan dengan kepentingan politik hukum negara. Tidak hanya itu, hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat sesuai dengan ketentuan norma Pasal 5 UUPA dapat dimiliki sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Dengan kata lain, jika negara hendak mengeluarkan izin pemanfaatan terhadap suatu kawasan hutan yang di dalamnya terkandung hak ulayat maka hak tersebut tidak berlaku dan masyarakat adat harus menyerahkannya kepada negara.
Hal ini menjadi suatu temuan yang tercantum di dalam Naskah Akademis RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, bahwasanya dalam praktik penyelenggaraan pembangunan, rumusan frasa “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia” dimaknai bahwa kehadiran hak- hak masyarakat hukum adat sebagai pranata yang diakui sepanjang tidak bertentangan dengan semangat pembangunan, sehingga ada kesan pemerintah mengabaikan hak masyarakat hukum adat. Sementara secara faktual di masyarakat terjadi semangat menguatkan kembali hak- hak masyarakat hukum adat. Padahal menurut Van, hak ulayat di dalam hukum adat mempunyai salah satu ciri yaitu keabadian hak- hak komunitas. Artinya, masyarakat hukum adat tidak punya kewenangan mutlak untuk melepaskan hak- hak ini. Dengan kata lain, hak ulayat tidak mungkin dialihkan atau diperjualbelikan, karena hak ulayat adalah perekat hubungan dan penghidupan bagi komunitas (Sukirno, 2019, hlm. 92).
Masih hangat di benak kita di penghujung tahun 2020 lalu, lima orang masyarakat adat Laman Kinipan di provinsi Kalimantan Tengah mengalami kriminalisasi karena melakukan pembelaan diri untuk mempertahankan hutan adat mereka yang ditebang dan dikonversi menjadi perkebunan sawit. Di provinsi NTT pada tahun yang sama pula, masyarakat adat Pubabu- Besipae mengalami penggusuran hingga penganiayaan oleh aparat pemerintah yang hendak menanam lamtoro dan kelor di atas tanah masyarakat adat Pubabu- Besipae. Padahal Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi untuk mengembalikan tanah yang dipinjam oleh Dinas Peternakan setempat namun belum direalisasikan. Kriminalisasi yang sering dialami masyarakat adat akibat tuduhan bahwa mereka merampas lahan, memasuki hutan tanpa izin, memotong batang pohon di wilayah yang seharusnya menjadi tanah adat namun telah dibebani izin oleh pemerintah kepada korporasi. Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2020 sedikitnya telah terjadi dua ratus empat puluh satu konflik agraria akibat praktik perampasan tanah, yang juga melibatkan masyarakat adat.
Sejatinya, aturan yuridis untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat hukum adat telah disusun melalui RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang berkali- kali masuk daftar prolegnas namun, tidak kunjung diundangkan. Menurut Prof. Maria selaku pakar hukum agraria, pengakuan terhadap hak ulayat dan masyarakat adat merupakan hal yang wajar sebab masyarakat adat sejatinya telah eksis sebelum Indonesia terbentuk. Bahkan Laksanto Utomo selaku Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat mengungkapkan bahwa konflik yang menimpa masyarakat adat dikarenakan ketiadaan undang- undang yang melindungi masyarakat adat. Dengan ditundanya pengesahan dan pengundangan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat selama hampir dua dekade, maka selama itu pulalah amanat konstitusi untuk melindungi masyarakat hukum adat tidak terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
- Sukirno, 2019, “Rekonstruksi Regulasi untuk Akselerasi Penetapan Hutan Adat”, Jurnal Hukum Progresif Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Volume 7 Nomor 1, hlm. 81.
- Jeff Corntassel dan Cheryl Bryc, 2012, “Practicing Sustainable Self-Determination: Indigenous Approaches to Cultural Restoration and Revitalization”, Brown Journal of World Affairs, Volume XVIII, Issue II, hlm. 151.
- Husen Alting, 2011, “Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian terhadap Masyarakat Adat Ternate”, Jurnal Dinamika
()