Oleh : Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita
(Internship Advokat Konstitusi)
Mengawali Tahun 2021, Indonesia dihadiahi peluncuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) yang ke-25 untuk tahun pengukuran 2020. CPI 2020 bersumber pada 13 survei global dan penilaian ahli serta para pelaku usaha terkemuka untuk mengukur korupsi di sektor publik yang dilakukan di 180 negara dan teritori. Transparency International Indonesia (TII) merilis IPK Indonesia yang ramai diberitakan media dan dikomentari berbagai pemerhati konstitusi dan anti korupsi Indonesia dengan headline anjloknya IPK Indonesia. Hal ini dipicu oleh skor IPK Indonesia yang turun drastis yakni sebanyak 3 poin, dari 40 pada Tahun 2019 menjadi 37 di Tahun 2020. Penurunan skor ini berimbas pada menurunnya peringkat Indonesia ke Peringkat 102 dari 180 negara, sejajar dengan Gambia dan bahkan berada di bawah Timor Leste.
Tidak hanya Indonesia, peluncuran CPI meninggalkan catatan buruk hampir di seluruh negara. Hal ini tidak luput dari situasi dunia yang diliputi oleh pandemi COVID-19.Hampir seluruh negara menghadapi krisis ganda, yakni krisis kesehatan dan ekonomi secara bersamaan. TI juga menyatakan temuan bahwa korupsi yang merusak pelayanan publik sangat berpotensi terjadi sepanjang penanganan COVID-19. Negara dengan tingkat korupsi yang tinggi terbukti gagap menghadapi pandemi. Negara yang relatif bersih dari korupsi harus menghadapi resesi ekonomi dan pembatasan partisipasi publik dalam ruang demokrasi.
Beranjak dari uraian yang teknokratik terkait dengan IPK di atas, perlu dipahami bahwa hal ini tidak digunakan untuk menyalahkan pihak manapun, melainkan melakukan analisis reflektif terhadap anjloknya IPK Indonesia, untuk selanjutnya dapat menjadi titik balik koreksi, menatap negara demokrasi Indonesia yang berlandaskan hukum lebih baik ke depannya. Korupsi dalam pengertian ini, tidak hanya diartikan sebagai tindak pidana,namun sangat terkait dengan kekuasaan. Maka berangkat dari IPK yang sedang anjlok ini, kita dapat mengartikan bahwa ada warning terhadap mekanisme pelaksanaan kekuasaan dalam konsep constitutional democratic state di Indonesia.
Menakar Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Indeks sendiri adalah suatu indikator pengetahuan dalam bentuk metodologi bagi pemerintah. Tugasnya sendiri adalah untuk memetakan dan membuat kategori dari suatu fenomena sosial yang dipotret dan kemudian dibaca. Indeks juga memberikan arahan terhadap apa yang harus dilakukan kedepan dan apa yang mestinya dibuat dari indeks ini. (Sally, Kevin, Benedict: 2015). Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam Mahfud MD, menyatakan bahwa IPK ini hanyalah sebuah persepsi publik, bukan kenyataan di lapangan. Hal ini dipicu persepsi bahwa sudah terjadi pelemahan KPK dengan perubahan UU KPK. (IDNtimes.com, 30/01/2021). Pernyataan Menkopolhukam tersebut ada benarnya tetapi juga tidak bisa menghindari fakta bahwa IPK bukan hanya angka dari indeks yang berdiri sendiri. dia lahir dari setidaknya 13 sumber data, termasuk 9 survei global, yang kemudian dikonversi angkanya menjadi IPK. Sembilan angka survei inilah yang memengaruhi IPK Indonesia.
Sumber-sumber data inilah yang memperlihatkan problem di hampir semua sektor, baik itu sektor perizinan, bisnis, perpajakan, maupun sektor yang berkaitan dengan demokrasi serta kelembagaan politik dan sektor lainnya. (Zainal: 2021) Sumber-sumber data ini sejalan dengan bagaimana seharusnya kita menakar korupsi lebih dalam. Korupsi sangat terkait dengan situasi penegakan hukum, lembaga penegakan hukum, lembaga antikorupsi, pelaporan dan kritik, dan peran lembaga-lembaga politik dan parpol. Selain itu haruslah ada ruang-ruang pada kebebasan sipil dan kebebasan media.
Sebagai negara hukum, produk hukum akan sangat menentukan terbukanya atau tertutupnya peluang terjadinya korupsi. Sederhananya dapat ditarik satu alasan mengapa IPK Indonesia jeblok, jawabannya tentu korupsi tidak hanya terkait dengan pencegahan dan penindakan korupsi itu sendiri, melainkan juga terkait dengan elemen-elemen lain dalam negara hukum dan demokrasi, karena by definition, korupsi akan selalu terkait dengan kekuasaan. Sekali lagi, korupsi merupakan wujud yang sangat konkret dari penyalahgunaan kekuasaan.
Refleksi Negara Demokrasi Konstitusional Indonesia Pasca IPK 2020
Amendemen UUD 1945 berimplikasi terhadap intersection antara demokrasi dan
konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Hal ini secara jelas termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Kedaulatan rakyat di Indonesia secara konkret dilaksanakan secara langsung melalui pemilu untuk memilih perwakilan yang akan mengisi lembaga legislatif maupun eksekutif. Melalui sistem demokrasi inilah hakikat kedaulatan rakyat itu dijalankan. Para perwakilan rakyat yang terpilih, otomatis akan mendapatkan legitimasi kekuasaan baik dari rakyat maupun secara konstitusional. Legitimasi kekuasaan inilah yang mengaburkan pandangan terhadap makna dari demokrasi itu sendiri. Dengan dilaksanakannya pemilu sesuai dengan prosedur konstitusi dapat dikatakan bahwa demokrasi secara prosedural telah berlangsung. Namun sekali lagi perlu didalami apakah negara hukum dan demokrasi sudah berjalan secara substantif atau menjamin keadilan bagi masyarakat.
Potensi konkret bahayanya praktik demokrasi prosedural adalah saat bagaimana aktor politik formal justru membuat hukum yang bisa membungkam demokrasi itu sendiri. Contoh saja bagaimana permasalahan yang tak kunjung selesai dari Undang- Undang yang dilahirkan oleh DPR dan Pemerintah hingga kini. Belum lagi proses pembentukan Undang- Undang yang dinilai tidak melibatkan partisipasi publik dan transparansi dalam pembentukannya. Banyak pertanyaan besar bagaimana bisa DPR dan Pemerintah kompak mengesahkan UU
KPK, UU Minerba, hingga bagaimana bisa mereka kompak mengesahkan UU MK saat pandemi yang begitu banyak menimbulkan kritik dan pertanyaan publik.
Satu hal konkret lagi dari hal yang harus direfleksikan Indonesia pasca IPK 2020
adalah varietas of democracy (VD) yang ada di angka sangat rendah yaitu 26. VD menjadi
jangkar mengapa IPK Indonesia sangat rendah, lalu apa yang menyebabkan VD Indonesia
sangat kecil ? tentu seharusnya jawabannya sudah kita ketahui, setiap perwakilan partai yang
terpilih dalam pemilu legislatif maupun eksekutif sudah ‘mewakili’ partainya di KPK.
Bahkan para perwakilan yang mengatakan dirinya sebagai anak muda dan anak reformasi
juga banyak yang terjerat kasus korupsi. Belum lagi contoh konkret korupsi yang dilakukan
oleh Menteri yang dipercayai langsung oleh Presiden baru- baru ini seakan membuktikan
bahwa korupsi bantuan sosial Covid-19 yang menjadi salah satu prediksi temuan dari TI
benar- benar terjadi di Indonesia.
Pekerjaan Rumah Bangsa Indonesia Kedepan
Mengutip pendapat Christian Wulf, Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia seharusnya dapat menekan angka korupsi seminim mungkin. Sayangnya sebagai negara demokrasi yang berlandaskan hukum, Indonesia memiliki kenyataan yang menyimpang dan banyak menelurkan jenis korupsi politik. Alhasil IPK Indonesia anjlok di Tahun 2020. IPK mungkin saja hanyalah sebuah persepsi, namun apabila diberi perhatian khusus, indeks ini adalah warning yang mengingatkan kondisi korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Bangsa Indonesia tidak boleh abai akan hal ini, meskipun beberapa bulan terakhir ada kasus korupsi diungkap ke publik karena korupsi adalah wujud penyalahgunaan kekuasaan yang terus menjadi pekerjaan rumah untuk wajib diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
- Sally Engle Merry, Kevin E. Davis, Benedict Kingsbury (2015), The Quiet Power of
Indicators Measuring Governance, Corruption, and Rule of Law, Cambridge
University Press. - Zainal Arifin Mochtar (2021), Membaca Anjlok IPK Indonesia, mediaindonesia.com,
link:https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/381416/membaca-anjlok-ipk-indonesia
()