MELIHAT WACANA PEMINDAHAN IBUKOTA PROVINSI JAWA BARAT DALAM UU PEMDA DAN UU PENATAAN RUANG

Oleh: Rania Fitri Nur Rizka

Wacana pemindahan ibukota provinsi Jawa Barat kembali menguat. Menanggapi hal tersebut, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, menepis perpindahan ibukota. Sebagaimana diberitakan cnbc.com, Ridwan Kamil menyatakan bahwa yang dipindahkan bukan ibukotanya, melainkan pusat pemerintahanya. 

Kini kandidat ibukota provinsi Jawa Barat terletak di Walini, Tegaluar, dan Kertajati. secara administratif, Tegaluar berada di wilayah Kabupaten Bandung. Kertajati di Kabupaten Majalengka, serta  Walini Kabupaten Bandung Selatan.  Ridwan Kamil menjelaskan bahwa pusat pemerintahan akan berkumpul di tiga kawasan tersebut. 

Ibukota provinsi sendiri dapat dilihat memiliki fungsi yang sama dengan ibukota negara. Simpulan ini merujuk kepada  Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara, bahwa ibukota negara menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan pemerintah pusat, serta tempat kedudukan perwakilan negara asing dan perwakilan organisasi/lembaga internasional. Kesamaan antara ibukota negara dan provinsi terletak pada fungsi penyelenggaraan kegiatan pemerintah. Kesamaan ini dapat dikuatkan dengan adanya ketentuan mengenai domisili anggota (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) provinsi. Menurut Pasal 102 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda),  anggota DPRD Provinsi berdomisili di ibukota provinsi yang bersangkutan. DPRD Provinsi merupakan bagian dari pemerintahan daerah, yang kantornya berada di ibukota provinsi. 

Berdasarkan UU tersebut, pemindahan ibukota merupakan bagian dari penataan daerah yaitu pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari pembentukan daerah dan penyesuaian daerah. Penyesuaian daerah  meliputi perubahan batas wilayah daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibukota dan/atau perubahan nama ibukota. Dapat disimpulkan bahwa pemindahan ibukota provinsi merupakan bagian dari kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Rumah tangga yang hendak dibangun oleh pemerintah provinsi, melalui ibukota yang dinilai tepat, berkaitan dengan optimalisasi pelayanan publik. 

Pada dasarnya pemindahan ibukota provinsi berkaitan dengan kewenangan pemerintah provinsi. Dalam konsep negara kesatuan, kekuasaan yang berasal dari pemerintah pusat diserahkan sebagian kepada pemerintah daerah. Jimly Asshidiqqie  menyebut penyerahan kekuasaan tersebut sebagai legalized power yang dijadikan sebagai  kewenangan milik pemerintah daerah (Jimly, 2018: 222). Penyerahan kewenangan tersebut yang disebut sebagai desentralisasi. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatur bahwa pemerintah daerah provinsi serta pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan 

Pemindahan ibukota provinsi Jawa Barat  perlu dipertimbangkan dengan matang.  Menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 66/PUU-XI-2013, penentuan lokasi ibukota suatu wilayah harus didasarkan pada konsep yang jelas, kajian yang transparan dari aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya dengan memperharikan aspirasi masyarakat. Kesiapan dari sumber daya wilayah juga perlu diperhatikan. 

Pemindahan ibukota ini juga perlu memperhatikan prinsip dalam penataan ruang dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang) sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Menurut UU Tata Ruang, penyelenggaraan penataan ruang diperuntukan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Dalam konteks wacana ini, maka pemindahan ibukota perlu dipertimbangkan pula berdasarkan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Bandung, Walini, Tegaluar, dan Kertajati yang akan terdampak dan masyarakat Jawa Barat secara luas. Oleh karena itu, dasar pemindahan ibukota provinsi setidaknya dapat ditarik dua hal secara umum, yaitu optimalisasi pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 

Melalui pernyataan Gubernur Jawa Barat, kita dapat menangkap adanya keinginan untuk memindahkan pusat pemerintahan. Namun, pernyataan yang disampaikan Gubernur Jawa Barat justru menyatakan bahwa ibukota tetap berada di Bandung, walaupun pusat pemerintahan dipindahkan. Akan tetapi fungsi pusat pemerintahan melekat pada ibukota provinsi. 

Apabila demikian, status Kota Bandung sebagai ibukota provinsi sekiranya perlu dicabut. Saat ini dasar hukum Kota Bandung sebagai ibukota berdasarkan pada Undang-Undang No. 16 Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Dalam Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut undang-undang ini, Kota Bandung merupakan salah satu daerah kota besar dimana pemerintah daerah berkedudukan. 

Sementara ibukota Jawa Barat yang baru, berdasarkan pasal 31 jo. 54 UU Pemda, ditetapkan melalui peraturan pemerintah.  Namun perlu dikaji lebih lanjut, apakah pemindahan ibukota baru Jawa Barat akan ditetapkan terlebih dahulu melalui peraturan pemerintah atau langsung disahkan kedudukanya dalam UU yang mengatur mengenai provinsi Jawa Barat yang mencabut UU No. 16 Tahun 1960. Saat ini RUU Provinsi Jawa Barat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022. 

Menurut penulis, pemindahan ibukota provinsi Jawa Barat dapat dilakukan dengan penerbitan Peraturan Pemerintah terlebih dahulu sesuai UU Pemda. Ini dilakukan agar proses pemindahan ibukota berdasarkan pada peraturan pemerintah  yang diantaranya memuat mengenai pendanaan, dan tata cara pemindahan. Kurang lebih 25 kabupaten/kota menetapkan pemindahan ibukota kabupaten/kota melalui peraturan pemerintah. Contohnya, ibukota Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, melalui Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2016 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Pasuruan dari Wilayah Kota Pasuruan ke Wilayah Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Hal yang sama dapat dilakukan provinsi Jawa Barat, sehingga proses pemindahan ibukota provinsi dapat dilakukan dengan jelas. 

Diterbitkanya PP juga guna  mengantisipasi adanya norma yang tidak dapat dilaksanakan apabila langsung disahkan melalui UU Provinsi. Adanya stagnasi norma dalam ketentuan mengenai ibukota provinsi ini sempat disampaikan ahli yang diajukan pemohon dalam pengujian pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2022 tentang Kalimantan Selatan (perkara No. 59/PUU-XX/2022). Pasal 4 undang-undang tersebut menentukan ibukota provinsi Kalimantan Selatan adalah Kota Banjarbaru. 

Permohonan pengujian tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan tersebut bukan merupakan pemberian dasar hukum bagi Banjarbaru sebagai ibukota provinsi Kalimantan Selatan. Sehingga ketentuan tersebut bukan berkenaan dengan proses pemindahan ibukota baru. Menurut penulis, dengan demikian yang menjadi permasalahan dalam pemindahan ibukota provinsi Kalimantan selatan adalah prosesnya. Seharusnya proses pemindahan ibukota dilakukan seterbuka mungkin karena melibatkan hidup masyarakat. Alangkah lebih baik Jawa Barat tidak mengulangi fenomena yang demikian terjadi. 

Pada pokoknya aspirasi masyarakat dalam pemindahan ibukota, sebagaimana dikemukakan Mahkamah Konstitusi, menjadi penting.  Maka penyampaian narasi hanya pemindahan pusat kota saja  sementara ibukota provinsi tetap di Bandung perlu diragukan dan terkesan berupaya menenangkan pro-kontra yang ada, sehingga menutup ruang aspirasi publik. Seharusnya, proses pemindahan ibukota baru disampaikan secara transparan dan didasarkan pada kajian berbasis ilmu pengetahuan. Sehingga tujuan optimalisasi pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. ()