Pewarisan merupakan proses perpindahan harta dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Sehingga Bahwa dalam hukum waris yang berada di Indonesia masih berlaku pluralisme hukum yaitu hukum waris adat, barat dan islam. Sebagai bagian dari hukum perdata hukum waris juga dikenal memilki adanya pilihan hukum atau opsi hukum sehingga masyrakat bebas memilih hukum mana yang akan dianut untuk permasalahan waris. Namun asas kebebasan dalam bidang waris bagi yang beragama Islam dianulir dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Opsi hukum dalam perkara waris yang sebelum adanya Undang-Undang tersebut masih diperkenankan namun kemudian dihilangkan sehingga apabila terdapat sengketa waris antarorang yang beragama Islam maka perkara warisnya secara otomatis akan menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama. Berdasarkan Undang-Undang tersebut Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara akan menerapkan hukum waris Islam. Dengan demikian dalam saat ini asas personalitas ke-Islam-an dalam perkara waris adalah suatu yang mutlak. Hukum waris Islam diatur secara tegas dan gamblang melalui sumber hukum utama, yaitu Al-Qur’an dan hadist. Namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya pembagian atau cara, jumlah bagian, siapa yang berhak menerima waris sesuai dengan pandangan tradisi dan kearifan lokal di Indonesia.
Masuknya Islam ke Indonesia turut memberi pengaturan kepada masyarakat mengenai tata cara pewarisan menurut ajaran Islam. Pengaturan tersebut kemudian membudaya menjadi suatu kebiasaan masyarakat yang disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini merupakan bukti adanya suatu pembudayaan Islam sebagai suatu ajaran; tetap mempertahankan substansial syariat syariat sekaligus mengalami penyesuaian dengan keadaan masyarakat tersebut. Setelah Indonesia merdeka, seluruh ajaran dan implementasinya dalam masyarakat dirangkum dalam suatu Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pedoman secara sah bahwa hukum Islam dapat diberlakukan dalam suatu sistem hukum positif di Indonesia.
Hukum waris tidak hanya diatur dalam ketentuan hukum Islam, melainkan pula terdapat pengaturannya tersendiri berdasarkan hukum barat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) dan hukum adat. Perihal waris yang dibahas dari perspektif hukum Islam disebut pula hukum mawaris yang tergolong kedalam ilmu faraid. Menurut Syekh Zainuddin bin Abd Aziz, kata faraid merupakan bentuk majemuk dari faridah yang artinya difardukan (kepastian); sedangkan menurut syara dalam hubungannya disini adalah bagian yang ditentukan untuk ahli waris
Penerapan hukum waris Islam di Peradilan Agama dalam perkara antara orang yang beragama Islam dilaksanakan dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, yang selama ini berbeda satu sama lain karena dasar hukumnya berbeda. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan permohonan pertolongan dan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Oleh karena itu, penerapan hukum waris islam selalu memunculkan wacana baru yang berkelanjutan di kalangan pemikir hukum islam, sehingga dibutuhkan sebuah rumusan hukum dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif yang bertujuan agar dalam proses waris memiliki pandangan yang jelas serta arah yang jelas. Ajaran hukum waris Islam menuntut umat islam dalam menjadikan pedoman untuk berbuat hal-hal yang berkenaan dengan waris. Namun, apabila dikalangan umat islam terjadi kematian dan yang mati yang meninggalkan harta maka selayaknya umat islam harus merujuk kepada ajaran agama yang tertuang dalam faraid Bahwa dalam konteks umat islam di Indonesia, hukum waris sudah menjadi hukum positif yang digunakan oleh para aparatur penegak hukum di pengadilan agama untuk memutuskan suatu perkara pembagian harta warisan.
Keberadaan hukum waris di Indonesia didasarkan pada 3 hukum yang berlaku berbeda berdasarkan wilayah atau daerah, karakter, patrilineal bahkan agama yang dianut. Bahwa permasalahan waris Indonesia seringkali terjadi dan telah diatur diberbagai peraturan perundang undangan. Hukum waris di Indonesia mencakup hukum waris islam, bagi warga Indonesia yang mayoritasnya adalah bergama Islam tentunya terkaadang menggunkan waris islam yang berdasarpada al-Qur’an dan Hadist yang termaktub dalam KHI. Sedangkan pada masyarakat yang bukan beragama Islam pertauran permaslahan waris biasanya tunduk pada hukum adat atau hukum Perdata. Akan tetapi tidak sedikit juga yang beragama islam memakai hukum adat atau perdata.
Dapat diketahui jika kedudukan hukum Islam dalam Konstitusi dapat dilihat secara khusus dipahami dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan pasal tersebut dinyatakan bahwa Negara berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Kaidah fundamental ini dapat ditafsir diantaranya adalah dalam NKRI tidak boleh ada peraturan atau hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai agama bagi pemeluk agama yang berlaku di Indonesia. Para perumus KHI juga memperhatikan perkembangan yang berlaku dan memperhatikan pula tatanan hukum barat yang berevolusi dan berubah mengikuti zaman dan hukum adat yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum islam. KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak keIndonesiaan. ()