Memaknai Negara Kepulauan dan Nusantara dalam Konstitusi

Oleh: Fayasy Failaq

Perbincangan mengenai ketatanegaraan seringkali luput pada aspek-aspek yang cukup penting untuk diketahui. Yakni pemaknaan dari beberapa teks atau pasal dalam konstitusi yang jarang diungkap oleh para pakar Hukum Tata Negara. Dalam tulisan kali ini penulis hendak menampilkan pemaknaan dari salah satu pasal dalam konstitusi dengan beberapa pendekataan “pemaknaan”.

Salah satu pasal yang penulis maksud tersebut adalah pasal 25 UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” dalam pasal tersebut terdapat beberapa variabel yang penting untuk dimaknai yakni variabel “negara kepulauan” dan variabel “berciri Nusantara,” pemaknaan atas dua variabel tersebut agaknya jarang diangkat oleh penelitian aktivis Hukum Tata Negara sehingga akan sekilas penulis paparkan melalui tulisan kali ini.

Sebelum memaparkan lebih lanjut, metode pemaknaan yang akan penulis lakukan adalah dengan mengetahui beberapa aturan turunan dari pasal tersebut, serta memaknainya dengan interpretasi historis serta interpretasi gramatikal. Interpretasi historis sendiri adalah pemaknaan/penafsiran terhadap teks melalui pendekatan kesejarahan, hal ini dapat berarti menggali makna dalam teks melalui maksud pembentuk hukum atau makna historis yang sebenarnya.

Sementara, interpretasi gramatikal adalah interpretasi bahasa yang menekankan kedudukan bahasa dalam menelaah objek yang akan dimaknai. Interpretasi gramatikal disebut juga sebagai metode penafsiran objektif, yakni cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya (Sudikno: 1993).

Pemaparan aturan turunan pasal tersebut sendiri berguna untuk mengetahui aplikasi dan aktualisasi dari pasal tersebut. Aplikasinya dapat dilacak secara ius constitutum kepada aturan turunan (dalam hal ini undang-undang) yang berkonsideran atau setidaknya memiliki materi muatan terkait, sementara secara ius constituendum dilacak melalui rencana pembentukan aturan terkait.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nusantara berarti “sebutan (nama) bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.” Secara bahasa kata nusantara pertama kali disebutkan oleh Gajah Mada dalam sumpah palapa yang sepenggalnya berbunyi “Lamun huwus kalah Nusantara” yang diartikan sebagai nusa (pulau) dan antara (seberang atau lain) yang dimaksudkan kepada kepulauan di luar jawa yang hendak ditaklukkan oleh Majapahit melalui Gajah Mada. Istilah nusantara kemudian digunakan untuk menggantikan Nederlandsch Oost-Indie atau Hindia Belanda untuk menyebut wilayah Indonesia saat itu yang kembali dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Bangsa dan Wilayah Nusantara

Berdasarkan catatan dari Sri Wintala dan Achmad bahwasanya realisasi dari sumpah palapa Gajah Mada terwujud dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Yakni wilayah yang ditaklukkan adalah Melayu (Sumatra), Tanjungpura (Kalimantan), Semenanjung Melayu (Malaka), sebelah Timur Jawa dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Irian Barat, dan Jawa (kecuali Kerajaan Sunda Galuh dan Sunda Pakuan) (Achmad, Sri Wintala: 2016). Hal ini menunjukkan realisasi makna nusantara atau kepulauan di seberang yang dimaksud Gajah Mada adalah pada wilayah-wilayah tersebut.

Wilayah nusantara yang demikian kian menjadi senjata pemersatu bangsa menghadapi kolonialisme yang datang setelahnya. Bak satu bangsa yang pernah bersatu, kesatuan itu hendak diwujudkan dengan melawan bangsa-bangsa lain yang hendak menjajah. Hatta kemudian menyebut sejarah nusantara dengan ungkapan “suatu bangsa besar, yang sejarahnya gilang gemilang dimasa dahulu”. Melanjutkan, Hatta juga mengungkapkan “karena penjajahan Belanda yang lebih dari 300 tahun lamanya, kita lupa akan kebangsaan kita, sehingga kita lupa akan kebudayaan kita yang begitu masjhur dimasa yang jauh silam” (Hatta: 1953).

Dari catatan bangsa dan wilayah nusantara yang demikian, maka makna “berciri Nusantara” dalam Pasal 25 UUD 1945 bisa dimaknai secara ekstensif kepada wilayah yang saat ini berada di luar kedaulatan Indonesia yang pernah termasuk Nusantara. Wilayah-wilayah yang dapat dimaknai nusantara itu seperti sebagian Filipina, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Pada sisi lain perluasan makna tersebut juga meliputi daerah yang tidak termasuk Nusantara sebagaimana ungkapan Gajah Mada yang tetap tidak termasuk kekuasaan dari Majapahit seperti Sunda, sebagian Kalimantan, sebagian Sulawesi, dan sebagian Papua.

Konsepsi Negara Kepulauan

Sementara makna variabel “negara kepulauan” bermakna konsep negara kepulauan sebagaimana tersebut dalam United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985. Sebelumnnya konsep negara kepulauan Indonesia sudah diperjuangkan melalui Deklarasi Juanda secara unilateral kepada pihak internasional sebagai evaluasi dari Staatblad 1939 No. 442 pasal 1 ayat (1) yang sudah tidak cocok untuk diterapkan setelah Indonesia merdeka.

Makna lengkap dalam UNCLOS sebagaimana diratifikasi dalam UU No. 17 tahun 1985 adalah “Suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.” Kemudian makna dari gugusan kepulauan adalah “suatu gugusan pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian“.

Sampai disini pada dasarnya dua variabel yakni “negara kepulauan” dan “berciri Nusantara” dalam Pasal 25 UUD NRI 1945 menggambarkan tipikal dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara sendiri merupakan unsur yang sangat penting yang harus dimiliki oleh sebuah negara sebagaimana unsur konstitutif negara berdasarkan konvensi Montevideo tahun 1993 yakni: adanya penduduk yang tetap, adanya wilayah tertentu, adanya pemerintahan yang berdaulat, serta adanya kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain.

Secara aplikatif terdapat UU turunan daripada Pasal 25 UUD 1945 yakni adalah UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Dalam uu a quo dipaparkan secara lengkap terkait wilayah negara Indonesia yang meliputi satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Kemudian terdapat beberapa UU terkait batas negara seperti UU No. 4 tahun 2020 terkait batas laut wilayah Indonesia dan Singapura serta UU sejenis lainnya. Selain Undang-Undang yang sudah dibuat, terdapat beberapa UU yang direncanakan terkait wilayah negara maupun daerah kepulauan. Diantaranya adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan dan RUU Wawasan Nusantara yang diusulkan oleh DPD. ()