Membaca Kembali Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Covid-19

Oleh: Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita

(Internship Advokat Konstitusi)

Dalam Pidato Presiden Jokowi 31 Maret 2020, disampaikan dengan pertimbangan kultur negara kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi pilihan Indonesia untuk menangani COVID-19 di fase awal kemunculannya di Indonesia. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang merujuk pada UU Kekarantinaan Kesehatan. Pengertian PSBB dapat dilihat pada Pasal 1 angka 11 UU Kekarantinaan Kesehatan yaitu bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Mekanisme Penerapan PSBB

PSBB merupakan kebijakan konkret dan tegas dari Pemerintah Pusat untuk menghentikan ketidakpastian penanganan pandemi COVID-19 yang sempat terjadi di Indonesia. Kebijakan PSBB memberi ruang bagi daerah- daerah untuk melakukan tindakan lebih konkrit dari sekedar himbauan menjaga jarak (physical distancing) dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan ke pemerintah melalui Menteri Kesehatan. Daerah dapat melaksanakan kebijakan PSBB ini atas persetujuan Menteri Kesehatan, Nantinya apabila sudah disetujui, Pemerintah Daerah menjalankannya sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan (vide Pasal 5 PP 21/2020).

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar pada intinya memberikan kesempatan pada daerah untuk mengajukan PSBB dengan pertimbangan pada Pasal 2 ayat (2), pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Selain itu pelaksanaan PSBB harus memenuhi kriteria sebagaimana yang tercantum pada Pasal 3, yakni jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Ada dua mekanisme dalam pengajuan PSBB, pertama diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota kepada menteri kesehatan dengan mempertimbangkan ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 vide Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). Kedua melalui usulan dari Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 vide Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4). Hal ini jelas menunjukkan bahwa kebijakan PSBB bertumpu pada pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan. Kewenangan pemberian izin yang dimiliki pusat memberikan ruang tersendiri yang sangat besar bagi pemerintah untuk mengontrol daerah mana yang layak diberlakukan PSBB.

Mekanisme pengajuan PSBB berpola bottom to up (inisiasi dari daerah ke pusat), dengan mekanisme sentralistis (diterapkan atau tidaknya PSBB tergantung keputusan Pemerintah Pusat) dan tugas pembantuan sehingga kurang mengelaborasi lebih detail kewenangan pemerintah daerah dalam penanganan COVID-19. Hubungan pusat dan daerah seperti ini dikenal dengan the agency model (tugas pembantuan lebih besar).

Ada catatan kritis dari kebijakan PSBB yaitu tidak tercantumnya UU 23/2014 tentang Pemda dalam bagian landasan yuridis, sehingga dasar pijakan dari desentralisasi dan otonomi daerah dapat dikatakan tidak ada. Hal ini mungkin diakibatkan status kedaruratan kesehatan yang telah ditetapkan, yang mana PSBB pada akhirnya menjadi pure usulan pemerintah pusat. Sehingga, penanganan juga akan bersifat terpusat, daerah hanya bisa mengusulkan pengajuan PSBB.

Masalah Seputar Penerapan PSBB

Beberapa masalah pernah terjadi saat penerapan PSBB salah satunya adalah terkait dengan usul penghentian operasional Kereta Rel Listrik (KRL) dan Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) di wilayah Jabodetabek. Masalah ini timbul karena Jabodetabek telah menerapkan kebijakan PSBB. Pada faktanya, operasional KRL tetap berjalan meskipun lima kepala daerah telah mengajukan usulan kepada Kemenhub untuk menghentikan operasional KRL selama PSBB. Sayangnya usul tersebut ditolak oleh Kemenhub. Adapun Kemenhub melalui Permenhub No. 18 Tahun 2020 hanya melakukan pembatasan jumlah penumpang KRL dan menerapkan protokol kesehatan serta membatasi waktu operasional KRL (liputan6.com, 2020). Dalam masalah ini Gugus Tugas Penanganan COVID-19 tidak buka suara.

Masalah yang lain adalah beratnya pertimbangan/syarat pengajuan PSBB. Syarat ini memunculkan masalah seperti di Kabupaten Maros yang merupakan bagian dari kawasan epicentrum penyebaran COVID-19 di Sulawesi Selatan yang enggan menerapkan PSBB, padahal Presiden sudah menganjurkan kabupaten ini untuk menerapkan PSBB guna menekan angka penularan Covid-19 di Sulawesi Selatan. Dikarenakan masih padatnya kendaraan dari arah Makassar yang melewati Maros dan tidak siapnya daerah mengalokasikan anggaran untuk paket bantuan sosial sebagai bagian dari syarat PSBB, kebijakan ini tidak dijalankan oleh Kabupaten Maros (Beraninya Bupati Maros Hatta Rahman Tolak Anjuran Jokowi Untuk PSBB, Beda Makassar dan Gowa, tribun-timur.com, 28, 04, 2020). Meskipun secara formal PSBB tidak diberlakukan, praktik kebijakan yang diterapkan oleh Pemda Maros sejatinya tidak jauh berbeda dengan pengaturan di daerah yang menerapkan PSBB.

Selain itu di Provinsi Bali, khususnya Kota Denpasar justru menerapkan kebijakan yang bentuk dan implikasi pengaturannya dapat dikatakan sama dengan kebijakan PSBB namun disebut kebijakan non PSBB oleh Pemda karena tidak melalui mekanisme pengajuan dari daerah ke pusat (regional.kompas.com, 2020). Kebijakan ini mendapat kritik masyarakat karena dinilai mengingkari kebijakan PSBB yang diatur oleh pusat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada ketegasan PSBB dari Pemerintah Pusat sehingga kebijakan Pemda cenderung kebablasan.

Kesimpulan

Kebijakan PSBB merupakan kebijakan yang dinilai tepat oleh Pemerintah Indonesia untuk menghadapi pandemi COVID-19 di awal penyebarannya di Indonesia. Penerapan PSBB sendiri lebih bersifat bottom to up dan sentralisasi- tugas pembantuan karena keputusan mutlak berada ditangan Pemerintah Pusat melalui Menteri Kesehatan untuk menetapkan daerah yang dapat menerapkan kebijakan PSBB, meski demikian, pemerintah daerah tetap diberikan kewenangan inisiasi pengajuan penerapan PSBB. Kebijakan ini dinilai belum mampu mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam menangani pandemi COVID-19. Tidak dicantumkannya UU Pemda sebagai salah satu landasan yuridis pelaksanaan PP PSBB ini juga membuktikan bahwa mekanisme penanganan pandemi COVID-19 bersifat terpusat. Dalam kebijakan PSBB terdapat beberapa masalah seperti tidak optimalnya pelaksanaannya dan juga tidak diikutinya kebijakan PSBB oleh beberapa daerah karena persyaratan yang sulit dipenuhi oleh Pemda sehingga akhirnya muncul kebijakan yang hampir sama dengan PSBB namun tidak menggunakan mekanisme penerapan PSBB yang sebenarnya menjadi kebijakan nasional yang harus dipertimbangkan dan dijadikan rujukan oleh Pemda. ()