Haikal Fikri
(Internship Advokat Konstitusi)
Awal 2021, Netizen Indonesia dibuat geram dengan adanya suatu survei oleh perusahaan multinasional asal Amerika Serikat (Microsoft) yang berjudul ‘Digital Civility Index (DCI)’. Survei tersebut menobatkan Indonesia sebagai Negara yang memiliki tingkat kesopanan dan keberadaban terendah se-Asia Tenggara. Penilaian yang dilakukan oleh Microsoft terbilang sangat hati-hati dan teliti dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan persepsi netizen terhadap resiko yang ada di dunia digital. Misalnya saja hoax, ujaran kebencian, diskriminasi, misogini, cyberbullying, tindakan yang ditujukan untuk memancing kemarahan, pelecehan terhadap kelompok minoritas atau marginal, pornografi, teror, hingga rekrutmen kegiatan radikal.
“Jari-jari tajam” netizen indonesia memang tidak pandang bulu lagi ketika menyerbu atau menyerang suatu hal. Misalnya kedua kasus ini yang dapat menggambarkan perilaku oknum-oknum netizen indonesia yang acapkali sadis dan brutal:
Insiden All England 2021 yang mendepak Delegasi Tim Nasional Bulutangkis dikarenakan satu pesawat dengan pasien positif Covid-19.
Sebenarnya, sah-sah saja apabila kita ingin menyampaikan keluh kesah terhadap adanya ketidakadilan yang diterima. Terlebih pihak yang dirugikan adalah pahlawan-pahlawan modern bangsa dalam bidang olahraga. Akan tetapi keluh kesah tersebut seharusnya disampaikan dengan beretika sehingga dapat dibicarakan dengan baik-baik dan menemukan solusi yang terbaik bagi masing-masing pihak. Ironisnya, pada kasus ini seorang oknum justru melakukan tindakan yang berbanding terbalik dengan norma yang ada. Oknum tersebut mengancam untuk membunuh para petinggi Federasi Bulu Tangkis Dunia dan mengirimkan teroris ke negaranya agar mengucapkan permintaan maaf atas insiden yang terjadi.
Hujatan “Perebut Laki-laki Orang” kepada Han so Hee (Artis Korea Selatan) dalam drama terbaru The World of The Married.
Berperan sebagai tokoh antagonis dalam suatu film mengharuskan seseorang untuk memiliki sifat yang menjengkelkan agar dapat menciptakan konflik perseteruan yang seru bagi penonton. Akan tetapi bukannya mendapatkan pujian atas aktingnya yang sangat menjiwai, Han So Hee justru mendapatkan hujatan “Pelakor” dan kata-kata kasar lainnya.
Dari uraian di atas dapat terlihat bahwasannya, Netizen indonesia masih sangat mudah terpancing provokasi untuk bersatu dalam hal menyerang dan memojokkan suatu pihak. Masih banyak fakta-fakta lainnya yang mengiris hati, misalnya Patrich Wanggai, seorang pesepakbola yang mendapatkan ucapan-ucapan rasisme seusai mencetak gol ke gawang Persija Jakarta pada Selasa (23/3) kemarin. Lalu ada kasus Goddamn Chess vs Pak Dadang di Chess.com yang masing-masing pihak mendapatkan serangan virtual yang tidak beralasan.
Menurut Ismail Fahmi, founder Drone Emprit and Media Kernels Indonesia dan sekaligus pakar media sosial, penyebab mudahnya perilaku netizen indonesia untuk melakukan perilaku negatif di dunia maya adalah di media sosial seseorang lebih mudah untuk memunculkan reaksi atas rasa ketidaksetujuan atau ketidaksukaan atas sesuatu hal, netizen juga lebih bebas menyampaikan perasaan yang mungkin saja tidak bisa tersampaikan ketika bertatap muka secara langsung. Walau begitu, sebenarnya Netizen telah memiliki kesadaran bahwa dibalik ponsel dan akun masih terdapat pertanggungjawaban Natuurlijke Person (manusia alamiah) yang akan dijerat pasal-pasal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Misalnya saja pada Pasal 28 ayat (1) dan (2), yang berbunyi Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Akan tetapi, Netizen belum memahami betul bahwa apakah warga negara asing atau badan hukum asing dapat melaporkan perilaku-perilakunya terhadap pihak yang berwajib. Sehingga Netizen merasa tidak ada beban tanggungjawab, baik moral maupun material ketika melontarkan kata-kata kasar terhadap warga negara asing. Padahal pada Pasal 1 angka 21 Undang-Undang ITE, Warga negara asing maupun badan hukum juga termasuk dalam kualifikasi orang. Artinya WNA dan Badan Hukum Asing dapat melaporkan Tindakan-tindakan Netizen untuk melanjutkan proses perkara dan memungkinkan untuk dilakukan penahanan.
Sebagai Langkah konkret untuk menangkal permasalahan ini, sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah merancang pembentukan suatu Tim “Komite Etika Berinternet”. Tim tersebut bertugas untuk merumuskan panduan praktis terkait budaya serta etika berinternet dan bermedia sosial. Nantinya Komite Etika Berinternet ini beranggotakan berbagai pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai macam unsur, seperti Kemenkominfo, kementerian dan Lembaga terkait, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta pemangku kepentingan lain yang terkait. Pembentukan tim Komite Etika Berinternet tentu saja untuk mengedukasi para netizen dalam menggunakan sosial media secara bijak.
Di lain sisi, Menurut Chairman Lembaga Riset Siber Indonesia Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha yang mengatakan bahwa pembentukan tim Komite Etika Berinternet bukanlah jalan keluar terbaik untuk memperbaiki perilaku netizen indonesia. Pembentukan tim tersebut dinilai akan berjalan dengan tidak optimal, mengingat masih adanya pandangan skeptis terhadap pengimplmentasian hukum positif yang dalam hal ini adalah UU ITE. UU ITE dipandang bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat yang diatur pada Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia karena adanya sarana pemidanaan bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan dalam bersosial media. Padahal terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat memang diperlukan pendekatan hukum dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan pemidanaan sebagai obat terakhir atau Ultimum Remidium.
Oleh karenanya haruslah ada suatu penanggulangan dan pengarahan secara komprehensif untuk memperbaiki dan membenahi perilaku netizen dengan memasukkan suatu kurikulum perilaku berinternet atau menggunakan sosial media yang sehat ke dalam jenjang pendidikan, sehingga nantinya masyarakat dapat teredukasi terkait resiko-resiko pada saat berinternet, selain itu masyarakat juga dapat diarahkan untuk produktif, aktif dan positif selama berada di dunia maya. Maka dari itu, harus diingat kata pepatah bahwa, “mulutmu Harimaumu”. Walau di media sosial terkadang tidak memakai mulut, tapi jari-jarimu juga dapat menjadi malapetaka untuk dirimu sendiri.
Memang benar, sebagai warga negara, kita berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, akan tetapi juga memiliki kewajiban untuk menghargai dan menghormati hak dan/atau kepentingan orang lain. ()