Oleh : Trian Marfiansyah
(Internship Advokat Konstitusi)
Selaku negara berdaulat dan demokratis, sudah menjadi hal penting bagi Indonesia untuk memiliki sistem hukum yang terus berkembang dan inklusif bagi warga negaranya. Sehingga, memberlakukan civil law khas Eropa Kontinental menjadi solusi tepat bagi Indonesia. Namun, dalam prosesnya masih menuai berbagai hambatan. Mengingat semakin beragamnya permasalahan hukum yang timbul, tidak memungkinkan Indonesia untuk mengakomodir hal tersebut dengan hukum lawas era penjajahan. Maka, bukanlah hal yang asing bagi Indonesia untuk merancang hukum yang menyesuaikan zaman.
Perkembangan hukum positif di Indonesia tidak lepas dari pengaruh berbagai kodifikasi hukum yang ada, salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP sudah berdiri sebagai satu kesatuan milik produk asli bangsa Indonesia sejak 1981. Tujuan diadakannya melainkan untuk mempertahankan dan menegakkan hukum pidana materiil. Dan mencari kebenaran materiil itu dalam prosesnya. Hakim selaku orang yang paling tahu hukum, memiliki kewenangan penuh untuk mencari kebenaran tersebut dan memberikan putusan yang seadil-adilnya. Diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Mekanisme tersebut disebut dengan pembuktian.
Sebagaimana tertera dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa pembuktian sendiri dapat berasal dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat tertulis, petunjuk, dan keterangan terdakwa untuk membantu proses persidangan berlangsung. Namun, tidak sedikit kasus yang diadili mengalami kekaburan atau kebuntuan karena minimnya alat pembuktian yang tersedia. Sehingga, dalam perkembangan pembuktian, dihadirkannya sebuah terobosan dengan sebutan Amicus Curiae.
Amicus Curiae adalah istilah latin yang berarti “Friends of The Court” atau dikenal dengan sebutan “Sahabat Pengadilan”. Amicus Curiae adalah pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara dengan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Ia hanya sebatas memberikan pendapat dan bukan perlawanan layaknya derden verzet. Praktik Amicus Curiae sendiri sudah lazim digunakan di negara berbasis common law dan bukan negara civil law seperti Indonesia. Namun, belum adanya peraturan manapun yang mengatur secara khusus terkait ini. Jika secara konsep, praktik ini dapat ditemukan di Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 14 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 dinyatakan bahwa pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung yakni “Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya” dan “pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud”. Dengan demikian, konsep Amicus Curiae juga digunakan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan, bukanlah hal asing untuk menerapkan konsep common law ke dalam sistem hukum Indonesia. Contoh seperti asas praduga tak bersalah dan Omnibus Law telah menjadi segelintir bukti penerapan modifikasi sistem hukum Indonesia.
Kembali lagi, konsep Amicus Curiae hanya disampaikan oleh orang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksinya. Meskipun bukan berasal dari pihak yang terlibat, selama ia memiliki kapasitas yang mumpuni sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maka orang tersebut tergolong sah selaku Amicus Curiae. Negara-negara maupun pengadilan internasional umumnya mengakomodir konsep ini untuk kasus-kasus berkaitan dengan pelanggaran HAM. Konsep ini juga diperlukan untuk kasus proses banding, isu-isu kepentingan sosial serta kebebasan sipil yang sedang diperdebatkan sehingga menimbulkan preseden tersendiri bagi hak masyarakat luas. Sementara untuk Indonesia, Amicus Curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Baru tercatat beberapa proses peradilan yang sudah menerapkan konsep Amicus Curiae seperti Kasus Putri Prita Mulyasari akan insiden Pencemaran Nama Baik UU ITE, Pengujian UU Perkawinan terhadap UUD 1945 oleh Muktino, Eks-Gubernur Basuki. T. Purnama dengan tuduhan Penodaan Agama, dan sebagainya.
Apabila merujuk pada pasal 180 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa “dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”. Hal ini secara tidak langsung juga menjustifikasi adanya konsep Amicus Curiae dalam sistem peradilan Indonesia. Amicus Curiae tidak diatur secara jelas dalam KUHAP karena sifat kesaksiannya yang tidak secara langsung berada di kejadian perkara. Namun, bukan berarti Amicus Curiae tergolong hearsay evidence atau desas desus antar saksi. Makna saksi sudah diperluas di Putusan MK 65/PUU-VIII/2010 bahwa siapapun dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, lihat, dan alami sendiri. Putusan ini dihadirkan mengingat banyaknya kasus pemerkosaan, perzinahan, dan sejenisnya yang hanya terpaku pada keterangan korban. Sehingga, memerlukan pihak tambahan untuk menguatkan sebuah pembuktian.
Perlu diperhatikan lagi bahwa konsep Amicus Curiae selaku intervensi dapat diterapkan namun memerlukan prinsip landasan humanis yang kuat kepada pelakunya. Konsep ini dapat menjadi penyeimbang posisi para pihak (equality of arms) termasuk kepentingan publik dan mendorong kualitas putusan pengadilan terutama dukungan informasi empiris. Disaat keterangan Amicus Curiae dapat diterima, sosok hakim harus tetap imparsial dan bersifat independen dalam membuat putusannya. Hal ini dikhawatirkan siapapun dapat melibatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk mempengaruhi pertimbangan hakim mengingat belum adanya standar khusus terkait kriteria subjek Amicus Curiae. Maka, sudah lazimnya kepentingan yang diganyang subjek Amicus Curiae harus mewakili kepentingan publik dan bersubstansi yang relevan akan pokok perkara.
Oleh karena itu, hemat penulis Amicus Curiae dapat dijadikan sebagai bentuk partisipasi masyarakat sebagai pengawasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang sedang berlangsung. Hal tersebut menyesuaikan dengan prinsip Rechtsstaat yang bersifat demokratis dan akuntabel. Sehingga, sudah sepatutnya dipertimbangkan bagi perancang peraturan perundang-undangan untuk membuat regulasi khusus bagi Amicus Curiae sebagai salah satu alat pembuktian. Dan juga disertai kajian dan riset yang mendalam agar dapat menyesuaikan konsepsi pembentukan peraturan perundang-undangan. Idealnya, Amicus Curiae digunakan sebagai bukanlah keterangan saksi ataupun keterangan ahli tetapi sebagai bentuk hak ekspresi masyarakat berpendapat atas hukum. ()