Oleh: Josua Satria Collins
(Internship Advokat Konstitusi)
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara judicial review memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan pada sidang pleno. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya asas presumption of constitutionality dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengenai keberlakuan undang-undang sampai adanya putusan yang menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa putusan MK berlaku ke depan atau non-retroaktif.
Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan retroaktif adalah “extending in scope or effect to matters that have occured in the past.” Di Indonesia, istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’. Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yaitu, “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Selain itu, asas non-retroaktif ini juga telah disebutkan dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, yakni, “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Penerapan hukum secara surut secara prinsip adalah dilarang karena dapat mengakibatkan kekacauan dapat berakibat terjadinya kekacauan hukum serta ketidakpastian hukum. Penerapan hukum formil secara surut ternyata dapat mengakibatkan kekacauan administration of justice yang sangat pelik. Oleh karena itu, pada prinsipnya semua peraturan ataupun penerapan hukum harus bersifat prospektif.
Meski begitu diantara ribuan perkara yang sudah diputus MK, terdapat juga putusan yang memiliki sifat retroaktif. Sebagai contoh, dalam Putusan judicial review MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, MK memberlakukan putusan tersebut ke belakang (retroaktif). MK beralasan bahwa jika putusan tersebut diberlakukan secara prospektif maka akan gagal mencapai perlindungan konstitusional warga negara.
Dalam perkara tersebut, Mahkamah mengakui larangan mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif memang diberlakukan secara umum. Namun dalam pengujian UU, mahkamah menilai mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif merupakan diskresi para hakim. Bila putusan hanya bersifat prospektif, Mahkamah khawatir tujuan perlindungan konstitusi akan tercapai.
Ketua MK pada saat itu, Mahfud MD mengatakan bahwa retroaktif dan prospektif adalah istilah akademis yang perdebatan teorinya bisa panjang, meski jawabannya bisa sederhana. Ia menegaskan bila putusan MK tidak bersifat retroaktif, maka vonis Mahkamah tidak ada gunanya. Pasalnya, kerugian para pemohon tidak dipulihkan bila putusan berlaku prospektif.
Putusan yang bersifat retroaktif ini jumlahnya sangat sedikit karena untuk menghasilkan Putusan ini, hakim konstitusi harus bermunajat dan mempertimbangkan-nya dengan sangat cermat dan penuh kehati-hatian. Sebab, akibat hukum putusannya tidak hanya mengikat Pemohon dan addressat putusan saja, melainkan juga mengikat seluruh warga negara. Ditambah lagi, putusan retroaktif ini secara teoritis berpotensi menciptakan disharmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dikarenakan putusan judicial review MK yang berlaku surut berakibat pada batalnya semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan pada ketentuan yang dibatalkan tersebut.
Menariknya, MK Indonesia bukanlah satu-satunya yang pernah mengeluarkan putusan pengujian undang-undang yang bersifat retroaktif. MK Federal Jerman dan MA Amerika Serikat sebagai salah satu ‘sesepuhnya’ MK dunia karena kerap menjadi rujukan, pernah juga mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif. Demikian juga dengan MK Portugal, MK Spanyol, MK Italia, MA Federal Brazil, hingga MK Afrika Selatan meskipun diberlakukan untuk kasus yang sangat terbatas.
Pada akhirnya, meskipun secara teoritis dan yuridis putusan retroaktif sebenarnya dilarang, namun bukan berarti MK tidak mempraktekkannya. Ada pengecualian-pengecualian terhadap larangan retroaktif ini yakni karena alasan perlindungan HAM, alasan keadilan substantif, dan alasan diskresi dari hakim. Selain itu, Hakim juga harus memperhitungkan dan menggali pertanyaan pada hati nuraninya apakah dengan penerapan secara kaku larangan retroaktif justru akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
()