Mengurangi Potensi Pelanggaran UU ITE Melalui Virtual Police

Oleh: Salsabila Rahma Az Zahro

(Internship Advokat Konstitusi)

Perkembangan penggunaan teknologi saat ini semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan survei rutin Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Hingga tahun 2018, pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta orang. Tingginya penggunaan internet ini menyebutkan bahwa banyaknya potensi pengguna media sosial. Berdasarkan data Hootsuite (We are social) tahun 2019, di Indonesia terdapat 150 juta pengguna media sosial yang aktif. 

Kehadiran media sosial ini dapat memudahkan seseorang untuk mengakses apapun, mendapatkan informasi dan memudahkan berinteraksi satu sama lain di media sosial tanpa harus bertemu langsung. Di era pandemi seperti ini, banyak orang yang menggunakan media sosial untuk menemani kegiatannya di rumah. Namun, dari banyaknya pengguna media sosial ini muncul permasalahan akibat penyalahgunaan teknologi informasi. Selain itu, pengguna internet dapat melakukan berbagai tindak kejahatan di dunia maya yang membuat angka kejahatan online atau cybercrime menjadi permasalahan di Indonesia. 

Menurut Widodo, cybercrime merupakan setiap aktivitas seseorang, sekelompok orang, dan badan hukum yang menggunakan komputer sebagai sarana melakukan kejahatan. Contoh kasus cybercrime adalah munculnya informasi palsu pada media sosial facebook dan pencurian data data pribadi di media sosial. Selain itu, terdapat kasus ujaran kebencian dengan bahasa yang kasar terhadap orang lain yang diposting di media sosial.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), memiliki suatu aturan yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, dan dapat merugikan kepentingan Indonesia. Namun, sejak diberlakukan UU ini, banyak masyarakat yang dijerat pasal-pasal di UU ITE dan ruang kebebasan berekspresi masyarakat di internet menjadi salah gunakan. Menurut Treviliana Eka Putri, Manager Riset Center For Digital Society (CFDS), menegaskan bahwa spirit UU ITE yang seharusnya menciptakan rasa aman bagi semua orang di media sosial, kini nyatanya banyak memakan korban. Pelapor punya kekuatan sedangkan terlapor yang tidak punya kekuatan seperti orang awam juga aktivis. Oleh karena itu, dari penjelasan terkait kasus cybercrime yang terjadi yang berpotensi melanggar aturan UU ITE, Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menciptakan sebuah program baru yang berjudul Virtual Police

19 Februari 2021 lalu, Kapolri Jenderal Polri, Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., menerbitkan Surat Edaran bernomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Dalam surat edaran tersebut, Kapolri mempertimbangkan perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital. Dalam rangka untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat maka Kapolri mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat mencegah adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif. 

Berdasarkan informasi virtual police yang disebarkan di akun Instagram Siber Polri (@ccicpolri), menjelaskan bahwa terdapat beberapa langkah virtual police dalam menangani perkara UU ITE, yaitu meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE terkait laporan atau temuan konten terduga melanggar UU ITE. Setelah meminta pendapat, virtual police akan memberikan pesan peringatan kepada pemilik akun bahwa konten yang diunggah memuat unsur pelanggaran terhadap UU ITE. Kemudian, virtual police memberikan pesan peringatan kedua setelah 1×24 jam, jika pemilik akun tidak merespons pesan peringatan pertama oleh Tim Patroli Siber, selanjutnya melakukan pemanggilan klarifikasi berupa undangan secara tertutup dan diminta klarifikasi oleh Tim Siber. Langkah terakhir, virtual police akan melakukan penindakan berdasarkan restorative justice, upaya mediasi diutamakan demi terciptanya ruang siber yang bersih, sehat beretika, produktif, dan beragam.

Kegiatan virtual police merupakan salah satu bentuk pencegahan dan sesuai dengan dasar hukumnya di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, bahwa Polri berwenang melaksanakan kewenangan lain dalam lingkup tugas kepolisian. Kemudian, pada Pasal 19 menjelaskan pelaksanaan tugas dan wewenang Polri mengutamakan tindakan pencegahan. Hal ini merupakan dasar aktualisasi virtual police yang berarti polisi tidak akan mengganggu kebebasan ekspresi masyarakat melalui ruang digital. Virtual police merupakan langkah polisi melakukan peringatan virtual sebagai pencegahan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.

Menurut pendapat pengamat keamanan siber, Teguh Aprianto, mengatakan bahwa virtual police yang diluncurkan oleh Kapolri akan membuat masyarakat takut untuk mengeluarkan pendapat di media sosial. Ia menilai bahwa cara pihak kepolisian dalam memberikan teguran kepada pengguna media sosial melalui direct message telah dinilai tidak tepat karena bukan tugas pihak kepolisian dan cara kepolisian dalam menentukan sebuah postingan hanya berdasarkan pandangan kepolisian saja. Ia mengatakan, seharusnya untuk menyimpulkan suatu postingan yang mengandung unsur hoaks maupun ujaran kebencian, perlu melewati proses hukum yang sesuai dengan konstitusional. Lalu, kemudian akan ditindak oleh Kepolisian untuk diproses secara hukum. 

Menurut Brigadir Jenderal Slamet Uliandi, tim virtual police sudah resmi beroperasi dengan melakukan patroli siber di media sosial. Jika tim menemukan konten yang terindikasi melakukan pelanggaran, maka tim akan mengirimkan peringatan lewat direct message ke pemilik akun. Sebelum diberikan peringatan, tim akan melakukan kajian terhadap konten bersama dengan sejumlah ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE guna menekan subjektivitas polisi dalam menilai suatu konten yang tersebar di internet. 

Oleh karena itu, kegiatan virtual police ini bermanfaat untuk menyampaikan pemberitahuan sekaligus informasi bahwa apa yang telah ditulis masyarakat berpotensi melanggar pidana. Lalu, dengan adanya tindakan virtual police akan memberikan edukasi kepada warga internet agar dapat bemedia sosial dengan bijak dan tidak melanggar UU ITE. Jika kegiatan ini digagas lebih untuk membuka kebebasan berekspresi masyarakat di media sosial dan dipantau oleh para ahli maka dapat menciptakan ruang siber yang bersih, sehat beretika, produktif, dan beragam.

 

Sumber :

Korlantas Polri. 23 Februari 2021. Kapolri Terbitkan Surat Edaran Terkait Pedoman Penanganan Laporan UU ITE. Diakses pada 18 Maret 2021  

Yuni Fitriani. 2020. Analisa Penyalahgunaan Media Sosial untuk Penyebaran Cybercrime di Dunia Maya atau Cyberspace. Jurnal Cakrawala. Volume 20 No.1 Maret 2020

CNN Indoensia. 25 Februari 2021. Pakar: Virtual Police di Medsos, Warga Kian Takut Berpendapat. Diakses pada 19 Maret 2021 ()