Oleh : Azeem Marhendra
(Internship Advokat Konstitusi)
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai siapa saja yang dapat memiliki legal standing sebagai pemohon. Mereka adalah warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat adat, badan hukum publik dan/atau privat, hingga lembaga negara. Selain itu, ada yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur bahwa seseorang benar-benar memiliki legal standing melalui Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, yakni mengatur secara umum bahwa pemohon harus memiliki hak yang dijamin dalam konstitusi, undang-undang yang diujikan melanggar hak konstitusionalnya, dan jika undang-undang itu dibatalkan maka haknya akan pulih.
Kendati telah diatur sedemikian rupa, persyaratan tersebut justru malah menjegal beberapa perkara yang sebetulnya berpengaruh bagi hak konstitusional yang dimiliki publik secara luas. Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut, banyak perkara gagal dikabulkan hanya karena pemohon tidak dirugikan langsung oleh undang-undang yang diujikan. Contoh terkini yang baru selesai ditangani oleh MK adalah permohonan pengujian ketentuan “presidential threshold” pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang diajukan oleh Rizal Ramli.
Permohonan terhadap ketentuan tersebut tidak dapat diterima akibat pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional secara langsung oleh berlakunya ketentuan pada UU Pemilu itu. Padahal, ketentuan presidential threshold dirasa menjadi penghambat banyak warga negara untuk menggunakan hak konstitusionalnya dalam rangka berpartisipasi dalam pemerintahan. Timbul sebuah pertanyaan besar yang perlu dijawab: perlukah MK mengadopsi “standing in public interest matter”?
“Standing in public interest matter” ini memiliki asal dari prinsip actio popularis yang dimiliki oleh Bangsa Romawi dahulu. Actio popularis sendiri adalah pengajuan gugatan oleh sekelompok masyarakat dan perkara tersebut menyangkut kepentingan umum (Sutiyoso, 2002). Maksud dari kepentingan umum tersebut adalah kelompok yang mengajukan gugatan tidak harus mengalami kerugian langsung. Namun, cukup dengan menunjukkan bahwa perkaranya menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Indonesia sebenarnya sudah menerapkan perkara yang diajukan secara kolektif hanya saja dengan metode yang sedikit berbeda, dinamakan class action dan legal standing (berbeda dengan perkara legal standing dalam pengujian konstitusional) pada perkara-perkara perdata dan lingkungan.
Perbedaan antara standing in public interest matter dan class action adalah standing diberikan pada perorangan atau kelompok yang berusaha memperjuangkan kepentingan publik meski ia tidak terdampak secara langsung. Sedangkan class action dilakukan bagi sekelompok orang yang memiliki kepentingan sama dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Standing in public interest matter ini justru sedikit mirip dengan konsep legal standing pada perkara perdata dan lingkungan, hanya saja legal standing pada perdata dan lingkungan berakar dari groep acties dari Belanda, sementara standing in public interest matter lebih dekat pada doktrin standing dari tradisi common law.
Saat ini, yang menjadi masalah adalah bagaimana prinsip legal standing yang ada di MK diimplementasikan. Prinsip legal standing yang ada pada MK diadopsi dari doktrin standing yang ada pada perkara judicial review di Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat (US Supreme Court). Pada penanganan perkara tersebut di MA Amerika, doktrin standing berguna untuk menentukan kerugian nyata (injury in-fact) pada perkara yang diajukan oleh penggugat (Fletcher, 1988). Sedangkan model pengujian konstitusional mereka menggunakan model konkret yang didasarkan oleh suatu kasus konkret (concrete cases) yang diajukan ke pengadilan (Cappelletti, 1971). Hal ini justru berbeda dengan model pengujian konstitusional kita.
Model pengujian konstitusional di MK Indonesia justru lebih cenderung ke model Eropa, yang diprakarsai negara-negara seperti Austria dan Jerman. Model Eropa menggunakan pengujian abstrak (abstract cases) dimana tidak ada kasus konkret yang sedang terjadi dan yang diajukan pengujiannya adalah norma hukum langsung. Umumnya, pengujian abstrak ini diajukan oleh lembaga negara, misalnya di Jerman. Sementara mekanisme pengujian konkret dipisahkan pada mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint).
Permasalahan demikianlah yang kemudian menghambat orang yang tidak terdampak langsung namun ingin membela hak konstitusional publik malah terganjal persyaratan pada hukum acara MK. Satu sisi MK menggunakan model pengujian abstrak tanpa perlu ada kasus konkret yang dialami pemohon. Namun, MK menggunakan prinsip legal standing pula dalam menentukan apakah suatu subjek berhak untuk berperkara di MK dengan menilai kerugian konstitusional yang dialaminya. Sehingga tertutuplah jalan bagi sebagian kelompok masyarakat yang hendak mengadvokasikan kelompok lain yang terdampak hak konstitusionalnya dengan mempersoalkan validitas suatu undang-undang, hanya karena terjegal pada prosedur legal standing.
Misalnya pada Perkara Nomor 137/PUU-XII/2014, pada kasus tersebut sekelompok advokat berusaha memperjuangkan hak seorang warga negara asing (WNA) karena tidak bisa menjadi pemohon yang memiliki legal standing di MK. Kelompok advokat tersebut sebenarnya masuk dalam kategori pemohon dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK tetapi permohonan mereka tetap tidak diterima akibat tidak ada legal standing. Sebab kerugian tidak langsung dirasakan oleh mereka, mereka hanya mengadvokasikan hak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan di depan hukum milik orang lain.
Standing in public interest matter inilah yang dapat membuka jalan untuk memperjuangkan hak publik yang tercederai oleh suatu hasil legislasi yang tak sesuai dengan amanat konstitusi. Jika menilik pada praktik di Australia yang memiliki kesamaan dengan sistem peradilan di Amerika, mereka menerapkan sebuah “special interest” bagi kelompok masyarakat yang memandang bahwa suatu kasus dapat berdampak pada hak publik secara luas. Hal ini dilakukan pada perkara Onus v. Alcoa of Australia Ltd. (1981), yang menyangkut wilayah masyarakat adat terancam akibat pembangunan smelter dan pada saat itu Pengadilan Australia menyadari bahwa penggugat berhasil menunjukkan “special interest” terkait hak publik yang bakal terancam pada perkara tersebut, sehingga diberikan standing pada para penggugat.
Praktik tersebut dapat diterapkan di Indonesia akibat adanya aturan mengenai harus dimilikinya legal standing untuk para pemohon. Pemohon yang hendak melakukan hal tersebut cukup menunjukkan bahwa ada pelanggaran hak konstitusional yang dialami masyarakat luas dari diundangkannya suatu undang-undang (kausalitas) dan pemohon mampu menunjukkan redressability-nya apabila undang-undang itu dibatalkan oleh MK. Pemberian standing tersebut tidak perlu melulu melalui perubahan UU MK, baiknya juga bisa melewati putusan MK.
Jika perubahan ini dilakukan, maka MK akan dapat lebih dipercaya untuk melindungi hak konstitusional warga negara. Perjuangan perlindungan hak tersebut tidak hanya dapat ditempuh oleh yang tercederai secara nyata, melainkan juga pada sekelompok masyarakat yang peduli dan hendak memperjuangkan hak mereka yang lemah demi menegakkan konstitusionalisme.
DAFTAR PUSTAKA
- Cappelletti, Mauro. 1971. Judicial Review in the Contemporary World. Indiana: Bobbs-Merrill
- Fletcher, William. 1988. “The Structure of Standing”. 98 Yale Law Journal 221
- Sutiyoso, Bambang. 2004.“Implementasi Gugatan Legal Standing dan Class Action dalam Praktik Peradilan di Indonesia”. Jurnal Hukum Nomor 26 Volume 11
- Queensland Public Interest Law Clearing House, Inc.. 2005. “Standing in Public Interest Cases”
()