MENILIK KEKUATAN HUKUM FATWA MUI DALAM MELEGALKAN GANJA MEDIS DI INDONESIA

oleh : Faraz Almira Arelia

Internship Advokat Konstitusi

Aksi seorang ibu di kawasan Bundaran HI yang bertepatan pada acara car free day (CFD) pada hari Minggu (26/06/2022). Aksi ibu tersebut membawa papan nama bertuliskan “Tolong anakku butuh ganja medis”. Disamping membawa papan nama, ibu tersebut juga membawa surat yang ditujukan pada hakim MK yang pada intinya memohon kepada mahkamah agar segera memberikan kepastian mengenai legalitas ganja medis, beliau telah melakukan pengujian dan menunggu selama 2 tahun.

Aksi ini viral lantaran diunggah dalam postingan beberapa akun media sosial, salah satunya Dwi Pertiwi. Dwi Pertiwi merupakan ibu yang memiliki anak mengidap penyakit serupa yaitu Celebral Palsy. Celebral Palsy adalah penyakit yang menyebabkan gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh  yang efektif diobati dengan ganja medis.

Pelarangan Ganja digunakan untuk kepentingan medis diterangkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Sehingga sejauh ini ganja medis masih dilarang di Indonesia, adapun pengujian UU Narkotika di Mahkamah Konstitusi masih tahap pembahasan. Menjawab permasalahan tersebut Wakil Presiden Ma’ruf Amin membuat fatwa MUI untuk melegalkan ganja medis di Indonesia. Pertanyaannya bagaimana kekuatan hukum Fatwa MUI?

Fatwa MUI adalah keputusan atau pendapat yang diberikan oleh MUI tentang suatu masalah kehidupan umat Islam. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Fatwa MUI merupakan ketentuan hukum Islam yang diterbitkan berdasarkan pemikiran dan ijtihad dengan cara ijma’, yaitu persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai masalah pada suatu tempat di suatu masa dan dalam hal ini yang melakukan ijtihad adalah MUI. Berdasarkan pengertian tersebut maka Fatwa MUI bukan termasuk peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 mengatur mengenai Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Jika merujuk pada jenis dan hierarki sebagaimana dalam UU 12/2011, maka kedudukan Fatwa MUI bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sehingga fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat, fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara. Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh komunitas umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri. Legalitas fatwa MUI pun tidak bisa dan mampu memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam.

Meskipun fatwa MUI tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, akan tetapi Fatwa MUI memiliki andil yang besar terhadap pelegalan produk medis yang mengandung ganja di Indonesia. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal mengatur bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Sedangkan dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O Tentang Cipta Kerja mengatur produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal yang dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

BPJPH dalam menentukan produk halal menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk. Sehingga lembaga yang memiliki hak untuk menetapkan kehalalan Produk adalah MUI, dan setelah ditetapkan oleh MUI maka BPJPH akan menerbitkan sertifikat halal sebagaimana diatur dalam Pasal 33 dan 34 UU 33/2014. ()