oleh : Faraz Almira Arelia
Internship Advokat Konstitusi
Salah satu fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah sebagai pelindung hak asasi manusia dan pengawal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perlindungan hak warga negara dapat dilakukan dengan cara pengaduan konstitusional atau constitutional complaint. Menurut I Dewa Gede Palguna dalam bukunya Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, constitutional complaint adalah pengaduan yang diajukan oleh perorangan warga negara ke hadapan pengadilan (khususnya Mahkamah Konstitusi) karena suatu perbuatan pejabat publik, atau tidak berbuatnya pejabat publik, telah menyebabkan dirugikannya hak konstitusional warga negara yang bersangkutan.
Dalam pengertian umum, constitutional complaint adalah bentuk pengaduan warga negara melalui proses ajudikasi di pengadilan atas tindakan (kebijakan) atau pengabaian oleh negara dalam hal ini lembaga-lembaga negara yang melanggar hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi. Seperti perkara-perkara yang mempermasalahkan implementasi undang-undang, penyimpangan proses penegakan hukum, putusan peradilan umum yang dianggap melanggar konstitusi dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 24 UUD NRI 1945 maka pengaduan konstitusional, secara eksplisit tidak termasuk dalam salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Secara historis Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. Apabila dilakukan perbandingan dengan negara lain menurut Harjono dalam Abdul Rasyid Thalib, terdapat garis besar kewenangan Mahkamah Konstitusi yang harus dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan tersebut dibagi menjadi kewenangan utama dan kewenangan tambahan.
Kewenangan utama, yaitu:
- uji materiil konstitusionalitas undang-undang UUD;
- memutus pengaduan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pelanggaran hak-hak konstitusi mereka atau biasa disebut constitutional complaint;
- memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Diluar dari ketiga kewenang utama tersebut, merupakan kewenangan tambahan yang bersifat asesoris yang tergantung dengan kebijakan setiap negara masing-masing. Berdasarkan tiga wewenang utama tersebut maka kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ada satu hal yang tertinggal yaitu tidak adanya mekanisme keluhan konstitusi atau consitutional complaint. Pada negara hukum modern yang demokratis, constitutional complaint merupakan upaya hukum untuk menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh diganggu gugat agar aman dari tindakan kekuasaan negara.
Tidak adanya mekanisme constitutional complaint di Indonesia akan mengurangi legitimasi Indonesia sebagai negara hukum modern yang demokratis karena tidak adanya upaya yang dimiliki masyarakat untuk mempertanyakan perlakuan dari penguasa yang diindikasi melanggar hak asasinya yang telah dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu bisa ditarik kesimpulan bahwa setidaknya Indonesia membutuhkan mekanisme constitutional complaint dalam mengejawantahkan hak-hak konstitusionalitas rakyatnya yang telah disesuaikan dengan kondisi-kondisi di Indonesia. Ketika pembahasan perubahan UUD 1945, telah muncul usulan constitutional complaint sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dikemukakan I Dewa Gede Palguna dalam rapat Pleno Panitia Ad Hoc MPR RI. Usulan tersebut tidak disetujui dengan berbagai pertimbangan, antara lain karena tujuan utama dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah sebagai lembaga judicial review undang-undang terhadap UUD 1945, sehingga menghindari adanya penumpukan perkara, seperti dalam praktik terjadi di Mahkamah Konstitusi Jerman dihindari.
Sejak awal berdirinya, hingga pertengahan tahun 2010, Mahkamah Konstitusi RI ternyata cukup banyak menerima pengajuan permohonan pengujian undang-undang yang secara substansial merupakan constitutional complaint atau terkait permasalahan yang dapat diselesaikan dengan menggunakan mekanisme constitutional question. Namun, seperti yang telah diungkapkan di atas, kewenangan Mahkamah Konstitusi RI ditentukan secara limitatif dalam UUD 1945 tanpa menyebutkan kewenangan constitutional complaint, sehingga banyak dari permohonan tersebut dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk verklaard) dengan alasan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadilinya.
Pada praktiknya di Mahkamah Konstitusi, perkara-perkara tersebut menggunakan pengujian undang-undang sebagai pintu masuk untuk pemeriksaannya. Bahkan, pada tahun 2010 terdapat perkara mengenai Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE.06/Pres.Kab/ 6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina (Nomor 24/PUU-VIII/2010) diajukan oleh seorang anggota DPR yang secara substansial merupakan constitutional complaint. Perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Dari banyaknya jenis perkara demikian, menunjukkan bahwa hingga delapan tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk, perkaraperkara yang mengandung unsur constitutional complaint tetap berdatangan ke Mahkamah Konstitusi. Keadaan tersebut terjadi karena belum ada mekanisme atau jalan lain yang dapat diambil para pencari keadilan atau warga negara yang dilanggar hak konstitusionalnya, sehingga para pemohon menggunakan pintu masuk pengujian undang-undang agar permasahannya dapat diadili Mahkamah Konstitusi.
Penambahan wewenang constitutional complaint melalui revisi UU Mahkamah Konstitusi dapat menimbulkan masalah konstitusional, karena UUD 1945 memberikan wewenang limitatif terhadap Mahkamah Konstitusi. Demikian juga, penambahan wewenang perubahan UUD 1945 adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan, baik karena faktor politik maupun persyaratan konstitusional yang sangat berat. ()