MENYELAMATKAN TVRI : MENYELAMATKAN HAK ATAS INFORMASI WARGA NEGARA

Oleh : Rania Fitri

24 Agustus 59 tahun yang lalu, TVRI hadir di tengah masyarakat dengan menayangkan perhelatan Asian Games ke IV yang diselenggarakan di Jakarta. Kemudian, TVRI menjadi stasiun penyiaran pertama milik negara yang mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Selama masa berdirinya, TVRI berkali-kali mengalami perubahan bentuk yang merupakan upaya mencari formulasi kelembagaan yang tepat bagi TVRI sebagai stasiun penyiaran milik negara. Mulai dari bentuk Yayasan, Unit Pelaksana Teknis di bawah Kementerian Penerangan, BUMN dengan bentuk PT dan Perjanjian, hingga akhirnya berbentuk Lembaga Penyiaran Publik yang dibentuk Undang-Undang Penyiaran.

Perubahan TVRI sebagai lembaga negara tersebut berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP), menurut Pasal 14 Peraturan Pemerintah tersebut TVRI memiliki tugas untuk memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Pembentukan Lembaga ini merupakan amanat dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang pada dasarnya menentukan bahwa LPP adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.

Dalam PP No. 13 Tahun 2005 juga diatur bahwa TVRI merupakan lembaga yang bersifat independen, netral, dan tidak komersial. TVRI berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Kedudukan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik dalam hal ini dapat digolongkan sebagai apa menurut Jimly Ashiddiqie disebut sebagai state auxiliary organs atau lembaga negara penunjang.

Dengan bentuk kelembagaan tersebut, produk siaran yang dihasilkan TVRI tidak hanya dilihat sebagai tayangan biasa yang penilaianya hanya terbatas pada menarik penonton atau tidak. Setiap tayangannya adalah wujud dari sejauh mana pemerintah berupaya memenuhi hak warga negara atas informasi dan edukasi melalui penyiaran. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 28F UUD 1945, setiap orang berhak untuk berkomunikasi, dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pemerintah, dengan segala kuasa dan sumber daya yang dimilikinya yang disalurkan melalui TVRI, harus mampu memenuhi, menghormati, dan melindungi hak warga negara atas informasi dan edukasi.

Dibandingkan sebagai penyedia jasa penyiaran, TVRI lebih cenderung dilihat sebagai pelayan publik. Penontonnya lebih dari sekedar konsumen, tetapi juga adalah warga negara yang memiliki hak atas informasi dan edukasi yang layak. Atas dasar itu tuntutan terhadap evaluasi penyelenggaraan penyiaran oleh TVRI berikut kualitas akan tayangan yang dihasilkan selalu ada. Ulang tahun TVRI ini jadi momentum yang tepat untuk Kembali merefleksikan bagaimana TVRI telah berjalan selama 59 tahun ini.

Menurut Pasal 5 UU Penyiaran, penyiaran mempunyai fungsi sebagai kegiatan komunikasi massa yang jadi media informasi, Pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, TVRI harus mampu mengembalikan fungsi-fungsi penyiaran tersebut yang selama ini banyak tercoreng oleh Lembaga Penyiaran Swasta. Dalam artian bahwa TVRI harus mampu menjadi tontonan alternatif bagi masyarakat dengan menyediakan tayangan yang sifatnya edukatif, ketika lembaga penyiaran swasta lebih banyak menghasilkan tayangan berdasarkan rating penonton yang seringkali mempengaruhi kualitas tayangan.

Di tahun 2020 yang lalu, kisruh TVRI sempat mencuat ke publik. Salah satu konflik yang terangkat adalah penayangan Liga Inggris di TVRI. Persoalan ini sekiranya jadi gejala bagaimana TVRI kehilangan jati diri nya sebagai Lembaga Penyiaran Publik di tengah kehadiran TV Swasta dengan mengejar rating penonton. Terkait hal ini, terdapat kutipan menarik dari editorial redaksi Remotivi yang berjudul “Kisruh di TVRI : Saatnya Kita Cerita Tentang Masalah Ini” :

“Tentu bukan berarti menyajikan tontonan yang diminati rakyat Indonesia tidak diperbolehkan, hanya saja TVRI tak boleh kehilangan peran utamanya sebagai TV public yang perlu membedakan diri dari TV swasta yang Cuma mengejar rating. TVRI tidak ditugaskan untuk bersaing dengan TV swasta, sebaliknya ia justru ditugaskan untuk melayani kebutuhan informasi warga yang sering diabaikan TV Swasta”

Sekiranya TVRI harus kembali pada jati dirinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang berbeda dengan Lembaga Penyiaran Swasta, karena pembentukanya diamanatkan Undang-Undang Penyiaran, pembiayaannya dari APBN, dan yang terpenting adalah sebagai pelayan publik.

Sebagai pelayan publik yang bertanggung jawab terhadap tayangan yang mampu memberikan edukasi dan hiburan yang sehat pada masyarakat, TVRI perlu didukung dengan tata kelola organisasi yang baik. Kisruh yang terjadi di tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya yang jadi bukti bahwa tata kelola organisasi TVRI masih belum baik, harus jadi bahan untuk mengadakan perbaikan menyeluruh pada TVRI.

TVRI perlu “diselamatkan” dengan keseriusan pemerintah untuk menghasilkan tayangan yang berkualitas bagi masyarakat, meskipun di tengah hamper tergesernya televisi oleh keberadaan teknologi internet. Dengan tetap mengedepankan independensi, TVRI harus kembali bangkit dan menjawab keluhan masyarakat atas tayangan saluran TV Swasta yang kurang berkualitas. Dengan begitu, hak warga negara atas informasi dan edukasi dapat “terselamatkan”. ()